CH. 9 Seorang Pembunuh

0 0 0
                                    

Seperti minggu-minggu sebelumnya, keheningan masih mengisi ruang diantara Andre dan Ami. Sebenarnya Ami menyadari kalau air muka Andre sedikit berubah. Lebih kelam. Tapi, dia sengaja tidak menanyakan alasannya. Andre memandangi Ami semenjak gadis itu duduk di kursi di seberang pembatas kaca.

Meski terlihat agak ragu, dia pun membuka mulutnya, “kamu dekat sekali ya dengan keluargaku? Sampai gadis itu meminta bantuanmu”

Ami tersentak dari lamunannya. Dan senyum terukir di wajahnya seketika. ‘syukurlah, akhirnya’ pikirnya.

“ya begitulah. Sebenarnya aku selalu merasa menjadi bagian dari keluargamu. Mereka benar-benar baik padaku.”

“apa gadis itu benar-benar meninggal?” tanya Andre dengan nada datar. Cara berbicaranya yang seolah tidak berperasaan, membuat emosi Ami melunjak. Tapi dia memilih untuk mendiamkannya, Ami tidak ingin merusak kesempatannya untuk mendengar masa lalu Andre.

“ya, tepat di hari saat aku wawancara untuk ke Jepang…aku selalu merasa bersalah padanya karena tidak hadir di pemakamannya” jawab Ami dengan suara yang agak tertahan.

Lalu, dia melanjutkannya sambil menatap lurus pada Andre, “mas sepertinya begitu kesulitan menyebut adikmu sendiri dengan namanya” katanya dengan senyum sarkastis.

“aku…tidak ingin menganggapnya adikku. Lebih tepatnya, aku tidak pantas untuk melakukan itu”

“kalau aku bertanya kenapa, apa mas mau menjawabnya?”

“bukankah itu yang ingin kamu dengar? Apa kamu sudah tidak tertarik lagi?” Andre balik bertanya.

Ami memiringkan kepalanya, “tentu saja aku ingin tau, tapi kalau mas belum bisa menceritakannya, aku akan menunggu. Aku tau menceritakan masa lalumu pada orang lain tidak mudah. Meski, yaahh, aku terkesan agak memaksa karena tiap minggu datang kesini. Aku minta maaf untuk itu”

Senyum yang belum pernah terlihat, akhirnya terukir di wajah Andre. Senyum lega. Anggapannya pada Ami yang dia pikir sebagai gadis egois yang hanya ingin membebaskan dirinya dari janji yang tiba-tiba harus ia tepati, lenyap dari benaknya.

Ami yang pertama kali melihat senyum itu pun tercengang, “ternyata mas juga bisa tersenyum seperti itu ya?” katanya. Andre melebarkan senyumannya, dan saat itu juga mereka bukan lagi orang asing bagi satu sama lain.

Mereka pun bercengkrama layaknya teman baru. Mencoba untuk bersikap terbuka satu sama lain. Akhirnya, Ami mengetahuinya, alasan dibalik tatapan mata Andre yang selama ini ingin diketahuinya. Andre lari dari rumahnya saat berumur 15 tahun.

Hubungan yang tidak baik antara kakak pertamanya dengan sang ibu, membuat Andre memupuk kebencian pada kakaknya itu. Berulang kali, dia harus menyaksikan dan menangis bersama ibunya yang seringkali menerima perkataan buruk dari kakaknya. Dan, saat itulah dia juga menjadi seorang pembunuh. Andre meletakkan kaleng kosong di bawah rem mobil kakaknya, dengan begitu dia membuat kakaknya meninggal karena kecelakaan lalu lintas.

Seperti seorang pembunuh sebenarnya, Andre tidak meninggalkan jejak apapun.
Ami terhenyak. Dia tidak menduga masa lalu Andre lebih suram dibandingkan perkiraannya.

“aku…juga membuat pamanku lumpuh. Waktu itu, aku sengaja membuatnya terjatuh di kamar mandi, dan aku juga membuat itu agar terlihat seperti kecelakaan. Dialah yang menghasut kakakku, kalau orang seperti ibu, yang tidak merawatnya sejak kecil, bukan orang yang sepatutnya dihormati.” Air mata Andre pun berjatuhan.

Dia pun menepisnya dengan cepat.  “sejak kecil, kakakku memang dirawat oleh keluarga ayahku. Karena itu, dia menjadi lebih dekat dengan mereka dibandingkan dengan keluarganya sendiri.” lanjutnya dengan suara tercekat.

PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang