Baby, You Make Me Crazy

394 32 12
                                    

(Inpired song: Baby, you make me crazy - Sam Smith)
.

.

.

Aku mencintainya. Berapa kali pun noona menasihatiku bahwa perasaan ini salah, tapi tetap saja aku mencintainya. Siapa juga yang meminta untuk memiliki perasaan ini? Semuanya datang begitu saja, seenaknya melekat dalam hatiku yang tak sengaja jatuh kedalam hatinya. Semakin sering aku menolak perasaan ini, semakin dalam juga aku terjatuh dalam lubang cinta yang kugali sendiri. Mungkin karena aku sudah lelah, atau mungkin karena aku tak bisa lagi meolak perasaanku padanya yang sudah benar-benar dalam dan tak mungkin lagi untuk kembali ke permukaan, yang jelas pada akhirnya aku mengakui bahwa aku mencintainya.

Aku yang egois ini, aku yang selalu memasang wajah seolah tak peduli padanya, aku yang selalu menghindarinya jika bisa, kini mendapatkan apa yang disebut karma.

[What are you to do when the person that you love just say no?]

"Aku mencintainya," ucapnya. Meski wajah dihadapanku ini menunduk, dapat kulihat dengan jelas senyumnya merekah, tatapannya berbinar begitu senang. Aku--yang jelas-jelas sudah tahu ekspresi semacam itu--tak langsung memberinya tanggapan. Tangan yang tadinya hendak menuangkan wine ke dalam gelas terhenti di udara, rasanya seperti membeku, bukan hanya tangan ini, tapi juga mulut dan pikiranku.

Perasaan bahagia yang biasanya menjalar ke dalam hatiku pun tak lagi kurasakan, seolah pabrik yang memproduksinya telah runtuh akibat banjir bandang, tsunami, petir, atau apa pun bencana besar yang sedang terjadi di sana. Semuanya luluh lantah, meninggalkan bekas dan luka yang begitu hebat. Perih, rasanya teramat perih.

Butuh waktu beberapa saat hingga bibir kelu milikku dapat kembali bergerak. "Ah, sungguh?" Nada bicara yang kubuat ceria ini benar-benar palsu, sial--aku bukan aktor hebat sepertinya. "Jadi kau akan mengajaknya kencan?"

"Entahlah..." ia tertawa, menggelengkan kepalanya. "Menurutmu dia akan menerimaku?"

"Siapa juga yang akan menolak orang setampan dirimu? Kekuranganmu hanya satu Lee Donghae, sedikit bodoh. Itu saja." Tuhan, rasanya begitu menyakitkan untuk tertawa di saat seperti ini.

"Kau benar, Hyuk."

Aku tak tahu mengapa masih berpura-pura senang di saat seperti ini. Tapi apa lagi yang harus kulakukan? Mengatakan dengan keras bahwa aku mencintainya? Melarangnya untuk mencintai seorang perempuan yang jelas-jelas ia cintai? Mengatakan bahwa aku yang lebih berhak menerima balasan cinta darinya?

Tidak bisa. Aku tak bisa melakukannya. Karena aku begitu takut, jika semua yang kulakukan pada akhirnya membuat Donghae menjauh dan membenciku. Lebih baik aku merelakannya bersama orang lain, daripada harus kehilangan sosok sahabat sepertinya.

[Boy, get yourself together...]

Haha.

Yah, aku memang bodoh, naif. Tapi beginilah, kurasa aku pantas untuk mendapatkannya. Mungkin karena diriku yang terlalu berharap semuanya akan selalu seperti ini, hingga sering membuatnya kesal dan lupa kalau ia tak memiliki perasaan yang kumiliki. Mungkin juga karena aku kurang mencintainya, hingga Donghae sama sekali tak menyadari segala yang kurasakan. Segala tatapanku padanya, tiap senyuman yang begitu lebar, renyah tawa yang lepas, juga eratnya jariku ketika menggenggam tangannya, Donghae tak pernah menyadari sama sekali bahwa semua itu hanya untuknya seorang.

Semalaman aku berbincang dengannya, menghabiskan waktu berdua di apartemenku yang semula rapi namun menjadi berantakan saat ia datang berkunjung. Biasanya kami tertawa sepanjang malam, membicarakan apa pun yang telah kami lalui. Tapi malam ini, Donghae lebih banyak bercerita. Ia lebih banyak memuja satu nama yang ia akui telah memenuhi pikirannya dua bulan terakhir.

Tiap Donghae tersenyum, aku ikut tersenyum. Ia tertawa, aku pun tertawa. Hanya saja, segala yang kulakukan, setiap senyum dan tawa milikku telah menorehkan luka, menyayat hati yang sudah banyak tambalan di permukannya. Perih, sungguh perih.

[You say that you're leaving...]

Pun ketika Donghae bangkit setalah menatap layar handphonenya, aku hanya bisa kembali tersenyum. "Aku pamit, ia meminta bertemu. Doakan aku, Hyuk-ah!"

"Hm! Semoga semuanya lancar!" Tanganku menepuk pelan punggungnya berkali-kali, memeluk tubuhnya yang terasa hangat.

Jariku gemetar memegang sandaran kursi, mencengkramnya semakin kuat. Aku tertawa pahit ketika punggung orang yang kucintai telah sepenuhnya menghilang dari balik pintu. "Bodoh, dasar bodoh."

[But I don't think I can let you go...]

Langkahku gontai berjalan ke arah dapur, mengambil kaleng bir dari dalam kulkas. Ku tenggak langsung minuman beralkohol tinggi itu setelah membukanya, membiarkan sensasi terbakar menjalar melewati tenggorokanku.

"Lee Donghae... Oh, Lee Donghae...aku mencintaimu! Sangat mencintaimu..."

[Baby, you make me crazy..]

Bibirku terus meracau, entah mengoceh kan apa, tapi yang jelas nama "Lee Donghae" begitu sering kusebut. Tanganku pun sudah membuka kaleng bir yang ketiga, tanpa tahu kapan harus berhenti.

Rasanya aku seperti orang gila ketika tertawa dan menangis di saat yang bersamaan seperti ini. Aku sendiri juga tak tahu kenapa tiba-tiba air mata ini menetes. Ah iya, mungkin karena hatiku sudah tak sanggup lagi menahan semua perih luka itu sendirian. Mungkin sesekali menangis seperti ini tak ada salahnya.

[Why'd you have to fill my heart with sorrow?]

Menangis akibat kebodohanku yang tak sanggup mengungkapkan perasaan ini padanya.

Menangis akibat kenaifanku yang masih berharap segalanya baik-baik saja, meski sudah tahu bahwa hatiku tidak.

Menangis karena kegilaanku yang berani mencintainya.

[Save me..., make it all hazy...]

Tapi rasanya tangisan ini tak membantuku sama sekali. Apa yang harus kulakukan, Lee Donghae? Apa yang harus kulakukan supaya luka ini dapat tertutup kembali? Setidaknya dirimu yang berada di bayanganku bisa memberikan jawaban! Ayolah, jawab! Meski kau yang ada di dalam pikiranku tak nyata, tapi kumohon jawab!

"LEE DONGHAE! AKU BERBICARA PADAMU!"

Teriakanku begitu kencang, namun aku tak peduli. Siapa juga yang akan mendengar? Siapa juga yang akan peduli? Karena orang yang selalu perhatian padaku selama ini sedang pergi dengan perempuan lain, perempuan yang ia cintai. Kuyakin mereka sedang bersenang-senang, berbagi tawa...

seperti yang biasa kami lakukan.

HAHAHA.

Aku sungguh menyedihkan.

Ya sudahlah... aku memang hanya bisa memejamkan mata dan berharap untuk terbangun dengan melihat senyumanmu di hadapanku.

[So I don't think about you till tomorrow...]

.

.

.

END

.

.

.

Halo... saya kembali up dengan fict angst.

Maaf, hanya ingin berbagi perasaan yang lagi sedih dan galau;_____;

Enjoy!

Last but not least, mind to comment and vote? I'll be very happy 💙

BIG THANK YOU FOR YOU ALL *HUG*

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 27, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OPPOSITE (let's sing a song) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang