Sebuah Hadiah

4.2K 124 0
                                    

Di pertengahan jalan, Reza menelepon istrinya untuk mengabarkan bahwa dirinya akan pulang terlambat. Karena ada urusan yang harus diselesaikan. Apartemen di mana Laura tinggal, tingginya 20 lantai. Reza menggunakan lift untuk mencapai Lantai 12.

Di dalam lift ia berdiri bertiga dengan seorang laki-laki dan seorang wanita. Tanpa malu-malu mereka berdua bermesraan layaknya orang yang sedang kasmaran. Reza merasa risih dengan pemandangan itu. Reza menepuk bahu laki-laki itu. Laki-laki itupun menengok ke arahnya.

"Ada apa?" tanya laki-laki itu dengan menunjukkan wajah ketidaksukaan.

"Sorry, pak. Tolong kalau mau bermesraan jangan di tempat umum."

"Ah bukan urusan lo !" jawab laki-laki itu dengan nada kesal.

Lift berhenti di lantai 8, laki-laki dan wanita itu keluar dari lift. Lift pun tiba di lantai 12. Reza menelusuri lorong apartemen yang sepi, hanya ada satu atau dua orang yang sempat berlalu-lalang.

Reza menekan bel. Tak lama Laura membuka pintu. Laura tersenyum, kemudian mempersilakan Reza masuk.

"Masuklah, Reza !" ucap Laura dengan penuh kelembutan.

"Tidak, sebaiknya kita tidak bicara berdua di dalam."

"Tapi..."

"Oke, kalau kamu mau, kita bicara di luar. Kalau kamu tidak mau, aku akan pergi."

"Oke.. oke.. kita bicara di resto yang ada di bawah. Tunggu aku."

Laura mengambil tasnya, kemudian mengunci pintu.

Reza berjalan diikuti oleh Laura dibelakangnya. Mereka masuk ke dalam lift hanya berdua. Reza berharap ada orang lain yang masuk ke dalam lift agar mereka tidak berduaan. Tak lama kemudian harapan Reza menjadi kenyataan. Pintu lift terbuka di lantai 8. Seorang laki-laki yang sedang menelepon masuk ke dalam lift.

"Iya Ma.. iya Papa segera pulang. Papa tadi ada urusan," ucap laki-laki itu kemudian menutup teleponnya.

Reza mengenalnya. Itu laki-laki yang tadi ditegurnya.

"Lah, lo lagi."

Reza tidak menghiraukannya. Merekapun keluar dari lift. Laura dan Reza masuk ke dalam Resto.

"Sepertinya ada hal penting yang ingin kamu sampaikan?" ucap Laura.

"Ini tentang Anisa."

"Apa dia mengadu padamu ?"

"Tidak sama sekali. Aku bertanya kepada satpam. Katakan apa yang kamu bicarakan dengannya ?"

"Tentu saja kami membicarakanmu."

"Laura.. Aku mohon jangan buat Anisa merasa tidak nyaman dengan kehadiranmu."

"Aku sedih, aku terpuruk. Bahkan kamu sekarang sangat mempedulikannya."

"Tentu saja, karena dia istriku aku sangat mencintainya."

"Reza, tolong tatap mataku. Ingatlah kenangan-kenangan kita dulu. Tak adakah tersisa sedikitpun rasa cinta untukku?"

"Laura, sudahlah. Aku sudah bersusah payah untuk mengubur semua kenangan itu, demi memulai kehidupan baru. Lebih baik kita akhiri ini semua. Tolong biarkan aku dan Anisa hidup bahagia dengan pernikahan kami."

Laura tak bisa menahan air matanya lagi. Ia menangis.

"Baiklah jika itu yang kamu inginkan. Karena dirimu yang meminta, aku akan mundur dan menghilang dari kehidupan kalian."

"Kamu jangan khawatir. Aku akan mendoakan kebaikan untukmu, supaya kamu menemukan pria lain yang lebih baik dariku."

"Ya.. mungkin suatu saat nanti."

Laura mengambil tasnya, kemudian membukanya. Dia mengeluarkan sebuah benda berbentuk kotak lalu meletakkannya di atas meja di hadapan Reza.

"Reza, inilah alasan keterlambatanku pulang ke Indonesia ketika itu," ucap Laura sambil membuka kotak berisi sebuah jam tangan limited edition karya perancang kelas dunia yang hanya dijual di Singapura pada batas waktu tertentu. "Aku membawanya sebagai kejutan dan hadiah spesial untukmu. Tapi ternyata akulah yang mendapat kejutan dengan kabar bahwa kamu telah menikah."

Reza terhenyak. Ia tak menyangka jika Laura masih mengingat keinginannya dahulu untuk memiliki jam tangan incarannya itu.

"Maaf Laura. Aku tidak bisa menerimanya."

"Kenapa ? Apa karena sekarang diriku bukanlah siapa-siapa lagi bagimu ?"

"Bukan Laura. Jika aku menerimanya maka aku akan merasa berhutang budi padamu."

"Jangan katakan itu Reza. Tolonglah terima hadiah terakhir ini. Anggap saja ini sebagai hadiah pernikahanmu. Aku akan sangat senang jika kamu mau memakainya."

Reza merasa bingung. Di sisi lain ia tak ingin membuat Laura kecewa karena telah mempersiapkan hadiah tersebut untuknya. Namun, ia juga tak ingin menyimpan sesuatu yang dapat mengingatkannya kembali akan sosok Laura.

Akhirnya, Reza pun terpaksa menerimanya.

"Reza, aku tidak tahu apakah kelak aku akan menemukan lelaki sebaik dirimu. Aku hanya berharap dirimu bahagia bersama Anisa." ucap Laura yang tak dapat membendung kesedihannya.

"Ya.. semoga kamu pun kelak akan berbahagia bersama seorang yang mencintaimu."

Reza tak tahan melihat seorang wanita menangis. Tapi ia berusaha menguatkan dirinya untuk tidak memberi perhatian yang lebih pada wanita lain selain istrinya.

"Baiklah Laura. Terima kasih atas hadiahnya dan terima kasih karena telah mengakhiri semua ini dengan baik-baik. Aku pergi dulu."

Reza meninggalkan Laura yang masih larut dalam kesedihan. Perasaan Reza pun menjadi ikut larut dalam kesedihannya. Ia yang tadinya begitu siap untuk menghadapi orang yang telah membuat istrinya tak ceria, kini harus kembali ke rumah dengan kemelut di dadanya, mendengar fakta tentang alasan dibalik tertundanya kepulangan Laura dari Singapura. Reza merasa diliputi rasa bersalah.

***

Adzan maghrib berkumandang. Reza menghentikan mobilnya di depan sebuah masjid. Lalu ia melaksanakan salat dengan penuh kekhusukan. Dia tumpahkan segala yang ia rasakan dalam doanya setelah shalat. Ia memohon keyakinan akan takdir yang sedang dijalaninya, memohon untuk memudahkan urusannya dan menguatkan tali pernikahannya. Setelahnya ia berdoa agar Laura menemukan pengganti dirinya, sehingga dapat menghapus kesedihannya.

***

Reza tiba di rumahnya.

"Mas kamu baik-baik saja ?" tanya Anisa.

"Ya.. aku cuma sedikit lelah."

"Tenang saja, nanti aku pijat ya."

Reza tersenyum datar.

Bersambung... ❤️

Cinta Salah KamarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang