Empat

5.8K 298 4
                                    

Setelah kepergian Alex, Teo dengan kejam mencubit pipi Anggi. "Itu om yang kamu ceritain?" Anggi mengangguk. "Bisa janji satu hal sama aku?" Anggi menatapnya dengan pandangan bertanya. "Jauhin dia."

"Kenapa? Om Alex kan bukan orang jahat."

Teo melepaskan cubitannya. "Ya—kita— kan gak tahu." Matanya berkedip, memalingkan wajahnya sebentar lalu kembali menatap Anggi. "Siapa tahu om itu orang jahat. Dia baik karena ada maunya."

"Teo bohong."

"Kok bohong?"

"Teo kalo bohong matanya kedip-kedip terus liat ke tempat lain."

"Teo bohong. Anggi mau jalan-jalan sendiri aja." Anggi berlari menuju taman, Teo mengejar dari belakang.

****

Di sisi lain Alex sedang berbicara dengan dokter spesialis anak.

"Apa bener-bener gak ada cara lain? Gue bingung sumpah gue bingung. Lo tahu kan, gue itu gak bisa ngurus anak kecil. Gue juga sibuk." Alex mengusap wajahnya, putus asa.

"Gue juga udah bilang kan? Elo tinggal sewa babysitter untuk anak lo. Gampang, 'kan?" Anjas—teman baik Alex frustrasi melihat Alex yang keras kepala.

"Elo juga tahu, 'kan, anak gue itu masuk rumah sakit gara-gara babysitter!"

"Iya, gue tahu. Gue ngerti. Tapi gak semua babysitter kayak gitu."

"Gak, gue gak percaya lagi sama yang namanya babysitter. Apalagi dengan kondisi anak gue yang gak bisa bicara."

"Tapi gue juga gak bisa biarin anak lo terus-terusan dititip di rumah gue. Rumah gue bukan tempat penitipan anak, oke? Istri gue juga kelimpungan ngurus dua anak sekaligus."

Alex putus asa. Seharusnya dia tidak perlu jadi ayah yang baik untuk anak yang bahkan tidak dikenalnya. Dia pria yang menyukai pria, demi Tuhan! Tapi bagaimana dia bisa menghasilkan seorang anak? Apa yang sebenarnya dia lakukan?!

Sebulan yang lalu seorang anak kecil mengetuk pintu rumahnya dan memberikan surat. Di sana hanya ada tulisan kalau nama anak itu Dimas. Itu anaknya dan dia wajib mengurusnya. Alex sangat percaya diri kalau anak itu milik orang lain. Tapi kenyataan menghantam. Setelah hasil tes DNA keluar dunianya runtuh. Dia mendadak memiliki anak.

Yang Alex syukuri anak tersebut sangat penurut walaupun tidak bisa bicara. Tapi Alex adalah orang sibuk yang hari-harinya berada di perusahaan. Untuk mengurus anak itu tidak mungkin. Kebetulan dia memiliki teman yang menikah dengan seorang wanita dan telah memiliki anak. Alex menitipkan anaknya, tapi hanya seminggu, karena temannya tidak sanggup melihat sang istri kelimpungan mengurus dua anak sekaligus dan menyarankannya untuk menyewa babysitter.

Semuanya lancar dengan adanya babysitter. Walaupun Alex memiliki anak, itu tidak mengganggu kehidupan sehari-harinya. Tapi beberapa hari yang lalu dia tidak sengaja melihat memar di tubuh anaknya yang tertutupi pakaian. Alex langsung panik dan melaporkan tindakan kejam babysitter tersebut. Alex buru-buru membawa anaknya ke rumah sakit dimana temannya bekerja. Alex juga harus membatalkan semua meeting dan kesibukan lainnya demi Dimas.

Sekarang Dimas sudah pulang ke rumah. Seharusnya hari-harinya kembali normal, tapi ternyata tidak.

"Ayolah. Kita teman kan. Kalo bukan bini lo yang ngejagain anak gue siapa lagi?"

Anjas memutar matanya melihat temannya yang menganggap istrinya cocok untuk jadi pengasuh Dimas. "Babysitter atau tempat penitipan anak. Hanya itu pilihannya. Atau lo sendiri yang urus anak lo."

"Sama babysitter aja gue gak percaya, apalagi tempat penitipan anak, Jas."

Tiba-tiba Anjas tersenyum nakal. Alex merinding melihatnya tapi Anjas tidak peduli. "Gini deh, gue punya solusi paling terbaik."

"Apa?"

"Lo nikah dengan perempuan tulen. Dengan begitu anak lo ada yang ngurusin."

Mendengar itu Alex langsung memukul perut Anjas tanpa ampun. "Lo gila, gue gay!"

Anjas masih dengan senyum nakalnya walau perutnya sakit. "Gampang itu mah. Lo nikah tapi tetap main sama cowok." Menaikan alisnya, Anjas menatap geli pada Alex yang sedang marah. "Bercanda, bro. Tapi, yah, selain saran-saran itu gue gak ada saran lain. Urus sendiri anak lo, oke? Bisa berbuat harus bisa bertanggung jawab. Gue kerja dulu." Anjas menepuk pundak Alex dan berjalan pergi meninggalkan Alex yang putus asa.

Jalan satu-satunya adalah mengurus anaknya sendiri.

Bisa berbuat harus bisa bertanggung jawab. Meski Alex tidak mengenal anak itu dan tidak tahu siapa ibunya.

Malamnya Alex berdiskusi dengan sekretarisnya untuk mengatur jadwal, mengosongkan beberapa waktu untuk Dimas. Sekretarisnya menyarankan jika Alex sangat sibuk dan tidak bisa pulang ke rumah Dimas di bawa ke kantor saja, karena kalau di kantor pasti ada yang membantunya untuk mengurus Dimas. Alex setuju.

Sementara Alex sedang berdiskusi dengan sekretarisnya, Anggi sedang bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Beberapa menit yang lalu Anggi merengek minta pulang. Orang pertama yang menyetujuinya adalah Teo. Anna juga setuju karena tubuh Anggi sudah pulih. Lagipula Anggi tidak sakit apa-apa, hanya kehilangan banyak darah. Sementara ayahnya sibuk di kantor, sama sekali tidak peduli pada Anggi.

Anggi benar-benar bahagia bisa pulang dari rumah sakit. Tapi juga sedih karena tidak bisa jalan-jalan di taman itu lagi. Juga tidak bisa bertemu dengan om seksi lagi.

"Apa yang kamu liat ke belakang?" Teo mengerutkan kening melihat Anggi yang terus menerus menoleh ke belakang.

"Anggi mungkin gak akan ketemu om itu lagi," kata Anggi dengan wajah sedih. Om itu tipe Anggi banget. Orangnya juga baik. Untuk berpisah selamanya Anggi benar-benar tidak rela.

"Bagus dong."

"Kok bagus?" Anggi sedikit mendongak, wajahnya berkerut  tidak suka melihat senyum menyebalkan Teo.

"Ya bagus aja." Dengan begitu gue gak perlu cemas lo diambil.

Selama perjalanan pulang Anggi terus-terusan memasang wajah sedih. Teo menghiburnya dengan cara mengganggu Anggi hingga Anggi tertawa. "Udah, gak usah sedih. Nanti kalo jodoh pasti ketemu lagi, kok. Tapi pasti gak mungkin lah."

"Kenapa gak mungkin?"

"Karena jodoh lo itu gue." Teo tertawa, tangan jahilnya mencubit kedua pipi Anggi. Anggi berteriak kesakitan, tapi Teo tidak peduli.

Di kursi depan Anna yang sedang menyetir meneteskan air matanya. Kalau bisa dia ingin menabrakkan mobil yang dikendarainya ke pohon, tiang, atau ke mobil lain agar mereka semua mati. Dengan begitu sakit hatinya bisa hilang. Teo tidak bisa memiliki Anggi dan Anggi tidak bisa memiliki Teo. Mungkin Anna jahat. Ya, dia benar-benar jahat. Dan sekarang dia membenci kakaknya yang bodoh. Hampir setiap hari melihat interaksi orang yang disukai bersama orang lain, siapa yang tidak benci? Siapa yang tidak marah?

Apa kelebihan Anggi? Gak ada! Apa yang bisa Anggi lakukan? Gak ada kecuali ngerepotin orang! Anggi itu gak berguna! Kenapa kamu sangat menyukai dia? Kenapa bukan aku!

Air mata Anna mengalir semakin deras melihat Teo yang sedang mencium wajah Anggi dan menyelimuti tubuh Anggi dengan jaketnya. Anna sering melihat ini. Setelah Anggi tidur nyenyak Teo pasti mencium punggung tangannya lalu wajah Anggi, dan yang terakhir—

"Selamat tidur, bodoh."

______________________

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar beibeh~♡

Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang