Vira POV
Aku berangkat kesekolah seperti biasanya. Bedanya, papa serta mama tidak disini untuk sarapan bersamaku. Entah mengapa aku hari ini bangun lebih pagi dan begitu bersemagat untuk sekolah. Seperti ada dorongan tak terlihat dalam diriku. Aku segera menyantap bubur gandum dengan susu putih yang memang menjadi sarapanku tiap pagi. Rasanya begitu lezat karena kali ini, bibi menambahkan potongan beberapa buah segar kedalamnya.
Begitu sarapanku selesai, aku langsung berangkat dengan sopir pribadi papa. Jalanan masih cukup lengang mengingat hari bahkan belum dimulai bagi sebagian orang. Hanya ada beberapa kendaraan umum yang mencari penumpang dan petugas kebersihan yang dengan sigap membersihkan jalan yang begitu kotor akibat sampah dari penduduk kota ini yang kian hari akin tak peduli dengan kebersihan lingkungan.
Sampai disekolah, ternyata sudah ada beberapa siswa yang sudah datang, barangkali untuk piket. Aku hanya berdiri di dekat pagar pembatas koridor kelas, memperhatikan siswa yang masih berjalan dengan santai, serta menikmati susu fermentasi yang aku beli saat berhenti di minimarket. Rasanya memang agak masam, tapi menyegarkan. Aku menarik ponsel dari saku baju seragam kotak-kotak ciri khas sekolah ini. Bahkan bisa dibilang sebagai seragam kebanggaan. Beberapa siswa memimilih sekolah berdasarkan seragam apa yang akan mereka kenakan nanti.
Beranda akun media sosial-ku dipenuhi dengan sejuta postingan yang kadang tak ber-faedah untuk disakasikan. Mulai dari ucapan selamat pagi sampai foto dengan tema berangkat kesekolah. Begitu persis dengan orang yang pertama kali pergi kesekolah. Namun, aku perhatikan baik-baik. Mereka tampak cantik di foto. Aku arahkan lensa front kamera ponselku. Bersiap mengambil gambar. Namun suara derap kaki yang menaiki tangga menyadarkanku dari kelakuanku yang begitu diluar kebiasaan.
Aku kira itu Arza, namun ternyata aku kecewa. Itu hanya salahsatu gadis di kelasku yang kebetulan piket hari ini. Mungkin dia berlari karena bangun kesiangan. Kembali aku arahkan lensa front kamera ponselku dan menangkap gambar dengan cepat. Aku begitu gugup melihat hasilnya. Tak buruk. Sebuah pesona dari mahakarya ciptaan Tuhan. Tiba-tiba aku teringat ucapan Arza, " Yang udah cantik kagak usah dipoles lagi. Polesan Tuhan yang paling mantep." Aku tersenyum mengingat ekspresi-nya saat mengatakan itu.
-
Sebuah keramaian terdengar dari bawah. Awalnya aku tak peduli. Namun aku berlari menelusuri anak tangga begitu sebuah rasa penasaran hinggap dalam benakku. Saat tiba di lokasi kerumunan, teriakan demi teriakan terus bergema di telinga. Semuanya berasal dari kerumunan orang-orang yang tampak begitu bersemangat di ujung lapangan. Apa mereka sarapan dengan gingseng atau semacamnya ?
Suara mereka kian jelas terdengar dan makin memekak-kan telinga seiring dengan aku yang memperkecil jarak. Amplitudo dari gelombang longitudinal seperti bunyi sangat ditetukan oleh medium rambat berupa udara. Udara pagi yang segar ini pasti mempengaruhi mereka juga. Mempercepat perambatan suara dan mendukung pita suara untuk terus bergetar.
Kelopak mataku membesar ketika sepintas aku melihat seseorang yang berada dalam kerumunan itu. Bergerumumul, mengotori seragam sekolah yang telah susah payah dirapikan. Penting atau tidak, akupun tidak tahu. Arza ada di dalam kerumunan itu. Berkecipung dengan mata yang penuh amarah dan kepal tinju yang siap melekat di pipi seorang siswa laki-laki yang telah tampak membiru didepannya.
Pukulan yang begitu keras dari Arza menjadi akhir dari kericuhan pagi ini. Beberapa petugas konseling dibantu dengan satpam dan juga guru melerai pertarungan yang begitu mengerikan ini, setidaknya bagiku. Siswa lelaki yang menjadi lawan Arza segera dilarikan kerumah sakit karena kondisi lukanya lumayan parah. Sedangkan Arza di bawa ke ruang kesehatan karena lebam di beberapa bagian wajahnya.
Aku berniat masuk setelah petugas kesehatan meninggalkan ruangan. Aku pelankan langkahku yang ringan begitu aku melihat Arza dengan titik bercahanya di sudut matanya. Matanya tak fokus kepada objek didepannya. Dengan begitu, aku tahu bahwa ia sedang menangis. Tak bersuara, namun titik-titik yang terlihat berkilauan itu terus keluar dari sudut matanya. Awalnya aku tak berani mendekat. Namun, aku tak kuasa melihat ia menjadi cengeng seperti ini. Cukup aku.
"Aku nggak inget kalo kamu orang yang cengeng. Biasanya, kamu selalu ketawa dan nggak pernah cemberut. Senyuman kamu tuh bagus. Bukannya pamer, tapi nggak salah buat orang bersyukur atas ciptaan Tuhan." Kataku pelan. Hapir berbisik malah. Tak tahu dia medengarku atau tidak.
" Gua kagak mau diganggu. Mendingan, lo pergi dan jangan muncul dihadapan gua." Arza berkata tanpa melihat kearah lain.
" Hei-hei. Kamu kok sensitif sih ? Nggak seneng dijenguk ?" Aku mencoba untuk tetap santai dan tenang.
" Jangan dateng kalo lu bakal pergi, jangan senyum kalo lu bakal nangis, dan jangan hidup kalo lu bakalan mati. Dunia nggak butuh manusia yang plin-plan." Suara Arza terdengar semakin dingin.
" Maksudnya ?" Aku mulai tak mengerti dengan timing yang aneh ini.
" Tetep ada disamping gua. Gua butuh lo di hidup gua." Ucap Arza datar.
Aku terdiam sejenak. Terpaku lebih tepatnya. Mencerna kalimatnya dengan baik. Dan aku tersadar, aku tak boleh bertanya saat ini. Hei, dia tadi menyuruhku pergi dan sekarang dia menyuruhku tetap tinggal. Sepertinya dialah orang yang plin-plan. Huh, sungguh aku ingin memprotes. Tapi biarlah, aku akan urus itu nanti.
Aku duduk di kursi tunggu bersebrangan dengannya. Posisinya tidak berubah. Masih duduk dengan tatapan kosong di dampingi dengan titik bercahaya dimatanya. Hingga aku jengah dengan kesunyian ini, aku berdiri lalu berjalan menghampirinya. Memberanikan diri untuk menempatkan badan mungilku disebelah ranjang yang lumayan tinggi.
" Aku akan ada disamping kamu dan aku juga butuh kamu di hidup aku." Entah keberanian dari mana yang membuatku berani mengucapkan kalimat yang menggelikan itu.
Hening. Tak ada respon dari Arza. Aku coba selidiki apa penyebab keheningan dari bibirnya yang biasanya mengeluarkan kata-kata yang membuatku malu. Aku temukan kacamata mahal yang biasa dipakainya, kini telah retak di bagian gagang kanannya dan gores yang tampak jelas pada lensanya. Aku terkejut. Bagaimana dia bisa merusak kacamata itu ?
...Ini udah bagian kesembilan tapi viewers ny msih segitu doang. Bukan nggk bersyukur, tp sgl usaha dn upaya telah di lakukan (curhat?) tolong bantu sebarkan para viewers...
YOU ARE READING
FEAR & PHOBIA
Teen FictionSebuah tulisan berdasarkan apa yang sering terjadi, namun tak begitu disadari. *Because Sugar Its Always Sweet