TAK TAHU JODOH PART 11

352 15 0
                                    

#Tak_Tahu_Jodoh

Part11

Aku mencoba untuk teriak, tapi sepertinya tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Lidahku terasa kelu, Tenggorokan ku terasa begitu kering. Ibu maafkan aku, mungkin seharusnya aku mendengar mu.

"Dinda, bukan kah kita memiliki perasaan yang sama?" Bang Izul membalikan badanku dengan begitu kasarnya.

Aku bukan tak bisa melawannya, hanya saja tenagaku seperti sudah habis terkuras. Aku memang suka dengan Bang Izul namun jika caranya seperti ini bukan yang aku mau.

"Aku gak mau Bang, Aku gak cinta sama Abang. Tolongg!!!" Teriakku, hanya itu yang bisa aku keluarkan dengan sepenuh tenagaku.

Adakah yang mendengarku? Padahal kutahu sejak tadi kebun ini terbilang sepi.

"Brug!!" Bang Izul telah menghempaskan aku ke tanah, badanku terasa sakit semua. Dengan tenaga yang tersisa aku menyeret mundur menjauh darinya.

Aku menutup mataku karena takut melihat wajah Bang Izul yang telah dipenuhi hawa nafsu.

"Bug!!" Kudengar seperti bunyi sesuatu dipukul, aku belum berani membuka mata. Ketika sebuah suara memanggil namaku.

"Dinda, Dinda, kamu gak apa-apa?" Suara Ray memanggil namaku, dia memegang kepalaku dan Ray memelukku dalam dadanya yang bidang.

Alhamdulillah aku selamat, Ray menolong ku. Di belakang Ray aku melihat Titan dan Nino sedang memukul Bang Izul secara bersamaan. Darah segar mengalir dari hidung dan mulutnya. Tak tega juga aku melihatnya, tapi biarlah itu menjadi pelajaran untuknya agar tidak selalu meremehkan wanita.

"Sudah Nino, Titan biarkan dia. Jangan sampai terjadi sesuatu yang fatal padanya," Pintaku kepada keduanya.

Ray mengangkatku dan membawaku dalam gendongannya. Hei kok bisa ada mereka disini? Apa mereka mengikutiku?

Ray, Nino, Titan dan aku meninggalkan Bang Izul sendirian di   kebun teh tersebut dalam keadaan terluka parah. Aku tak perduli bagaimana kabarnya nanti, yang penting hari ini aku bisa selamat.

"Aku mau turun Ray, aku bisa jalan sendiri," Pintaku pada Ray dengan wajah yang terlihat masih penuh amarah.

"Kamu bisa diam tidak?" Ketus Ray.

Dia masih saja galak kepadaku, tapi mengapa dia bisa berbuat baik juga dalam waktu bersamaan? Aku benar-benar bingung dibuatnya.

"Aku mau turun!!!" Rengekku seperti anak kecil.

Ray menurunkan ku dari gendongannya, tidak lupa dia merapikan jaketku yang sudah mulai tidak berbentuk karena kejadian tadi.

"Di sini dingin, pakai jaketmu yang benar," Lanjutnya kembali.

Untuk pertama kalinya Ray memandang ku dengan hangat, ingin rasanya aku menangis di dalam pelukannya. Tapi nanti pasti dibully lagi sama dia. Aduh, aku kok jadi seperti cewek baper yang midah terbawa suasana gini ya.

"Ehm.... Ingat loh di sini masih ada kami," Nino dengan suara yang dibuat buat.

"Engg... Makasih Ray, Nino, Titan kalian telah menyelamatkan aku," Untuk pertama kalinya aku berkata lembut di depan Ray dan teman lainnya.

"Sama-sama Dinda," Titan menimpali dengan senyuman, sedang Nino memberiku sebuah jempol.

Ray terdiam sejenak dia terus menatapku. Apakah dia marah? Aku tidak berani melihat wajahnya, sampai dia memelukku tiba-tiba.

"Seandainya kebun teh ini bukan milik keluarga Nino, mungkin aku akan kehilangan dirimu. Dengarlah apa kata Ibumu Dinda," Ucap Ray dalam peluknya dan membelai rambutku dengan penuh kelembutan.

Mendengar ucapan Ray aku jadi ingat Ibu, bagaimana bisa aku bisa melupakan kata-kata Ibu untuk melarang aku dekat dengan Bang Izul. Tangis ku pecah dalam pelukan Ray, aku tidak bisa membayangkan jika semua itu terjadi padaku.

"Aku mau pulang, Ibu pasti khawatir karenaku," Kataku setelah agak tenangan.

"Sepertinya tidak bisa, kabut sudah semakin tebal. Akan berbahaya jika melanjutkan perjalanan. Lebih baik kita menginap di vila ku," Ucap Nino memberi saran.

Tidak ada pilihan lain selain mengikuti apa kata Nino. Hanya saja aku masih kepikiran Ibu. Bagaimana aku bisa menghubungi Ibu?

Tak beberapa jauh dari perjalanan kami, akhirnya kami sampai di sebuah villa mewah milik Nino. Villa besar dengan cat berwarna putih susu. Begitu terlihat terang ditengah kabut tebal.

Nino mempersilakan aku untuk memakai kamar kakak perempuannya jika dia menginap di sana, dia juga memperbolehkan aku untuk memakai semua peralatan milik kakaknya.

Kamar di villa ini berukuran 4 kali lebih besar dari ukuran kamarku di rumah. Sebuah kamar mandi pribadi  sepertinya akan memanjakan ku untuk berlama-lama di sana.

Aku buka jaketku yang terlihat robek di sana sini, mungkin karena tersangkut ranting dan semak ketika aku berusaha memberontak dan melepaskan diri tadi. Pakaian ku pun terlihat kotor penuh dengan ranting daun dan tanah.

"Aauu...," Aku menahan sakit ketika membuka kaos yang kupakai.

Terdapat luka lebam bekas cengkraman di beberapa tubuhku, mungkin tadi tidak berasa sakit karena rasa takutku saat itu lebih besar. Sekarang baru terasa semua.

Kubuka keran bertuliskan air panas dan dingin setelahnya kedalam Bathtub. Setelah semua terisi aku coba benamkan seluruh tubuhku ke dalam. Nikmat rasanya, meski bayangan tentang kejadian tadi terus saja menghampiri.

Aku masih saja bertanya, bagaimana Ray dan lainnya dapat menemukan aku tepat pada waktunya. Bukankah tidak ada seorang pun yang tahu aku pergi bersama Bang Izul selain Ibu. Apakah Ibu yang memberi tahu mereka?

Selesai membersihkan diri aku memakai pakaian milik Kakaknya Nino. Sepertinya wanita ini memiliki cita rasa tinggi dari semua pakaian yang terdapat dalam lemarinya. Aku memilih memakai piyama berwarna pastel. Sebab selain Piyama semua terlihay mewah bagiku, aku tidak berani.

Aku keluar dari kamar, kulihat Ray dan Titan sedang berbincang di ruang Tv. Ruangan besar dengan karpet bulu halus lembut, menjadikan semua terasa hangat, meski diluar begitu terlihat dingin.

"Gue mau beli Rokok ah yang jauh ke Mesir kalau perlu biar lama," Ujar Titan yang langsung berdiri melihat aku keluar dari kamar.

Aku menghampiri Ray yang sedang duduk bersandar pada sofa dibelakangnya. Tanpa banyak bicara aku duduk di samping Ray.

Aku tahu Ray menatap ke arahku, dan kini wajahnya terlihat ketakutan disaat melihat luka lebam dilenganku. Dia menarik lenganku perlahan.

"Aduh duh...," Pekikku kesakitan meski dia menarik dengan pelan tapi memang sakit terasa.

"Sampai seperti ini dia berbuat itu padamu?" Dengus Ray kesal lalu bangkit dan mengambil sebuah minyak oles.

Ray mengoles minyak tersebut ditangannya dan perlahan dia mengoles lenganku.

"Pelan-pelan sakit tau," Protesku kesal karena olesannya terasa semakin kencang dan panas.

"Cengeng bangat sih!!" Gertak Ray.

"Emangnya sakit, kok. Yang ngerasain kan aku!!" Seperti biasa aku yang tak mau mengalah.

"Sakit mana kalau sampai tadi aku telat menolongmu?!!"

"Gak Tau!!" Ketusku kesal.

Dan kami pun bertengkar kembali. Kenapa gak bisa akur antara aku dan Ray ya?  Seperti aku dan Nino, atau Titan, mengapa manusia ini selalu mencari gara-gara aku?

Bersambung









TAK TAHU JODOHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang