Dua belas

3.1K 171 14
                                    

Setelah pergumulan di sofa, mereka melanjutkan di kamar Alex. Mereka menuju kamar tanpa melepas ciuman mereka.

Setibanya di kamar, Anggi di lempar ke tempat tidur lalu ditindih. Pakaian kebesaran yang Anggi pinjam dari Alex karena baju milik Anggi telah dirobek di mobil, dilepas secara kasar. Tapi meskipun begitu setiap sentuhan yang Alex berikan memiliki kelembutan yang membuat Anggi semakin melayang.

"Sayang...."

"Nnnhh.... Ahhhh.... Mmmmm..."

***

Anggi membuka matanya. Menatap sekeliling dengan sedikit linglung.

Ah—ini bukan di rumahnya—ini di rumah om Alex.

Anggi bangkit dari posisi tidurnya, mengucek kedua matanya, dan menguap.

Karena baru bangun tidur dan kelelahan Anggi tidak ingin turun dari ranjang. Anggi hanya duduk sambil memeluk bantal. Matanya menerawang, mengingat kembali kejadian beberapa waktu lalu. Itu pertama kali untuknya dan pastinya tidak akan menjadi yang terakhir.

Sugar Daddy,

Dan dirinya adalah Sugar Baby

Melakukan hal tadi adalah timbal balik.

Alex boleh melakukan apapun terhadapnya dan dia boleh meminta apapun padanya.

Dia sudah benar-benar dibuang. Tidak memiliki siapa pun. Hanya Alex pilihan satu-satunya untuk bergantung.

Anggi memang menyukai Alex dan itu juga berlaku untuk orang-orang yang menyukai fisik Alex. Tapi untuk melakukan sampai sejauh ini, semuanya adalah takdir.

Alex menemukannya saat dia dibuang. Lalu memungutnya. Bahkan jika Alex memperlakukannya secara kasar, itu tidak masalah. Asalkan Alex mengizinkannya tinggal di rumah ini, memberinya makan, serta mengabulkan apa pun yang dia inginkan.

Anggi memang menyukai Alex. Tapi hanya sekedar menyukai fisiknya. Tidak lebih. Tidak sampai ingin melakukan kegiatan panas seperti yang mereka lakukan tadi.

Ini karena takdir,

Dan karena ayahnya.

"Ayah, sekarang Anggi benar-benar menjadi kekasih pria tua di atas ranjang. Bagaimana? Apa Ayah puas?"

"Anggi sudah mengabulkan keinginan Ayah."

"Anggi anak yang berbakti, bukan?"

"Sudah bangun?"

Anggi mendongak, menatap pria yang usianya jauh diatasnya tapi tampan dengan stelan rapi berwarna hitam, membawa nampan dengan mangkok di atasnya. Dari sana tercium aroma lezat yang membuat perutnya lapar.

"Saya membuatkan bubur untuk kamu." Pria tampan itu mendekati Anggi, ikut duduk di sampingnya. "Masih panas." Dia tersenyum, senyumnya benar-benar memikat. "Mau disuapin atau makan sendiri?"

Anggi ingin menggoda pria dewasa tersebut, tapi kelelahan di tubuhnya membuatnya tidak ingin melakukan itu.

"Anggi makan sendiri."

Pria itu mengangguk tapi tidak memberikan mangkok kepadanya, melainkan menyodorkan sendok berisi bubur yang telah ditiup. "Masih panas. Biar saya suapin."

Anggi ingin menolak tapi akhirnya mengalah. Dia mengangguk dan menerima suapan pertama.

"Enak?"

Dia mengangguk.

"Setelah ini kamu istirahat." Anggi melihat pria tampan itu—Alex—memperhatikan jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelum kembali tersenyum menatapnya. "Nanti sore kita ke mall untuk membeli pakaian dan hal-hal yang kamu butuhkan."

Anggi kembali mengangguk.

"Dimas sudah tahu kamu akan tinggal di sini. Keliatannya Dimas sangat senang."

"Dimas—" Anggi menyambut suapan kedua dari Alex. "Dimas di mana?"

"Di kamarnya. Tadi Dimas mau ke kamar kamu, tapi saya larang karena kamu butuh istirahat."

"Dimas ikut ke mall juga?"

"Kalo kamu mau Dimas ikut, Dimas bisa ikut."

"Dimas harus ikut." Anggi tersenyum, menyambut suapan ketiga.

Suapan-suapan selanjutnya hanya keheningan tanpa ada sepatah kata pun dari mereka. Namun meski begitu tidak ada kecanggungan diantara keduanya.

Setelah bubur habis Alex pergi, dia meminta maaf pada Anggi karena tidak bisa menemani lebih lama lagi dan berjanji akan pulang di sore hari. Anggi kembali menjawabnya dengan sebuah anggukkan.

Pintu ditutup. Di ruangan itu hanya tinggal dirinya. Anggi menatap sekeliling seperti yang dia lakukan setelah bangun dari tidurnya tadi. Ruangan itu sangat luas. Dua kali lipat lebih luas dari kamar miliknya dulu. Semua hal yang dilihatnya pun pasti bernilai sangat tinggi.

"Jadisetelah ini—apa hidup Anggi akan berubah?"

Anggi tersenyum pahit. Setelah bergantung dengan ayahnya sekarang dirinya harus bergantung dengan orang lain. Meski Anggi tidak masalah jika Alex sekasar atau bahkan lebih kasar dari ayahnya, Anggi tetap berbarap Alex bisa sangat lembut. Selembut Teo atau kalau bisa lebih.

Teo....

Mengingat Teo Anggi lebih sedih lagi. Anggi belum menjawab pernyataan cinta Teo. Anggi belum minta maaf pada Teo. Dan Anggi tidak yakin Teo bahkan mau mendengarkan apa yang Anggi katakan sekarang.

Pasti Teo sangat terkejut dan membencinya jika Teo tahu kalau dia sudah menjual tubuhnya hanya untuk sebuah tumpangan, hanya karena ayahnya ingin dia menjadi pelacur.

Ah—tidak—ayahnya sangat baik—ayahnya tidak mungkin menginginkan anak bodohnya ini menjadi pelacur. Ayahnya hanya tidak percaya padanya.

Ucapan orang tua, adalah doa untuk anaknya, bukan?

Anggi tertawa. Setelah kepergian ibunya, ayahnya yang tidak suka padanya semakin menjauh. Sering kali menganggapnya tidak ada. Hanya ketika dia melakukan kesalahan barulah pria itu menatapnya, barulah pria itu menegurnya dan mengajaknya bicara.

Sekarang dia yang selalu dianggap aib sudah pergi.

Ayahnya pasti sangat bahagia sekarang.

"Anggi ikut bahagia jika ayah bahagia."

Pelukan Anggi pada bantal semakin erat. Jemarinya mencengkram erat di sana. Tubuhnya gemetar diikuti suara isakan pelan.

Air matanya mengalir semakin deras ketika dia mengingat potongan-potongan gambar dirinya yang terlihat sangat binal persis seperti lonte.

Kali ini, agar tidak dibuang, agar diperhatikan, mungkin dirinya memang harus menjadi lonte.

Jika dia dibuang lagi,

Dia hanya harus mencari orang lain lagi yang menginginkannya.

Selain tubuhnya, apalagi yang bisa dia jual?

____________________
Vote dan komentarnya jangan lupa, sayang~

Sugar DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang