TAK TAHU JODOH PART 8

427 16 0
                                    

#Tak_Tahu_Jodoh

Part 8

Ray telah selesai berbicara dengan kliennya ketika aku telah menyelesaikan shalat Asharku meski agak kesorean hari ini. Mungkin agamaku tidak sebaik lainnya, setidaknya shalat 5 waktu selalu kulakukan tanpa luput satu kali pun.

"Kamu sudah makan apa saja?" Tanya Ray yang melihat kedatanganku.

"Sudah tadi, katanya dibayarin Nino,"  jawabku segera ketika si owner bertanya, aku takut jika dia memberi semua tagihannya padaku.

"Nino tidak pernah membayar sepeserpun padaku," Jelas singkat Ray yang membuat aku tidak mengerti maksudnya.

"Jadi... Apa Aku yang harus membayarnya?" Tanyaku sedikit panik.

"Disini tidak ada satu teman pun yang akan membayar padaku. Sudah lah kamu tidak akan mengerti. Sekarang temani aku makan," Tegas Ray sekali lagi.

Aku duduk di samping Ray, seperti orang dungu dibuatnya. Sedang Ray, Nino dan Titan berbicara tentang pertemuan Ray dengan tamunya tadi. Aku tidak mengerti satu pun dari maksud pembicaraan mereka. Apa otakku belum sampai ke level otak mereka?Padahal aku dan mereka hanya berjarak 2 tahunan, kok bisa seperti melihat pengusaha tua yang sedang berbicara.

Aku diam tanpa kata, pandangan ku melayang entah kemana. Restoran ini memang mewah, tapi banyak juga yang datang ke sana. Memang pintar mencari peluang, jika memang Ray adalah pemiliknya. Ya ampun aku masih tidak percaya dibuatnya.

Ketika aku sedang terbang bersama lamunanku, ada sebuah tangan menyusup menggenggam tanganku yang memang dari tadi aku letakkan di atas lutut dibawah meja. Kulihat pemilik tangan itu adalah Ray. Apa-apaan ini? Untuk apa tiba-tiba dia menggenggam tanganku.

Wajah Ray tidak menatapku sama sekali, dia masih terlihat asyik berbicara dengan teman-temannya. Dia sadar tidak sih, jika sudah menggenggam tanganku? Kok sepertinya tidak ada tanda-tanda kesadaran itu.

Genggaman Ray begitu erat, ingin aku berontak. Tapi ini kandangnya, apa berani aku melakukan hal itu? Apalagi dalam situasi yang ramai seperti ini. Ya ampun, apa yang harus aku lakukan. Semoga saja tidak ada yang sadar melihat perubahan wajahku karena malu.

"Kamu sudah bilang ke Ibumu? Kalau hari ini kamu pergi bersamaku?" Tanya Ray tiba-tiba membuat ku kaget setengah mati.

"Aku... Aku....Belum bilang ibu," Jawabku dengan terbata, entah karena kaget atau karena malu.

Ray melepas genggamannya dengan segera.

"Telpon Ibumu segera, dan katakan padanya kamu bersamaku," Pinta Ray seolah Ibu telah mengenalnya.

"Memang siapa kamu? Lebih baik kamu antarkan aku pulang," Aku tidak mau selalu diatur olehnya.

"Pulanglah jika itu maumu, kujamin esok tidak ada lagi namamu di kampus," Ancam Ray.

"Wow.... Serem bro ancamannya. Udah deh Din, jangan buat paduka marah. Turuti saja perintahnya," Saran Titan berusaha meyakinkanku untuk mengikuti kemauan Ray.

Aku bangkit dari tempat dudukku, dan pergi mengambil handphone ku untuk mengabari Ibu. Memang kalau aku bilang aku bersama Ray Ibu mengerti maksudku? Memangnya Ibu kenal Ray.

Mengambil posisi agak menyepi aku menelpon Ibu, masih terdengar suara nada tunggu. Kemana Ibu, mengapa tidak mengangkat telpon ku?

"Assalamu'alaikum, Bu," Sapaku ketika telpon tersambung.

"Wa'alaikum salam Dinda, kamu di mana nak?" Tanya Ibu dengan nada sedikit khawatir.

"Aku lagi bersama teman-teman ku, Bu."

"Di mana nak? Ini sudah mau magrib, ibu khawatir," Ibu terdengar cemas.

Kan Ibu pasti begitu, kalau aku belum memberi kabar padanya. Apa aku harus mengikuti sarannya Ray? Untuk katakan bahwa aku bersama dia? Apa Ibu dapat menerima alasan itu?

"Aku... Aku di sini bersama Ray," Jawabku ragu.

"Oh, Ray. Ya sudah jangan terlalu malam ya, nak. Kamu hati-hati?" Jawab Ibu terdengar santai dan mematikan handphone nya.

Loh, Ibu apa-apaan sih? Masa hanya semudah itu dia melepas aku? Memangnya dia kenal Ray? Kalau sampai terjadi sesuatu padaku bagaimana Bu?

Dengan penuh tanda tanya, aku kembali duduk, tetapi tidak disamping Ray kembali melainkan di samping Nino kali ini. Aku tidak mau lagi tanganku di genggam Ray nantinya.

Ray menatapku tajam, dia memberi isyarat kepadaku agar mau kembali duduk di sampingnya. Aku menolak dengan menggelengkan kepala menolaknya.

Handphone ku berbunyi sebuah pesan whattsapp masuk ke Handphone ku. Dari Ray rupanya, untuk apa dia repot mengirimkan pesan. Bukannya langsung bicara saja. Ku buka isi pesannya.

"Pindah kembali ke sampingku."

"SEKARANG"

Dengan wajah kesal aku menuruti maunya Ray, untuk kembali ke samping nya Ray. Kali ini dia tidak menggenggam ku mungkin dia sadar jika aku merasa tidak nyaman karenanya.

"Din, teman kamu yang bernama Laras itu cantik, ya? Kira-kira dia sudah punya pacar belum?" Tanya Nino dengan penuh antusias.

"Kamu tahu darimana Laras adalah temanku?" Tanyaku penasaran.

"Hahahaha... Gemes ya sama kamu. Jangankan teman kamu, ukuran baju dalam kamu aja kami tahu kok," Tawa Nino tak tertahan.

"Nino, jaga ucapan!" Ketus Ray memperingatkan.

Nino memang mulai kurang ajar, masa dia sampai membicarakan ukuran baju dalam ku. Dan aku tidak akan memberi informasi apapun tentang Laras. Enak saja dia mau menjadikan Laras sebagai target ke playboy annya.

"Sorry Bro, Gue kelepasan. Intinya boleh lah sekali-kali kamu ajak Laras bareng kita,"  Jelas Nino seperti takut dengan seruan Ray.

"Gak akan, kamu kira Laras akan mau jalan sama playboy cap kampak kayak kamu," Jawabku kesal.

Tak kan ku biarkan Laras menjadi korban Nino. Cukup lama sudah mereka bicara, kesana kemari yang aku tidak mengerti. Sampai aku tinggalkan untuk shalat pun mereka masih tetap tak bergerak.

"Aku sudah lelah, dan mau pulang," Kataku yang memang mulai bosan.

Aku sudah dari pagi terus mengikuti maunya Ray. Sekarang aku benar-benar lelah, ingin rebahan di atas kasurku yang empuk. Remuk rasanya badan ku ini.

"Baiklah, Bro Gue antar dia dulu ya," Ray berdiri dan menuruti kemauanku.

Di dalam mobil, kami hanya terdiam tak banyak bicara. Aku jadi teringat saat Ray menggenggam tanganku, mungkin dia takut aku akan lari saat itu. Jadi sebenarnya memang tidak ada rasa sedikit pun dia kepadaku.

"Helm Aku mana?" Tanyaku sambil mencari Helm Bang Izul yang tadi kupakai.

"Sudah ku buang," Jawab Ray singkat.

"Apa? Itu kan helm orang, bukan milikku. Kok kamu buang?" Protes ku kesal pada Ray.

"Aku gak mau tahu itu helm milik siapa, yang penting sudah aku buang," Ray tak mau perduli dengan ucapanku.

Dia tidak berubah, Ray tetap menyebalkan. Rasanya aku mau keluar dari mobil ini.

Loh, kok Ray tahu jalan kearah rumahku? Aku kan tidak pernah memberi tahu rumahku ada dimana. Sekarang sepertinya dia hapal sekali, atau pernahkah dia ke rumahku tanpa sepengetahuan... aku?

Tepat berhenti di depan rumahku. Aku turun tanpa mengucapkan terimakasih.

TAK TAHU JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang