Tiga

6.8K 317 8
                                    

Anggi tidur sangat lelap, tidak tahu jika pintu kamarnya terbuka, tidak sadar kalau tangannya disentuh, keningnya disentuh, lalu bibirnya dikecup.

"Malam Anggi. Maaf baru bisa datang sekarang. Aku sibuk banget hari ini. Tapi malam ini aku janji bakal nemenin kamu." Yang datang larut malam begitu adalah Teo—teman Anggi dari sejak kecil.

"Gimana keadaan Anggi hari ini?" Teo bertanya pada Anna yang baru masuk.

"Ngeselin seperti biasa. Kak Anggi gak bilang-bilang kalau mau pergi."

Teo tidak bersuara, hanya mengangguk ringan. Yang paling mengerti Anggi di sini adalah dia. Sungguh-Teo tidak berpikir berlebihan---karena dari Ayah dan adiknya hanya Teo yang memahami semua yang ada pada diri Anggi tanpa mengeluh.

IQ pas-pasan, EQ apalagi. Ceroboh, sulit mengerti sesuatu, tidak bisa diandalkan dan sering membuat orang salah paham. Teo tahu Anggi menyadari kekurangannya begitu banyak. Anggi tidak memiliki apapun selain wajahnya. Tapi meskipun wajahnya bisa digunakan, Anggi terlalu sulit untuk memahami sesuatu. Anggi mungkin tidak bisa mengikuti arahan sutradara. Apalagi jika ayahnya tidak peduli padanya, yang artinya Anggi tidak memiliki koneksi sama sekali

Teo mengembuskan napasnya. Anggi berniat bunuh diri pasti karena hidupnya yang berat. Teo menatap wajah mungil di tempat tidur. Kamu mau ninggalin aku? Kalo kamu mati aku sama siapa? Teo mengembuskan napasnya lagi. "Sebaiknya kamu jangan ngelakuin hal bodoh kayak gitu lagi atau aku bisa gila."

Di depan pintu Anna melihat interaksi Teo kepada kakaknya. Rasa sedih dapat dilihat di wajahnya dalam remang-remang. Tapi Anna juga tersenyum tipis."Kak Teo sebaiknya tidur. Kak Teo juga butuh istirahat, kan abis syuting."

Teo mengangguk. "Kamu bisa pulang. Biar aku yang jagain Anggi."

"Tapi kak Teo---" Melihat wajah tegas Teo Anna berhenti protes. "Oke," ucap Anna sebelum menutup pintu dan pergi.

"Mimpi indah, bodoh."

Berbeda dengan Anggi yang memimpikan om seksi, Teo memimpikan masa kecil mereka saat Teo baru pindah ke lingkungan rumah yang ditempati Anggi dan keluarganya.

Saat itu umur mereka sama-sama masih lima tahun. Anggi yang dulu lebih mungil daripada yang sekarang. Lebih lucu dan sangat polos.

Saat itu Teo sedang memeriksa kotak mainannya di dalam mobil. Ketika dia ingin keluar membawa kotak mainannya dia terkejut melihat kepala mungil di kaca jendela mobil sedang mengintip.

"Kamu siapa?" Teo betanya dengan kening berkerut. "Minggir." Anak yang mengintip tadi sedikit menjauh dari pintu.

Dengan senyuman bodohnya Anggi mengulurkan tangan. "Kamu tetangga balu ya. Aku Angi."

Itu saat pertama kalinya Teo menyukai senyum Anggi. Bagi Teo itu bukan senyum bodoh, melainkan senyum paling tulus yang pernah dia lihat.

"Aku Teo."

"Yuk, main. Aku punya lobot-lobotan. Nih...." Anggi mengacung-acungkan robotnya ke depan wajah Teo. Teo tertawa dan ikut bermain.

Itu hari pertama mereka berkenalan....

Setelah itu Teo bangun karena sentuhan di wajahnya. Orang iseng tersebut adalah orang dalam mimpinya—Anggi.

"Kamu lagi ngapain?" Teo mengerutkan kening, pura-pura marah.

Anggi nyengir lalu menggeleng cepat. "Enggak ada. Kamu tuh emang ganteng ya." Anggi menyentuh Teo lagi. "Hidung kamu, mancung banget. Kayak bule. Terus mata kamu, kenapa aku liat kok warnanya gak item atau coklat? Kayak abu-abu? Terus bulu mata kamu panjang. Terus bibir kamu. Seksi. Gak kalah deh kayaknya dengan bibir om seksi kemarin. "

Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang