#5 - Kill Dian

9 3 7
                                    

Keesokan harinya kami berangkat sekolah seperti biasa. Aku berpapasan dengan Marcel di dekat gerbang sekolah. Kulihat Marcel tak sedikitpun cemas atau ketakutan. Justri dia kelihatan lebih semangat dan ceria. Kami berjalan menuju kelas bersama-sama.

"Apa kejadian semalam bakal ketahuan?" tanyaku.

"Tidak. Pisau dan gunting kukunya sudah ada di rumahku. Dan tidak ada saksi mata. Lalu semalam aku juga melepas kacamataku jadi tidak mudah orang lain mengenali penampilanku antara saat beraksi dan saat di sekolah."

"Ok baguslah. Yang semalam juga kau jadikan bahan cerita?"

"Tentu saja. Dengan sedikit bumbu romantis pembaca sangat suka membacanya! Hahaha" jawabnya sambil tertawa riang. Kali ini sifatnya kembali seperti bocah ingusan, padahal sebelumnya dingin.

"Selanjutnya apa?" tanyaku lagi.

"Hmm... Akan kupikirkan dulu." jawabnya sambil melangkah menuju kelasnya. Aku lupa kalau kita beda kelas.

* * *

"Ayo buang saja buku-bukunya! Dia sungguh menyebalkan!"

Aku mendengar suara gadis dari kelas 2-A. Suaranya garang, suara orang yang sedang marah-marah. Aku jadi penasaran. Saat kulihat ke dalam, ternyata Marcel sedang dibully. Sudah biasa... Nampak gadis yang sedang marah-marah tadi adalah biangnya.

Mereka merobek-robek buku Marcel dan membuangnya keluar jendela. Banyak orang yang menyaksikan aksi mereka. Namun mereka hanya tertawa melihatnya.

Sesaat kemudian kerumunan yang tadi membully Marcel pergi keluar kelas. Mereka mengarah ke kantin. Sementara Marcel lari dengan sangat kencang, menuju lapangan dan memungut buku-bukunya yang dibuang gadis tadi. Aku mengikutinya dan membantunya memungut buku.

"Ada apa lagi Cel?"

"Dina? Oh, bukan apa-apa. Hanya dibully seperti biasa."

"Kenapa kau bisa dibully lagi?"

"Tadi pelajaran Matematika. Pak guru bertanya apakah ada yang bisa menjawab soal di papan tulis. Aku mengacungkan tangan lebih dulu, Mei merasa kalah cepat dan dia gagal menunjukkan jawabannya."

"Jadi yang tadi paling galak itu Mei ya... Kau ini tidak tampak kesal sama sekali ya?"

"Tidak, aku tidak pernah kesal dan dendam pada mereka. Aku menganggap mereka sama saja seperti meminta hadiah dariku." jawab bocah di hadapanku ini sambil tersenyum tipis. Memang senyumnya terlihat tulus dan menenangkan. Tapi kalimat yang diucapkannya tidak sesuai dengan ekspresinya.

"Tidak dendam apanya?" ucapku lirih.

"Setelah dibully, aku jadi ingin bermain sesuatu."

"Asyik! Akhirnya kau ingin bermain juga. Aku juga masih ingin bermain bersamamu!" balasku gembira.

"Ehem! Tadi ada salah satu dari gerombolan orang yang membullyku bernama Dian. Aku ingin bermain dengannya." Kini tingkahnya berubah menjadi dingin.

"Permainan seperti apa?"

"Biar kuberitahu, permainan ini memakan waktu banyak. Kau bersedia ikutan?"

"Hmm, boleh saja."

"Sebelumnya kita akan... menguntitnya." Wow! Berani sekali dia menguntit seorang gadis. Aku yakin gadis ini juga garang.

Marcel's Diary In DieopadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang