MKT (11)

1.2K 72 20
                                    

Sebaik-baik kebaikan adalah disegerakan Bah. Tapi saya akan menghubungi orang tua dan guru saya di Indonesia terlebih dahulu. Kalo saya, jujur sejak lama saya sudah menaruh harapan pada Azka, meskipun saya tak pernah membicarakannya pada Abdul atau kepada Abah”.

Empat pasang mata yang melirik padaku menarik tatapan tajamnya dariku. Nampaknya mereka sangat faham dengan apa yang kukatakan. “Saya tak ingin memutuskan sesuatu tanpa mengikutkan orang tua dan guru, terlebih dalam hal pernikahan Bah”, ucapku dengan mantap. “Insya Allah besok malam, setelah bermusyawarah dengan orang tua dan guru, Imam akan segera menemui Abah Fauzan dan Ummi Fauziyah. Mohon do’anya semoga ini adalah ikhtiyar yang terbaik”, imbuhku sambil menunggu komentar Abah Azka.

“Soal pernikahan, Abah dan Ummi Imam sebenarnya sudah memasrahkan sepenuhnya tentang calon pendamping yang menjadi teman hidup Imam. Bagi mereka berdua yang penting Sholehah. Bahkan Ummipun sempat menyinggung kalo saya mau menikah dengan santri putri di Yaman juga silahkan sebagaimana banyak dilakukan alumni Yaman. Guru saya dulu malah berpesan sebelum berangkat: “Nak, belajar yang rajin. Soal menikah dengan siapa, nanti kalau kamu sudah lulus tinggal bilang saja mau minta anaknya siapa nanti saya yang melamarkan”. Hanya saja saya tak ingin memutuskan sesuatu tanpa musyawarah dan arahan mereka Bah”. Ucapku kepada Abah, sambil sesaat aku menatap Azka.

Nampaknya Azka sedikit kecewa lantaran aku tak memutuskan langsung menerima lamaran itu. Tapi setidaknya saat ini dia sudah yakin bahwa aku mencintainya. Lantas Abah berkata kepada Azka: “Azka, ada yang mau disampaikan?”. Azka mengangguk dan berkata: “Bang... apa pun jawaban Abang, Azka akan terima. Kalo diterima, Azka dengan senang hati menyambutnya, kalaupun ditolak dan semoga saja tidak, Azka akan lapang dada menerima kenyataan. Kita hanya berikhtiyar dan Allah-lah yang menentukan. Jangan lupa do’akan yang terbaik buat Azka Bang...”. Ada setetes air berkilau di ujung mata Azka. Oh Tuhan, aku tak ingin membuatnya menangis kecuali dalam kebahagiaan. Maafkan aku Azka yang belum bisa memberikan kepastian, meskipun aku ingin hidup bersamamu di dunia dan akherat.

Azka, laki-laki mana yang akan menolak gadis cantik seperti dirimu? Keluarga mana yang tega menolak gadis baik-baik sepertimu? Aku janji padamu Azka meskipun kau tak mendengar suara hatiku. Tunggulah satu hari saja, aku akan meyakinkan kedua orang tuaku dan guruku untuk menentukanmu sebagai pendamping hidupku. Dan, aku berjanji akan membahagiakanmu selama nafas ini masih terhembuskan dari hidungku, selama darah ini mengalir di nadiku. Maafkan aku Azka yang telah membuat isi hatimu tak menentu, meskipun kau tahu aku mencintaimu dan menginginkanmu.

Kulihat Ummi Fauziyah menggenggam erat tangan Azka. Abah Fauzan menatapku. Sedangkan Abdul hanya terdiam tanpa komentar di sampingku. Dalam suana yang membeku ini, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Makanan yang dipesan sudah siap untuk disantap. Saat kami hendak menyantap makanan itu, tiba-tiba kami mendengar suara Adzan berkumandang.

Yah, itu adalah Adzan Shalat Isya’. Dengan khidmat kami mendengarkan Adzan secara seksama seraya menjawabnya perlahan. Namun anehnya kami mendengar bacaan “Ash-Sholatu Khoirun Minan Naum...”. Bukankah ini waktu Isya’ bukan Shubuh? Aku masih penuh tanda tanya mendengarnya, sedangkan orang-orang di hadapanku hanya diam saja hingga suara Abdul begitu keras memanggilku: “Bang... Bang Imam...”. Aku justeru tambah heran, kenapa Abdul malah berteriak memanggil sedangkan aku duduk di sampingnya. Abdul terus saja memanggilku hingga aku terbangun dari tidurku.

Aku terbangun dari kasurku. Ku lihat Abdul menyelinap masuk melewati pintu sambil terus memanggilku. “Bang udah Shubuh nih, cepetan bangun... oh iya tadi Abang gak sahur?”, tanyanya kepadaku. Aku hanya menyambutnya dengan kata “Iya nih, Gue ketiduran Dul”. Rasanya lelah sekali setelah bangun tidur. Aku baru ingat, kemaren sore sebelum Maghrib kami sedang mengadakan kerja bakti untuk menyambut kedatangan Sayyidi Syeikh yang akan tiba di asrama pertengahan Ramadhan ini. Pantas saja aku tidur begitu lelap setelah Shalat Taraweh.

Punggungku masih terasa nyeri lantaran kelelahan saat kerja bakti di waktu puasa, di saat stamina sudah di ambang batasnya.

Aku kira perjalanan ke Tarim adalah sungguhan, ternyata hanya sebuah mimpi. Dan, kau Azka, terima kasih sudah sudi untuk mampir dalam kisah ini sebagai salah satu tokoh kunci jalannya cerita. Meskipun aku belum pernah melihatmu namun setidaknya aku sudah sangat senang bisa bertemu denganmu dalam imajinasiku, meski dirimu hanya tokoh fiktif belaka.

===================================

Seharusnya aku memberi Tag Line cerita ini dengan tulisan: “Sebuah Cerita Tentang Mimpi Perjalanan Dan Perjodohan”, dengan menghilangkan tanda koma antara kata mimpi dan perjalanan. Ternyata, salah meletakkan koma akan membuat sebuah ungkapan berubah total.

Penulis adalah Mahasiswa di Fak. Syariah - Imam Shafie College, Mukalla - Hadhramaut - Yaman.

Jika dirasa artikel ini menarik atau bermanfaat, jangan segan-segan untuk disebarkan, semoga bermanfaat.

Buat yg pengen tanya² langsung dengan penulis silahkan follow akun baru beliau 👇😉

Terimakasih sudah baca sampai part akhir 😂Semoga bermanfaat 😊Jgn lupa jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama ya😉😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terimakasih sudah baca sampai part akhir 😂
Semoga bermanfaat 😊
Jgn lupa jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama ya😉😊

Mendadak Ke TarimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang