Vira POV
Aku berlari menuju kamarku dengan tergesa-gesa. Aku tahu persis bahwa kurang dari sepuluh menit, apel pagi akan dimulai. Namun, aku tetap berlari dan meninggalkan tasku di pelataran lapangan. Aku mencari-cari benda itu, namun tidak aku temukan. 'Mungkin Cincau yang membawanya' pikirku. Aku menuruni tangga dengan begitu cepat. Kacamataku mulai mengembun akibat keringat yang menguap sehingga aku tak dapat melihat begitu jelas. Dan dalam sekejap, aku telah terduduk dilantai setelah aku merasa menabrak sesuatu. Aku mendongak, dan aku melihatnya. Tetapi aku tak peduli dan langsung bangkit dan kembali berlari ke pelataran lapangan. Jelas, orang itu melihatku. Aku dengan kacamata ber-embun dan keringat bercucuran. Tapi, persetan dengan itu semua. Yang penting aku dapatkan barang itu.
Aku langsung mencari Cincau begitu aku tiba di lapangan. Cincau melihatku dengan tatapan aneh karena aku langsung menanyakan perihal barang itu padanya. Dia berikan barang itu. Aku rasakan getaran di tanganku dan aku merasa lega. Aku tenangkan diriku dan aku sandang ranselku yang ternyata telah di bawakan oleh Cincau. Gadis itu lebih memilih diam ketimbang menanyai apa yang aku alami.
" Ransel lo berat banget. Tambah pendek baru tau rasa." Cincau mengalihkan topik.
" Gue bawa perbekalan." Sahutku ketika aku berhasil mengendalikan nafasku.
" Badan kecil makan se-abrek." Ejek Cincau.
" Please deh. Nggak usah ngatain diri sendiri." Timpal ku.
" Sialan dah." Ujar Cincau kesal.
...
" Satu tim ?" Tanya Arza saat kami tengah menunggu jadwal start.
" Menurut kamu ?" Ucap ku.
" Ehm .., udah pake 'aku kamu' aja nih." Celetuk Arza
" Kenapa ? Nggak suka ?" Tanyaku yang seolah acuh.
" Suka kok. Terlebih kalo lo yang ngomong." Ucapnya dengan santai.
Aku rasa rona merah telah hinggap di pipi-ku. Orang ini dengan mudahnya menerbangkan perasaan ku. Wait , mungkin seluruh wanita. 'Dasar hidung belang' Umpatku dalam hati. Seenaknya saja merayu gadis. Yah, sejujurnya hidungnya tidak belang. Hidung itu menjulang kedepan berwarna coklat dengan tulang yang begitu bagus sehingga sangat pas menahan kacamata dengan harga yang begitu fantastis. Aku mengenali begitu aku melihatnya. Frame yang begitu aku inginkan. Desain yang begitu elegan dengan perbaduan warna yang pas. Dan yag lebih aku suka, frame nya terbuat dari bahan fiber yang kuat dan sangat ringan.
Aku sempat merengek kepada papa tentang frame itu dan papa dengan santai nya bilang "Kamu kan suka sama frame kamu yang sekarang. Terakhir, kamu histeris pas kacamata kamu ketinggalan di bandara. Dan kamu bilang ' Vira sayang banget sama frame nya. Vira nggak mau ganti kacamata.' Padahal papa udah niatin buat beli baru." Itu yang papa tuturkan saat aku telah tiga jam merengek di dalam kamar membentuk kamarku menjadi sebuah kapal yang telah di jarah.
" Berhubung kamu udah pake headphone, yang ini ntar aja deh balikin nya." Ujarku dengan nada yang mencoba sok akrab dengan hasil nihil.
" Ambil aja. Gua rela kok." Ucapnya mantap
" Rela lah. Gratisan juga." Lirih ku dengan suara sepelan mungkin.
...
Kami mulai berjalan menaiki bukit dengan hutan-hutan yang masih asri dan terjaga. Sejujurnya terlihat menyeramkan, banyak ranting-ranting yang menghalangi jalan. Dan monkey yang hanya duduk di ranting memperhatikan gelagat kami. Udara sejuk karena kabut belum sepenuhnya naik bercampur dengan awan. Tapi aku merasa gerah karena aku hanya berdiam diri tanpa teman yang dapat diajak bicara. Dan aku berjalan tepat di belakang lelaki itu.
" Emang boleh bawa kamera ?" Tanyaku setelah jengah melihat dia mengambil gambar sedari tadi.
" Engga ada yang bilang boleh, tapi nggak ada juga yang bilang nggak boleh. So, gua kagak salah kan?" Tuturnya.
" Minjem dong. Bosen nih." Ucapku. Kami berdua adalah yang terbelakang. Karena Arza sedari tadi terus berhenti untuk menangkap gambar, dan aku dengan bodohnya tetap mengikutinya.
" Nih." Ujarnya santai sembari mengalungkannya ke leherku.
Aku mengecek kameranya terlebih dulu. Pria ini tampak telah ahli menggunakannya. Pengaturan filter dan pencahayaan telah sempurna. Speed resolution. Sangat mengagumkan. Dan apa yang ku lihat ? Aku tak sengaja mengambil gambarnya. Tapi bagus juga hasilnya. Berpose menghadap samping dan tidak terlihat seperti di buat-buat. Its very natural.
...
Part Tiga ini mungkin agak MITCHIN. Maafkan daku. Saran dan kritik membangun sangat di perlukan demi perkembangan cerita.
YOU ARE READING
FEAR & PHOBIA
Ficção AdolescenteSebuah tulisan berdasarkan apa yang sering terjadi, namun tak begitu disadari. *Because Sugar Its Always Sweet