MKT (2)

3.5K 151 18
                                    

Malam itu juga 2 helai baju koko, 1 helai baju gamis, 3 potong sarung dan 3 peci putih Made in Malaysia yang ada logo Terompah Nabi kumasukkan dalam tas ransel coklatku. Sabun, sampo, sikat dan odol tak lupa kuselipkan di bagian depan tas. Power bank dan Charger adalah hal terpenting yang tak boleh ditinggalkan bersamaan dengan Kipas Portable.

Kalau di Indonesia ada pepatah "Sedia payung sebelum hujan", di sini ada pepatah "Sedia power bank dan kipas sebelum mati lampu".

Esok harinya tanggal 16 Ramadhan ba'da Shalat Shubuh aku kembali memeriksa tasku dan memastikan tak ada satupun yang tertinggal, akupun turut mengingatkan Si Abdul untuk mengecek barangnya kembali. Kutatap jendela asrama, nampak langit sedikit mendung, suara burung gagak di pagi buta cukup memecah keheningan hariku.

Taksi yang sudah kami pesan akhirnya tiba di asrama tepat jam 6 pagi. Kini aku dan Abdul mulai memasukkan barang ke bagasi mobil, lantas kami duduk di kursi belakang.

"Ammu, asri' syuwayya, nahnu musta'jil jiddan jiddan, kay la nata'akhkhor", [Paman, tolong agak cepat dikit, kami lagi buru-buru banget biar gak telat] ucapku kepada Sopir Taksi.

Taksi putih itu melaju dalam terpaan sinar mentari yang kuning keemasan.
Butuh 30 menit untuk sampai ke tempat pemberangkatan di tepi Khour, di Sharij -Mukalla.

Sepanjang jalan kulihat masih ada sisa-sisa pembakaran ban bekas yang dilakukan para demonstran beberapa hari lalu yang menuntut untuk pemulihan suplay listrik yang kian hari kian tak menentu.
Di mana dalam satu hari listrik padam lebih dari lima kali, itupun hanya 2-3 jam saja. Listrik di musim panas seolah-olah menjadi barang mewah yang susah didapatkan. Terpaksa kebanyakan warga yang beruang harus membeli generator listrik untuk memenuhi kebutuhan harian mereka, terlebih pabrik-pabrik.

Sepanjang jalan dari Hayy Syafi'i hingga Khour Mukalla terasa sangat sepi sekali. Hanya satu dua mobil yang kulihat. Yah, ini Bulan Ramadhan, kegiatan orang Yaman berubah total. Setelah 30 menit melaju kencang di atas aspal, taksi yang kami naiki akhirnya menurunkan kami di tepian Kanal Khour.
Lansung saja kami berkemas menuju mobil fan yang siap mengantarkan kami ke Tarim. Aku lebih memilih menggunakan jasa mobil travel dari pada bus, lebih asyik untuk menikmati sepanjang perjalanan menuju Tarim, kota pengharapan.

Kami mengambil kursi nomer dua dari belakang di bagian kiri dekat jendela.
Yah, ini adalah kursi favoritku. Sengaja mengambil posisi di samping jendela agar aku bisa menikmati pemandangan perbukitan sepanjang jalan menuju Tarim. Butuh 7 jam lamanya untuk mencapai Kota Tarim dengan kecepatan standar. Jarak Mukalla - Tarim sekitar 350 km.

Dengan memangku tas ransel di paha dan menyiapkan syal sebagai penutup kepala saat tidur, lantas membaca Do'a Safar kini akhirnya mobil travel melaju kencang di atas aspal setelah semua penumpang menduduki kursi masing-masing, tak terkecuali aku dan Abdul.

Baru beberapa menit mobil meninggalkan landasannya di Kanal Khour, mataku sayup-sayup tak tertahankan dan akhirnya kepalaku terjatuh dalam dekapan tas ransel coklat yang kupangku.

Setelah 3 jam berlalu, aku terbangun. Kuaktifkan altimeter yang ada di hpku. Perlahan angkanya terus naik hingga mencapai angka tertinggi 1330 mdpl.
Bukit-bukit batu berpasir atau yang dikenal dalam Bahasa Arab dengan sebutan AlAhgaff sangat panjang dan cukup tinggi. Bayangkan saja ketinggiannya mencapai 1,3 km di atas permukaan air laut.

Sedikit merasa iseng kubuka jendela di sebelah kiriku, menjulurkan tangan di tengah terik matahari. Kukira udaranya panas, ternyata di ketinggian 1,3 km hawanya terasa adem. Kiri-kanan jalan yang nampak hanya padang luas dan perbukitan yang terjal. Dan, hanya satu-dua mobil saja yang ditemui di sepanjang jalan. Hanya hitungan jari, tak lebih.

Tak lama setelah itu akhirnya kami menuruni bukit Ahgaff yang tinggi dan panjang itu. Masuk ke area Lembah Al-Ahgaff dengan ketinggian berkisar antara 600- 900 mdpl.

Mendadak Ke TarimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang