Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi

1. D'Face Resto

75.4K 4.4K 86
                                    


Entah orang kaya ataupun orang biasa,

Dalam cinta, yang terpenting itu keterbukaan seiring sejalan.

---

Jam makan siang adalah salah satu waktu sibuk-sibuknya bagi sebuah restoran. Tak terkecuali dengan sebuah restoran di pinggiran kota yang kali ini tampak dipenuhi pengunjung. Semua meja terisi penuh, tidak ada yang tersisa kosong satu pun. Entah diisi hanya berdua atau rombongan lebih dari tiga.

D'Face Resto, termasuk salah satu restoran masa kini yang ramah kawula muda juga orang kantoran. Menu makannya tergolong lezat dengan kisaran harga relatif murah. Ditambah tempatnya yang nyaman untuk nongkrong. Baru resmi buka dua tahun, tapi sudah terkenal seantero komplek. Yah, komplek dulu lah. Baru merambah kota.

Seperti siang ini saja, tidak ada pekerja di resto itu yang berleha-leha. Mencari angin. Bahkan manager-nya saja sampai turun tangan, membantu mencatat pesanan tamu. Tempatnya minimalis, dengan desain interior super indah.

"Pesanan meja nomor sepuluh. Kalau sudah siap segera diantar, ya," pesan Mira pada Odi yang bertugas sebagai waitress.

Odi mengangguk paham. Meninggalkan Mira dengan nampan berisi makanan, mengantarkan pesanan. Berjalan lihai dan lincah melewati meja-meja dan rekan-rekan kerjanya.

"Dia genit sekali," kekeh Mira. Melihat tingkah Odi, yang baru saja berlalu darinya. Lelaki usia dua puluh tahunan. Sebelumnya Odi bekerja sebagai office boy dan kini berpindah menjadi pelayan restoran. Alasannya dulu, ketika memutuskan mundur dari pekerjaan lamanya, sepele sekali. Rekan kerjanya, ibu-ibu tukang gosip.

Mira menggelengkan kepala. Sejak ia menerima Odi menjadi salah satu pegawainya, lelaki itu selalu punya cara sendiri mencairkan suasana kaku, walau terkadang pula membuat rumit kondisi. Tapi, Odi ramah dan lucu.

Baru saja Mira akan kembali ke ruangannya karena situasi mulai kondusif, langkahnya batal terayun. Bola matanya melebar. Menyadari kecelakaan kecil di meja nomor tujuh. Secepat langkahnya bisa terayun, Mira menghampiri. Mengeluarkan sepotong sapu tangan biru bergarisnya dari saku blazer. Tanpa meminta izin, Mira merendahkan tubuh. Mengusap setelan suit hitam milik seorang lelaki yang menjadi korban tertumpah kopi.

"Mohon maaf atas keteledoran kami." Mira berucap lirih, sembari tangannya tak kunjung berhenti mengusap. Mulai dari bagian dada sebelah kiri hingga terciprat sampai ke paha.

"Biar saya saja."

Mendengar suara berat menginterupsi. Mira segera mendongakkan kepala. Bertemu tatap dengan bola mata hitam pekat yang mampu menyihir dirinya. Membuat dua matanya tak kunjung berkedip. Mira terpaku di tempatnya, dengan tubuh merendah empat puluh lima derajat. Jarak wajahnya yang tidak cukup jauh dari wajah lelaki itu, membuat Mira tampak jelas melihat bulu mata lentik yang begitu indah.

"Bu Mira," panggil Odi, yang sedari tadi hanya diam mengamati dengan raut wajah bersalah. Dia dalang dari kopi tumpah di setelan suit lelaki bermata hitam di meja nomor tujuh.

Seolah tersadar, Mira buru-buru menegakkan tubuh. Berdiri gelagapan hingga tanpa sengaja justru kembali menyenggol cangkir kopi di tepi meja. Membuat seluruh isinya tumpah dan membasahi sebagian celana hitam sang korban.

"Shit!" umpat lelaki itu. Karena panas kopi yang kini terasa jelas menyapa kulit di balik kain celananya. Tadi hanya terciprat sedikit. Jadi ... tidak begitu terasa. Tapi kini, hampir setengah isi cangkir berpindah ke celananya.

Mira menelan ludah. Sedikit kelimpungan karena sapu tangannya tak cukup mampu membersihkan. Sehingga ia menyabet begitu saja, kain lap di saku apron sepinggang, milik Odi.

Fall DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang