CH. 13 Confession?

0 0 0
                                    

Semakin mendekati tahun baru, dekorasi-dekorasi tahun baru semakin meramaikan kota Tokyo. Salju tipis pun ikut menjadi hiasan alami setiap dekorasi itu.

Ami dan kumpulannya pergi ke Tokyo Tower seperti yang telah mereka rencanakan. Malam itu, daerah di sekitar Tokyo Tower terlihat begitu berwarna dengan gemerlap lampu warna-warni yang dapat ditemukan di berbagai tempat.

Mereka berkeliling di tempat itu, berfoto di setiap tempat sambil menunggu tengah malam. Andre dan Ami tidak berbicara banyak satu sama lain. kata-kata yang mereka ucapkan tidak lebih dari dua kata. Sebenarnya, Ami berpikir cara yang disarankan Fian cukup masuk akal baginya. Tapi, dia adalah tipe orang yang mudah merasa bersalah meskipun-secara fakta- dia tidak bersalah.

Mereka berempat pun pergi ke Odaiba 45 menit sebelum tengah malam. Pikir mereka, tempat itu adalah tempat yang cocok untuk menikmati fireworks yang sebenarnya tidak banyak dilakukan orang Jepang saat tahun baru.

“waahh, tidak terasa ya sudah mau berganti tahun” seru Astrid dengan raut wajah antusias sambil memandangi langit di jembatan kecil di kawasan tersebut.

“ami, kamu sampai bulan apa disini?” lanjut Astrid.

“agustus. Yah, aku bersyukur masih bisa melihat sakura untuk kedua kalinya” jawab Ami.

Andre saat itu hanya bermain-main dengan ponselnya sambil bersandar di pagar jembatan.

Di saat bersamaan, Astrid mengecek ponselnya yang sedari tadi bergetar. Dan, ternyata itu adalah ‘ping’ dari Fian. Dia menoleh pada pemuda itu dengan tatapan bingung. Dan, Fian membalasnya dengan gestur ‘bukalah’ menggunakan kepalanya.

“wah, tinggal 2 menit lagi. Mbak…”
Ami menoleh pada Astrid, namun hanya udara kosong yang didapatinya. Astrid dan Fian menghilang dari tempat itu –atau lebih tepatnya mengendap-endap pergi.

Ami kebingungan, dia pun melihat sekeliling, mencoba mencari keberadaan dua orang itu diantara lalu lalang orang.
Andre pun berhenti bermain-main dengan ponselnya karena menyadari sikap Ami yang kebingungan.

“mereka pergi” sahutnya.

“eh?” Ami menoleh pada Andre dengan wajah yang masih kebingungan.

“apa boleh buat, kita saja yang menontonnya malam ini”

Bersamaan dengan perkataan Andre itu, pesta kembang api pun dimulai. Orang-orang pun bersorak soran dan mengabadikan momen itu. Ami yang masih dilanda kebingungan pun menikmati tahun baru pertamanya di Jepang. Dia juga mengambil foto saat warna-warni kembang api itu menghiasi langit. Di saat bersamaan dia mendapat pesan dari Fian dan segera membukanya.

“maaf, kami ada urusan mendadak. Semangat!!” kata seruan yang aneh di akhir kalimat dalam pesan itu tidak Ami gubris karena ia masih terkejut dan bingung dengan mereka yang tiba-tiba pergi.

“dasar, urusan mendadak apa sih?” gerutu Ami sambil mengetikkan pesan balasan pada Fian.
Tapi, sebelum dia sempat mengirimnya, Andre merebut ponsel Ami dan menggenggam tangannya.

“tidak usah pikirkan mereka. Ayo pergi” Andre pun menuntun Ami melewati hiruk pikuk Odaiba malam itu.

“eh, mau kemana?” tanya Ami sambil terbirit-birit, menyesuaikan langkahnya dengan Andre. Ini adalah pertama kalinya mereka berbicara layaknya orang ‘normal’.

“kemana saja. Memangnya kamu mau berdiam diri di tempat itu sampai besok? Ah benar jug sekarang kan sudah berganti hari” Andre merendahkan suaranya hampir seperti orang bergumam di kalimat terakhirnya.

Mereka pun berjalan menyusuri jalanan Odaiba yang cukup ramai malam itu. Setelah cukup lama tidak ada pembicaraan, Andre pun memulainya.

“maafkan aku”

Ami tersentak dari lamunannya, meskipun semenjak tadi dia terlihat memutar otaknya untuk mencari topik pembicaraan.

“aku memang egois. Aku bahkan belum berterima kasih padamu karena kamu berusaha untuk memahami masa laluku. Dan, jawaban yang kuberikan tidak kusangka bisa menyakitimu”

Ami tidak merespon apapun dan mengulum bibirnya. Tepat setelah itu, bunyi letusan kembang api kembali terdengar di langit Tokyo. Mereka pun menghentikan langkahnya dan memandangi langit yang penuh dengan kerlap-kerlip kembang api.

Ami yang menyadari kalau sejak tadi Andre belum melepaskan genggaman tangannya pun sedikit merenggangkan tangannya dan berusaha untuk melepaskan genggaman itu. Namun, Andre semakin menggenggam tangan Ami. Dan, sikapnya itu membuat Ami terkesiap.

“bulan kemarin, aku kembali ke Indonesia” ujar Andre.

“benarkah?” seru Ami yang tidak bisa menyembunyikan perasaan kagetnya.
“tapi, aku tidak menemui orang tua kandungku. Aku pulang ke rumah ayah angkatku”

“kenapa tiba-tiba berubah pikiran?” tanya Ami ragu-ragu.

Andre menoleh pada Ami dan tertawa kecil. “apa kamu pikir aku kembali karena perkataanmu? Yah sejujurnya perkataanmu sedikit mempengaruhiku. Sebenarnya, aku kembali karena aku belum pernah menemui ayah angkatku sejak tiba disini. Meskipun Surya terkadang mengajakku kembali, tapi aku enggan. Dan, ditambah lagi aku masuk penjara. Aku benar-benar bukan orang baik ya”

“yah, syukurlah kalau begitu. Kuharap bukan hanya bulan kemarin saja” ujar Ami sambil tersenyum ke arah pemuda itu.

Andre pun membalas senyuman itu dan sejenak ia terdiam.

“sebenarnya aku ingin memberitahumu kalau aku menyukaimu. Tapi kurasa bukan sekarang. Aku belum pantas mengatakannya."

Ami kembali terkesiap dengan perkataan Andre. Namun, dia memberanikan diri untuk bersikap yang bukan dirinya.

“katakan sekarang saja. Aku ingin mendengarnya sekarang” timpalnya. Wajahnya yang mulai memerah diikuti oleh detak jantungnya yang mulai tidak beraturan.

Itu bukan dirinya. Selama ini, dia tidak pernah terlibat sebagai heroine, perannya dalam dunia yang selama ini dia anggap ‘menggelikan’, hanyalah sebagai cameo atau bahkan figuran. Namun, kali ini berbeda. Orang pertama kali yang mengatakan kalimat yang selama ini hanya ia dengar –atau buat- di dunia khayalannya, adalah tokoh imajinatif yang pernah ia buat.

Mungkin, dia sekarang merasa tidak sedang berada di dunia nyata, terlihat dari matanya yang penuh ketidakpercayaan dan berbinar-binar. Andre yang juga terkejut dengan perubahan sikapnya pun semakin melebarkan senyumnya.

“aku menyukaimu, Ami”

-------------------*****------------*****------------
Sekitar satu setengah tahun lebih dua setengah bulan, Ami menjalani kehidupan di Jepang yang sejak kecil ia dambakan. Setelah kembali ke tanah airnya, dia magang sebagai asistem peneliti di balai penelitian yang dulu pernah menjadi fasilitatornya untuk menyelesaikan penelitian S1-nya. Sambil bekerja magang disana, dia juga masih melanjutkan hobinya menulis. Dan, sampai saat ini ia masih bekerja sama dengan Fian untuk membuat webtoon –yang sudah menjadi salah satu webtoon resmi saat itu.

Dia mengirimkan naskahnya dan berkomunikasi dengan Fian melalui email, meskipun terkadang agak menyulitkan karena tidak bisa berinteraksi langsung.
Dia juga menulis naskah baru untuk dijadikan novel. Dan, ini adalah kali ketiganya dia mencoba untuk membujuk penerbit untuk menerbitkan novelnya.

“ami, bisa tolong ambilkan jam tangan ibu di toko servis jam itu?”

“kenapa tidak disimpan saja, bu? Jam itu sudah kuno, kalau terus dipakai jadi gampang rusak. Memangnya, ibu tidak kerepotan tiap kali jam ini rusak?” keluh Ami yang mulai bosan dengan masalah jam tangan ibunya.

Ibunya yang sedang memasak tidak memperdulikan keluh kesahnya dan terus mondari-mandir di dapur sambil bersenandung. Ami pun menyerah dan pergi ke toko itu.
Sesampainya di depan toko, dia terlihat kecewa karena papan dengan tulisan ‘tutup’ berukuran besar, terpasang di balik pintu berkaca itu. Di saat bersamaan, ponselnya bergetar agak lama. Tanda email masuk. Dia pun segera mengeceknya. Matanya berbinar-binar saat membaca email yang diterimanya. Naskah novelnya akan diterbitkan.

“kamu sedang apa disini?” sahut sebuah suara yang tak asing bagi Ami. Gadis itu pun dengan cepat menoleh ke samping kirinya dan mendapati Andre berdiri disana dengan koper besar disampingnya.

Dan, mereka saling bertukar senyum.

PathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang