Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

3. Keluarga

46.1K 3.6K 83
                                    


Suatu hari, ketika akhirnya kamu temukan belahan jiwamu, dan itu bukan aku,

Maka akan kulepas dirimu, meski harus berdarah-darah hatiku.

---

Mira memijit pelipisnya. Bukan karena pusing melanda, melainkan kebingungan. Saat ini, ia tengah berkumpul dengan keluarga besar ayahnya dan dia diwajibkan hadir, jika tidak ingin dicoret dari Kartu keluarga bahkan sebelum ia menikah.

Bercanda. Ayah sangat menyayangi Mira, jadi itu satu hal yang tidak mungkin ayah lakukan.

Mira mengira sih, ada konspirasi di dalam ajakan ayah yang tanpa bantahan itu. Mengingat, ayah tampak begitu bahagia mendapati kehadiran dirinya. Dia memang sudah punya rumah sendiri. Hanya sebulan sekali ia akan datang berkunjung. Untuk menginap dan menuruti kemauan ayahnya, mendengarkan beliau bercerita banyak hal.

Mira mempunyai dua adik. Satu perempuan yang hanya berjarak umur tiga tahun—sudah menikah, dan adik laki-laki yang baru masuk kuliah.

"Adikmu sudah hamil lho, Ra. Kamu nggak pengen nyusul gitu." Bude Siti menggumam dari samping sembari menyenggol bahu kanan Mira.

Mira menghela napas. Sudah biasa kok diberi pertanyaan seperti itu. Telinganya sudah tebal, dan bebal. "Enggak lah, Bude. Kalo Mira ikutan hamil nanti jadi aib keluarga. Malu Bude hamil di luar nikah. Nggak nikah-nikah aja udah digunjingin tetangga."

"Hushhh ... ngomongnya anak perawan." Bude Siti menyahut galak. "Yang Bude maksud itu ya, kamu cepet-cepet nikah gitu lho ...."

Mira membulatkan bibir. "Tunggu aja, Bude."

Bude Siti semakin mendekat, tampak jelas binar di matanya. "Tunggu apa?" tanyanya.

Nyengir kecil, Mira bersiap pergi. "Tunggu Mira operasi plastik dulu, biar nggak ada yang ngenalin Mira." Setelah mengatakan itu, Mira berjingkat pergi. Menulikan telinga ketika Bude Siti memanggil dirinya sembari mencak-mencak.

Setelah cukup jauh menghilang dari keramaian. Mira menghela napas. Menyandarkan punggung di tembok dapur. Dia ingin bersembunyi saja, setidaknya sampai seluruh keluarga besarnya pamit pulang. Ini yang tidak pernah Mira sukai. Pembahasan sepele tentang pernikahan yang justru begitu menghujam dirinya. Yah, entah setebal dan sebebal apa pun telinga, tetap saja mampu meremas sudut hatinya.

Jika Mira bisa memilih, tentu saja ia ingin cepat-cepat bertemu pasangan hidupnya. Tapi, sampai usahanya yang pontang-panting itu, Mira merasa semua sia-sia. Berkat adiknya yang menikah tahun lalu, Mira menjadi bahan obrolan paling hangat saat keluarga besarnya berkumpul. Dibanding-bandingkan, sudah pasti. Juga gencar sekali menjodohkan dirinya, dengan sembarang lelaki. Mira memang sudah 26 tahun. Tapi, ia baru memulai hidup mandiri dan meniti kariernya.

Meski tidak bisa ia pungkiri, sesekali memang sepi merayap ketika semua temannya sudah menggandeng pasangan masing-masing. Sedangkan ia hanya gigit jari di dalam rumah.

Mengusap wajahnya, Mira menggeleng pelan. Tak ingin memikirkan. Setidaknya untuk satu hari ini, ia tak ingin membayangkan kesendirian yang menemani harinya tanpa bosan.

"Kak Mira kok di sini?"

Mira mengerjap, mengukir senyuman tipis, saat Nala—adik perempuannya memasuki dapur dengan gelas kosong di tangan.

"Eh, iya. Mau ambil cemilan tadi—" Mira melirik meja persiapan yang sudah kosong. "Nggak tahunya udah dibawa ke depan semua," sambung Mira tersenyum samar. Menutupi kegugupan yang sesaat lalu menyambangi.

Nala mengangguk. "Oh, udah dibawa ibu semua, tadi," ucap Nala, sembari berjalan ke arah tempat cuci piring dan meletakkan gelasnya di sana.

Gerakan Nala tak luput dari pindaian mata Mira, ia mengukir senyum tipis, saat melihat perut adiknya yang mulai membesar. Sudah berapa bulan ya? Mira tak pernah berbagi obrolan akrab setelah adiknya menikah dan pindah rumah, mengikuti ke mana pun suaminya membawa pergi. Yah, nggak jauh-jauh, sih. Kurang lebih setengah jam perjalanan dari rumah ayahnya ini.

Fall DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang