Tujuh

13 6 2
                                    



Vira POV

Badanku terasa begitu lemas. Dan kini kudapati diriku di sebuah ruangan dingin bernuansa putih yang sedkit memudar. Ruangan ini terbilang cukup indah jika saja di jaga dengan baik. Banyak sarang laba-laba di sudut ruangan dan cat tembok mulai mengelupas. Dan kenapa aku di ruangan ini ? Ah, aku pasti tiba-tiba menangis dan pingsan. Itu sering terjadi. Gangguan psikologis yang seperti ini sangat lumrah bagiku. Paling tidak setelah kecelakaan tujuh tahun lalu.

Aku lapar. Aku tidak menyantap apapun selain sarapan yang diberikan kemarin pagi. Dan mungkin, karena itulah aku berada disini sekarang.

" Kamu udah bangun." Kata Arza yang menghampiri tempat tidurku.

" Belum. Aku kalo tidur matanya nggak merem dan bisa di ajak ngobrol." Ujarku.

" Lo lucu." Ucapnya dengan tawa yang ditahan.

Aku tertegun atas apa yang ia katakan. Huh, lelaki ini mulai lagi. Aku sungguh tak kuasa menahan rasa panas di pipiku dan sekarang, aku yakin pipiku memerah.

" Aku laper. Ada makanan nggak ?" Tanya ku.

" Nih ada titipan." Ucapnya setelah duduk dikursi sebelahku dan menyodorkan kotak makan siang.

" Dari siapa ?" Tanyaku sebelum mengambil kotak makan siang dari Arza.

Arza diam. Dia hanya dengan santainya membuka kotak makan siang itu dan menyuapkan isinya dengan sendok yang ada di dalamnya.

" Makan." Perintahnya.

" Aku bisa makan sendiri. Aku bukan anak kecil." Protesku.

" Semua orang sakit karena perbuatan sendiri pantes di perlakuin kayak anak kecil." Timpalnya.

" Heehh... Bukan salah aku kan kalo aku sakit ?" Aku tetap pada pendirianku.

" Makan aja bisa nggak ? Nggak usah banyak protes." Ujarnya dengan suara yang terdengar lebih tinggi.

Aku pun menurut dan membuka mulutku. Tampak sedikit senyum kepuasan di bibirnya saat dia menyuapiku. Aku sangat risih jika diperlakukan seperti anak kecil. Hanya saja, sekarang aku tak dapat menolak. Aku takut melihatnya marah dan bersedih. Jadi aku lakukan saja perintahnya.

" Lo harus sehat. Awas kalo lo sampe pingsan lagi. Gua kagak mau tau, ini terakhir kalinya lo masuk ke sini jadi pasien, paham ?" Dia bertanya, tapi lebih terdengar seperti dia sedang memberikan perintah kepadaku.

Aku mengangguk. Perasaan aneh melanda diriku. Aku hanya heran, kenapa pria ini begitu peduli padaku. Aku bahkan tak memiliki hubungan khusus dengannya. Kecuali hal yang memalukan saat pertama bertemu, headphone, dan juga menyelamatkanku. Hanya sebatas itu. Dan dia juga menyanyikan sebuah lagu untuk ku. Hanya mengingatkan.

" Kelas kita sebelahan. Kalo lo ada perlu apapun, datengin gua dulu. Jangan lupa." Ujarnya dengan nada bicara yang ketus.

" Kamu kenapa sih ? Lebay banget tau nggak." Kataku dengan maksud menggodanya.

" Bisa nurut nggak ? Jangan bantah omongan gua." Ucapnya dengan nada lebih ketus dari sebelumnya. Sedikit dingin. Bukan, itu tidak sedikit, sangat dingin.

Aku hanya mengangguk, lagi, meng-iyakan perintahnya. Tapi aku benar-benar tak paham kenapa dia bertingkah berlebihan seperti ini. 'Dasar Otoriter' umpatku dalam hati.

^^^

Aku kembali ke kelas begitu aku merasa aku sudah baikan. Arza menyarankanku untuk pulang, tapi aku menolak karena aku sudah bersedia makan, seperti perintahnya. Pria itu juga mengantarku kedepan kelasku dan benar, kelas kami memang bersebelahan. Apa aku benar-benar harus menuruti perintahnya. Ayolah, itu terdengar berlebihan meskipun jika aku seorang anak kecil.

FEAR & PHOBIAWhere stories live. Discover now