Inkar Janji | 19

63 10 3
                                    


Hari ini Laura tak seperti biasanya ia tiba di sekolah lebih cepat 10 menit dari biasanya. Bahkan kedua sahabatnya masih tidur mungkin, di rumahnya masing-masing.

Laura sedikit kaget karena deringan yang terdengar dari dalam tasnya. Laura mengambil handphone yang ada di dalam tas miliknya. Tertera jelas sekali ada nama Cinta yang tertulis di layar handphone Laura. Ia menekan tanda terima. "Hallo," sapa Laura singkat.

"Lo dimana? Jadi gue jemput?" Ucap Cinta disebrang sana.

"Gue udah di sekolah."

"Kesurupan apa Lo?, Pagi-pagi udah di sekolah?" Kaget Cinta disebrang sana.

"Ya, Cinta. Gue mau cari seseorang," jawab Laura seadanya. Tanpa menunggu tanggapan dari Cinta yang ia duga akan tambah panjang lebar. Laura langsung mematikan handphone—nya.

Matanya mencoba untuk mencari orang yang ia cari. Orang yang memberinya janji akan menjemput nya. Laura berdecak kesal padahal ia berharap Gilang akan menjemputnya, namun perkiraannya salah. Gilang tidak datang untuk menjemputnya.

"Gilang," panggil Laura namun tidak ada jawaban. Gadis itu setengah mati menahan marah karena Gilang sudah mengingkari janji untuk menjemputnya.

Ia segera naik tangga yang menuju kelasnya yang memang berada di lantai dua.

Setelah sampai didepan kelas Laura Langsung melihat tempat duduknya Gilang namun tidak ada. Ia hanya menemukan ketua kelasnya yang super perfeksionis dalam hal apapun itu.

"Boa, Lo lihat Gilang enggak?"

Boa yang sedang fokus dengan perkerjaan nya terlonjak kaget karena ucapan Laura. "Astaga! Kaget gue. Lo kalo mau nyapa iya ucap salam, atau apa gitu." Ketus Boa.

"He he he, maaf Boa. Gue kira Lo enggak dengar."

"Gue enggak budek kali. Lo ngomong apa tadi?"

"Lo lihat Gilang?"

"Enggak."

"Tapi tadi di parkiran gue lihat ada motornya dia."

"Oh begitu. Mungkin lagi di kelas musik."

Laura mengangguk mengerti tau dimana ia bisa menemukan Gilang.

Laura menghela napas lega, akhirnya ia menemukan dimana Gilang. Kemudian ia meletakkan tasnya di atas meja dan langsung pergi menuju kelas musik.

Gilang memang sedang berada di kelas musik namun ia tak sendiri ia bersama Moza.

Ia mengusap wajahnya kasar lalu menghela napas berat. Ia sudah kehabisan kata untuk menasehati cewek yang sedang duduk didepannya ini.

"Gue udah nyuruh lo jahui Kakak gue. Dia tuh brengsek!"

"Tapi gue enggak bisa Lang."

"Lo harus bisa. Kak Agam enggak berhak mukulin Lo kayak gini."

Ia menghela napas kesal gara-gara kelakuan kakaknya yang memukul cewek yang ia cintai. Gilang tak bisa terima dengan perlakuan kakaknya karena ini bukan yang pertama kali kakaknya memukul Moza.

"Jauhi kakak gue, Za. Gue mohon sama Lo jauhi kakak gue." Mohon Gilang.

"Gue cinta sama dia, Lang. Gue enggak bisa." Ucap Moza yang di barangi dengan tangisnya.

Gilang yang melihat Moza menagis Langsung meraih Moza dan memeluknya erat. "Maafin gue," bisik Gilang.

"Hei," sapa Laura.

Rasanya seperti di tengelamkan ke kutub Utara. Ia tak dapat merasakan kakinya yang sudah membeku. Matanya perih karena menahan air matanya.

Semua kata-kata yang ia mau tanyakan pada Gilang tiba-tiba hilang ditelan pelakor. Ia mencoba untuk memundurkan kaki kanannya namun tak bisa.

"Sorry, gue..." Ucapnya kaku.

"Maaf gue, cuman mau ngasih ini ke Gilang," Laura meletakkan susu coklat di atas viano. " lanjutkan." ucapnya gemetar, bibirnya dia gigit sehingga mengeluarkan darah.

Moza yang masih menangis hanya bisa diam memandang sikap Gilang yang seketika berubah saat melihat gadis yang sedang berdiri didepannya. "Gilang." panggilnya pelan.

Gilang yang masih berdiri terdiam tanpa melepas pandangannya pada seorang gadis yang sedang meletakkan coklat susu di depannya. Laura yang menyadari pandangan Gillang hanya tersenyum seadanya. "Diminum ya, "


-------------

Jeng jeng jeng
Sudah 19 astaga enggak nyangka.

Alhamdulillah.

Hi, Gilaang (Update Setiap Hari)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang