Episode 14 - Maaf

128 9 4
                                    

Mampus gue! cepet cari jalan keluarnya, Lir. C'mon, jangan sampe Adnan tau, Lira mengumpat dalam hati.

"Ah, iya, kan aku di SMP 8 gak sampe selesai. Begitu naik ke kelas 8, aku pindah sekolah."  Lira mengarang cerita dengan wajah tenang.

Semoga aja dia gainget deh, batin Lira.

Adnan tampak berpikir keras. "Masa, sih? Kok aku lupa, ya?"

"Iya, lah. Masa kamu lupa melulu, sih?" Lira tampak sedikit gelisah. "Yaudah, gak usah diinget lagi. Mending abisin nih minumannya." Lira mendorong matcha latte miliknya—yang tinggal setengah— mendekat ke arah Adnan.  Ia lalu memaksa sedotannya masuk ke mulut Adnan.

Bibir Adnan sedikit sakit gara-gara Lira memaksa sedotan itu agar masuk ke mulutnya yang menyebabkan bibir Adnan sedikit memerah.

Kayaknya Lira juga nutupin sesuatu dari gua. Yaudah, lah, gak usah dipaksa. Yang ada dia malah marah lagi sama gue. Mungkin ada alasan tertentu. Apa gue tanya mama aja, ya? Iya, mungkin dia tau sesuatu. Adnan sibuk bermonolog dalam pikirannya. Matanya kemudian memandang Lira yang sedari tadi diam.

Tangan Adnan terulur mengambil sendok dan garpu; memotong sedikit roti bakarnya lalu menyodorkannya pada Lira. "Nih, Lir,  A,  buka mulutnya!"

Lira refleks menarik badannya ke belakang, matanya terbelalak karena kaget. "Kamu mau ngapain?"

"Ya, nyuapin kamu, lah. Kan katanya kamu mau nyicipin." Adnan mengingatkan sambil tersenyum kecil.

Lira memutar bola matanya. "Iya ... tapi aku bisa sendiri kok."

Adnan bersikeras sambil mempraktekkan membuka mulutnya. "Udah. Buka mulutnya. A'...." 

Terpaksa Lira membuka mulutnya, melahap roti bakar yang disuapi Adnan lalu mengunyahnya dengan pelan. Lira dapat merasakan bagaimana roti bakar itu menjajah indra pengecapnya. Mulai terpampang jelas  ekspresi Lira saat merasakan enaknya roti bakar itu.

Adnan tersenyum puas. "Enak, kan? Ngeyel sih tadi dibilangin."

"Hohoho. Makasih, loh, Nan, kamu udah baik sama aku."  Lira menunduk, menyembunyikan senyum kecil di wajahnya.

Maaf. Aku gak bisa kasih tau kamu yang sebenernya. Mungkin waktu yang akan menjawabnya, kata Lira dalam hati.

"Iya, lah, aku baik. Kan aku sahabat kamu. Gapapa kalo kamu gak mau kasih tau tentang masa SMP kita, tapi kamu jangan marah ya sama aku," kata Adnan dengan jujur sambil mencubit pipi Lira yang seperti bakpao itu.

"Hahaha aduh, ngga lah, Nan, mana mungkin aku marah sama kamu. Udah yuk pulang udah siang nih." Lira mengusulkan sambil berusaha melepaskan cubitan Adnan.

"Ihh gemesin banget sih, dasar bocah gede." Adnan meledek Lira sambil menarik-narik pipinya

"Adooohh sakit tau, sampe kapan kamu mau cubit pipi aku ihh." Lira kesal dan tingkahnya yang seperti bocah semakin membuat Adnan gemas.

"Hahaha yaudah, ayuk." Adnan mengangguk. Ia berdiri lalu pergi meninggalkan Lira sebentar untuk membayar makanan. Sementara Lira masih duduk terdiam sambil memegangi pipinya yang memerah lalu mengamati bagaimana punggung Adnan perlahan menjauh dari pandangannya—ia merasa bersalah. 

Setelah membayar Adnan kembali menghampiri Lira dan segera mengajaknya pulang. Di perjalanan pulang mereka lumayan membahas banyak hal hingga tidak terasa mereka sudah sampai di depan rumah. Adnan pun berpamitan dengan Lira dan sekali lagi mencubit pipinya.

"Ihhh masih aja sih." Lira kesal.

"Ahahah habisnya kamu gemesin sih, yaudah aku pulang dulu ya." Ledek Adnan sembali melepaskan cubitannya.

Seseorang Yang Bersembunyi Dibalik CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang