Vira POV
Aku sedikit sempoyongan saat berjalan menuruni bukit. Kaki ku terasa kram karena terlalu lama berjalan. Matahari pun telah beranjak turun dari singgahsananya menyambut bulan yang selalu mendapat pujian. Arza masih berada tepat di sebelahku. Mengabadikan momen yang indah ini.
Aku menatap jurang yang sedikit landai di bawah sana dan entah mengapa, tubuhku tertarik untuk melihat dasarnya. Aku berjalan mendekat dengan kaki yang menapak perlahan. Seperti seorang yang lugu, aku tak tahu kenapa aku melakukannya. Dan aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya.
Namun, aku tahu bahwa ada yang mengikutiku. Aku tahu bahwa Arza mengikuti dengan tatapan yang aneh. Tapi aku tidak memperdulikannya. Aku terus berjalan mendekat dengan tempo langkah yang semakin cepat. Aku sudah berdiri di ujung jurang itu. Tak terlalu landai namun tak curam.
Aku menapak-an kaki dan sepersekian detik kemudian aku merasa aada yang menarik lenganku untuk menjauh dan akhirnya telah aku temukan diriku ter-jerembap di bawah pohon yang begitu rindang. Kakiku makin sakit karena posisi jatuh ku sangat tidak strategis.
" Aawww." Ringisku.
" Lu mau ngapain ?" Tanya Arza meng-introgasi
Aku hanya diam karena aku tak tau mengapa aku berjalan menghampiri tebing itu. Mungkin karena aku tertarik untuk mencoba hal yang baru, meskipun terlalu ekstrim.
"Gue tau lu banyak masalah. Tapi bunuh diri nggak semudah yang elu bayangin." Paparnya. Semua orang di tim-ku melihat, termasuk dua pendamping tim.
Aku tak menghiraukannya. Aku lebih peduli dengan kakiku yang kini mulai membiru. Sedikit membengkak dan sangat sakit jika tersentuh. Aku bahkan sempat menjerit karena seorang dari tim-ku dengan sengaja menyentuh kaki ku dengan kasar.
" Dia nggak akan bisa jalan sekarang. Arza, kamu yang buat dia kek gini. Gendong." Perintah salah seorang pendamping.
"Ok siap." Jawab Arza sigap dengan posisi tangan hormat.
Aku tak heran jika dia mau saja disuruh menggendongku. Aku tidak berat. Aku seperti fiber, kuat dan ringan. Kuat yang aku maksudkan adalah kuat hati, jangan salah sangka.
" Ayo naik." Ucapnya dengan langsung mengalungkan tanganku ke lehernya. Aku menurut. Dia berdiri. Dan aku tahu, dia sangat tinggi buatku. Aku begitu tak enak hati dengan pria ini. Hal ini membuatku terus menutup mata dan berpegangan yang erat pada Arza. Tapi, masa bodo' lah. Toh, dia juga yang buat kakiku sakit. Dan juga, dia yang buat aku masih merasakan kehangatan disaat yang seperti ini.
" Gua tau lu takut sama ketinggian, tapi kagak usah modus juga kali sampe meluk segala." Tutur Arza dengan nada mengejek.
Aku spontan melepas peganganku dan otomatis membuat kami berdua hampir terjatuh kebelakang karena kehilangan keseimbangan.
" Apaan sih ? Diem dikit dong. Entar jatoh lu nyalahin gua lagi." Keluhnya.
Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Tanganku reflek lebih erat mengalung di leher Arza. Jarak kepala kami sekarang semakin berkurang. Aku bahkan dapat melihat dengan jelas kacamata dengan harga frame yang begitu fantastis.
" Kacamata kamu keren." Ucap ku setengah berbisik.
" Yang penting dari kacamata itu fungsi kegunaannya." Paparnya singkat.
" Kalo gitu, kenapa nggak pake kacamata yang biasa aja ? Kenapa harus pake kacamata yang mahal." Aku menekankan pada kata mahal.
" Pernah nggak sih lu dapet hadiah berharga dari seseorang dan lu berasa nggak cukup cuma ngucapin makasih ?" Nada suaranya berubah. Persis saat ia mengatakan maaf padaku sebelum ini.
" Kacamata yang kamu pake hadiah dari nyokap atau bokap ?" Tanyaku dengan hati-hati tetapi sungguh tak menutupi bahwa aku memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap kacamata itu.
Dia menggeleng. " Dari temen yang sekarang udah pergi." Suaranya makin lirih sekarang.
Aku tercengang. Kacamata dengan frame berharga ratusan juta rupiah merupakan hadiah dari seorang teman, yang telah pergi. Aku coba mengolah kata-katanya. Pergi dengan makna seperti apa yang berusaha ia sampaikan. Aku hendak bertanya, tetapi mendengar suara lirihnya membuatku tahu, bahwa pergi yang di maksud adalah kepergian yang menyebabkan luka yang mendalam.
" Aku berat ya ? Aku bisa kok jalan sendiri. Kaki aku udah mendingan." Kataku dengan nada perhatian.
" Lu emang berat banget." Kata Arza datar.
" Wait, kamu bilang berat banget ? Berat aku cuman tiga puluh dua kilo." Reaksi ku berubah drastis.
Dia tertawa. " Cuma kamu cewek yang masih sopan meskipun marah karena di ejek dengan hal yang mengarah ke penampilan luar." Ucacpnya setelah tawanya yang begitu renyah.
Aku ikut tertawa mendengarnya. Sejak kapan aku menjadi 'Vira, gadis yang sopan' ?
***
Bgian ke 5. Kalau masih belum pafam, baca sekali lagi. Dan kalo masih nggak paham juga, silahkan tanya. Kritik membangun dan saran juga sangat diperlukan.
YOU ARE READING
FEAR & PHOBIA
Teen FictionSebuah tulisan berdasarkan apa yang sering terjadi, namun tak begitu disadari. *Because Sugar Its Always Sweet