Sepuluh

2.7K 182 41
                                    

Tok tok tok...

Pintu diketuk kasar.

"BANGUN ANAK SIALAN!"

Tok tok tok...

"BANGUN DAN KELUAR, ANJING."

Mendengar pintu diketuk kasar saja sudah membuat Anggi bangun dari tidurnya apalagi ditambah kata-kata kasar. Anggi memang sudah terbiasa dengan kata-kata kasar ayahnya tapi Anggi merasa kalau kali ini ayahnya tidak seperti biasanya.

Anggi mengucek matanya, buru-buru menuju pintu dan membukanya.

PLAKKK

Pintu baru saja dibuka dan tamparan keras langsung mendarat di pipinya. Sakit. Rasanya sangat sakit. Tapi lebih sakit saat melihat wajah marah penuh kecewa dari ayahnya.

Ayahnya sering nenunjukkan wajah seperti itu padanya. Sering, sangat sering. Dan Anggi sudah terbiasa. Tapi tidak dengan tamparan. Sejahat apapun ayahnya, sebenci apapun ayahnya, tidak pernah anggi mendapatkan satu pukulan pun. Malam ini yang pertama dan Anggi tidak yakin akan menjadi yang terakhir. Tapi Anggi tidak akan membenci, Anggi siap, sangat siap jika pukulan lain menyusul. Perlakuan ayahnya tidak salah, Anggi pantas mendapatkannya. Salahkan Anggi yang bodoh. Salahkan Anggi yang tidak mungkin bisa menamatkan SMA jika tidak dengan bantuan ayahnya. Salahkan Anggi yang tidak memiliki kelebihan apa pun. Salahkan Anggi yang hanya menjadi aib untuk keluarga mereka.

Pria dewasa yang tidak pernah menyayanginya menariknya secara paksa menuju ruang tamu lalu melemparnya ke lantai. Kemudian sebuah ponsel dilempar ke pangkuannya. Dia tidak mengerti sampai dia melihat gambarnya dan om Alex berdiri bersama. Anggi bangkit dari posisinya, berusaha untuk menjelaskan. "Ini—Anggi—"

"Kamu—sejak kapan kamu jadi jalang di luar sana, ha?!" Kali ini bukan lagi tamparan, melainkan pukulan keras dari sebuah kepalan tangan mendarat di wajahnya hingga dirinya kembali terduduk di lantai yang dingin. Sakit. Tapi Anggi tidak menangis. Padahal Anggi sangat ingin menangis untuk meluapkan emosinya. Untuk meluapkan kekecewaannya karena sang ayah tidak pernah sekalipun mempercayainya. Tidak pernah sekalipun ingin mendengar penjelasannya.

Jika hanya dua kata yang dia ucapkan langsung mendapat pukulan, bagaimana caranya dia menjelaskan? Mungkin dia sudah mati terlebih dahulu sebelum sempat menjelaskan semuanya.

"Apa uang yang saya berikan tiap harinya kurang?! Apa yang ingin kamu beli sampai-sampai kamu menjual tubuh pada pria, sialan!"

"Kamu sudah menjadi lelucon untuk keluarga ini, dan sekarang kamu ingin menambahnya lagi dengan prilaku kotor itu?!"

"Seharusnya ibumu tidak melahirkan anak terkutuk seperti kamu! Seharusnya kamu tidak ada di rumah ini!"

Telinga Anggi berdenging. Anggi sangat berharap apa yang didengarkannya saat ini tidak lebih dari ocehan guru sekolahnya saat mengajar. Ocehan yang bisa masuk ke telinga kirinya lalu dengan mudahnya keluar dari telinga kanannya. Tidak pernah masuk ke kepalanya apalagi ke hatinya. Tapi itu tidak mungkin, karena saat ini hatinya sakit. Tiap kalimat yang diucapkan ayahnya masuk ke pendengarannya lalu meresap ke hati.

Anggi mendongak, menatap ayahnya yang sangat marah. Sudah sangat lama Anggi tidak berani menatap wajah ayahnya. Terakhir kali saat sang ayah mengatakan kalau dia membencinya, Anggi tidak berani menatap ayahnya lagi. Malam ini, Anggi punya firasat kalau ini kesempatan terakhirnya untuk menatap wajah satu-satunya orang tua yang Anggi miliki.

Anggi ingin merekam wajah ayahnya di memorinya untuk terakhir kalinya.

Wajah pria dewasa yang selalu membencinya masih terlihat tampan meski usianya sudah menginjak lima puluh tahun. Tapi anehnya ketampanan ayahnya tidak menular ke Anggi. Hanya hidung mereka yang sama. Kalau kata orang Anggi lebih mirip dengan ibunya ketimbang sang ayah. Sedangkan Anna kebalikannya. Mungkin karena itu ayahnya lebih menyukai Anna ketimbang dirinya sendiri.

Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang