MKT (10)

984 56 9
                                    

Aku bahkan membayangkan seperti apa jadinya nanti setelah aku mengucapkan “Qobiltu Nikahaha Wa Tazwijaha Bil Mahril Madzkur Wa Rodhitu Bihi...”, yang disambut dengan suara serempak “Sah!”.

Lamunan itupun buyar ketika Abah Abdul berdehem dan mempersilahkan puterinya untuk berbicara. Akhinya ia membuka sedikit bibirnya, sepertinya sedang membaca Bismillah lantas berkata: “Salam kenal Abang, ana Azka Shofia Fauzan, panggil saja Azka”. Sambil meletakkan kedua tangannya di depan dada, ia memberi sedikit anggukan kepadaku.
Oh, namanya Azka, nama yang indah seindah pemilik nama itu. Dia panggil aku Abang. Oh Azka, perlu kau tahu, “Abang” adalah panggilan yang paling aku sukai dari sekian panggilanku selama ini. Yah ketika aku tiba di Cirebon 8 tahun silam, aku mendapat panggilan yang berbeda-beba. Ada yang memanggilku “Kang”, sapaan akrab di Cirebon, ada yang memanggilku “Mas”, ada yang memanggil “Kakak”, ada yang memanggil “Abang”, ada yang memanggil “Adek”, dan ada yang memanggilku “Om”, yaitu keponakanku sendiri.

Sebenarnya aku ingin memanggilnya dengan panggilan Aas atau Fifi, panggilan khusus dariku untuknya. Namun karena rasa gugup begitu mengekangku, jadi aku panggil saja “Mba Azka”. Dia agak sedikit risih ketika aku memanggilnya dengan “Mba”, meski panggilan itu adalah panggilan akrab di Jawa untuk wanita yang lebih dewasa. Aku menjawab perkenalan itu dengan sedikit gemetar: “Salam kenal Mba Azka, ana Imam Abdullah Rashied”, aku menambahkan nama belakang tanpa menggunakan “EL”, yah itu adalah nama belakang Abahku, sepertihalnya Azka nama belakangnya adalah nama Abahnya juga.

Azka nampak sedikit tersenyum seraya berkata: “Panggil adek aja Bang, jangan Mba. Kayak ngerasa gimanaaa gituh... he he he”. Abdul agak terkekeh mendengar ucapan kakak perempuannya yang ia panggil dengan “Mpok” itu, layaknya panggilan orang betawi pada umumnya.

Aduh gimana nih ya, koq aku malah jadi ngerasa salah tingkah di depan Azka”, ucapku dalam batin. Azka hanya tersenyum, senyumnya begitu manis.

Nampaknya dia sangat menguasai panggungnya kali ini, sedangkan aku kelabakan dan tak tahu harus bersikap apa dalam keadaan yang untuk pertama kalinya aku alami ini.

Oh, ia Dek Azka...”, hanya itu saja tanggapanku atas permintaannya. Senyum dan tawa nampak di wajah-wajah yang menatapku, nampaknya mereka tahu betapa gugupnya anak kampung yang ada di hadapan mereka. Aku mengikutkan diri untuk tersenyum, sambil menahan rasa malu. Tiba-tiba Abah Azka berdehem dan mengambil alih pembicaraan: “Gimana Nak Imam, soal permintaan Abah tadi. Kalo Azka, orangnya sudah mengiyakan sejak pertama Abah dan Ummi membicarakan hal ini padanya sebulan silam sebelum akhirnya kami mengunjunginya setelah Umroh. Tapi Nak Imam tak usah buru-buru, kami masih seminggu lagi di Tarim. Kami harap Nak Imam sudah bisa memberi kami kepastian sebelum kami kembali ke Indonesia”.
Aku jadi teringat tentang puisi yang kutuliskan 4 tahun silam. Puisi itu masih tersimpan rapi di Dairy yang selalu kubawa saat bepergian. Puisi itu berjudul “Permaisuri Masjid Biru”, berikut isinya:

Salju turun menyelimuti wajah Masjid Biru

Keanggunannya seolah-olah membeku

Taman rindangpun nyaris tak menampakkan senyum

Akan tetapi..
Gadis berkerudung biru itu telah menyihir sesuatu

Gadis yang memegang setangkai mawar biru

Di hadapan keagungan itu

Bibirnya tersenyum menatap dengan bisu

Hatiku tertawan oleh sihir pesonamu

Entah rasa apa yang telah menawanku?

Apakah ini yang namanya cinta?

Oh Permaisuri Masjid Biru

Perlu Kau tahu
Dalam singgasana jiwaku, kaulah permaisuriku

Mantel bulu yang kau kenakan, nampak sebagai gaun yang begitu mempesona
Nampak kedua orang tuamu berdiri di sisimu

Seolah mereka sedang mengantarkan seorang penganten menuju ke hadapanku

Ah, aku harap Tuhan menciptakanmu sebagai permaisuriku kelak

[Di ketinggian 1000 m di atas permukaan laut, dekat pos pendakian pertama Gunung Ciremai – Kuningan, 25 November 2014, dalam bingkai foto gadis cantik masuk ke WhatsAppku]

Beberapa bulan yang lalu Abdul sempat meminjam buku Diaryku. Katanya ia ingin membaca puisi-puisiku. Bagiku tak ada yang privasi dalam buku bercover hitam itu. Hanya ungkapan-ungkapan puisi.

Nampaknya Abdul sempat membaca “Permaisuri Masjid Biru” dan kusangka dia memahami maksud puisi itu. Yah, puisi itu berbicara tentang gadis yang berfoto di depan Masjid Biru – Turki. Akhir November 2014 Abdul pergi ke Turki bersama keluarganya, termasuk kakak perempuannya. Hanya saja aku tak berani bertanya tentang seorang gadis yang berpose memegang mawar biru di depan Masjid Biru kepada Abdul. Aku berusaha untuk menjaga imageku. Biarlah rasa kagum dan cintaku pada gadis itu aku ungkapkan dalam puisi, lantas kulantunkan dalam do’a-do’aku. Jika ia baik untukku semoga Allah mendekatkannya padaku, namun jika tidak, maka semoga Allah menjauhkannya dariku, sejauh-jauhnya.

Dalam waktu senggang di asrama, kadang kami suka berbicara tentang pernikahan. Yah, tema ini adalah tema yang takkan pernah habis untuk dibahas. Saat itu di kamar ada aku, Abdul dan Nauval. Aku dan Nauval bicara panjang lebar soal kriteria istri idaman. Abdul hanya mendengarkan saja, tanpa memberi komentar. Saat itu Nauval bertanya kepadaku tentang calon istri yang kuidam-idamkan. “Yah yang penting Sholehah, keturunan baik-baik, syukur-syukur cantik dan kaya. Kalo inginnya sih santri Daruz Zahra biar sekalian Habib Umar yang nikahin”, ucapku dengan mantap kepada Nauval. Lantas, sepeti kebiasannya ia nyeletuk: “Emang bakal ada yang nerima kamu?”. Aku jawab saja sekenanya: “Val, kalo aku maunya bukan melamar tapi dipaksa untuk melamar santri Daruz Zahra, ha ha ha”, tambah mantap aku menjawab pertanyaannya dengan sedikit tertawa. Yah, apa salahnya kita berharap, selama harapan kita hanya tertuju kepada Allah.

Aku malah berfikir. Apakah lantaran Do’a Nabi Musa a.s. yang kubaca di jalan kemaren, aku mendadak dapat jodoh yang kuinginkan. Ataukah karena Abdul sudah menyettingnya sedemikian rupa dengan Abah Umminya. Ataukah lantaran do’a yang sering kupanjatkan di penghujung malam? Sehingga jodoh yang kuinginkan tepat seperti yang kuharapkan, termasuk bagaimana sekiranya aku yang merasa butuh tapi seolah-olah aku yang merasa dibutuhkan dan diminta. Dan, selama ini harapan adalah senjata terampuh yang kugunakan untuk mencapai cita-cita.

Aku mengambil nafas dalam-dalam sambil sepintas menatap wajah Azka lekat-lekat lantas menatap kembali wajah Abah Azka seraya berkata: “Jawaban itu nampaknya akan ditentukan sekarang juga Bah, tapi...”. Tiba-tiba 4 pasang mata tertuju kepadaku menunggu kelanjutan kalimat yang hendak kuucapkan. “Sebaik-baik kebaikan adalah disegerakan Bah. Tapi saya akan menghubungi orang tua dan guru saya di Indonesia terlebih dahulu. Kalo saya, jujur sejak lama saya sudah menaruh harapan pada Azka, meskipun saya tak pernah membicarakannya pada Abdul atau kepada Abah”.

Mendadak Ke TarimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang