Kita

16.7K 1K 12
                                    

"Al, besok kita harus berjalan-jalan ke Menara Eiffel. Harus."

Aku menghembuskan nafasku pelan kemudian meletakkan pulpen di meja.

"Apa kamu tidak bosan, Aldo? Berkali-kali kita pergi kesana. What makes you addicted to go there?"

Hampir satu tahun sudah aku dan lelaki itu berada di Paris. Ia benar-benar melakukan hal gila. Ia memaksa orang tuanya supaya ia diperbolehkan menemaniku bersekolah disini. Dengan alasan bosan bersekolah di Indonesia, orang tuanya menyetujui permintaannya dengan cuma-cuma.

"Tempat itu romantis, Al. Aku bercita-cita untuk mengungkapkan semuanya disana. Aku berharap dapat segera mengetahui jawabanmu atas pertanyaanku waktu itu. Tapi sayang, kamu belum juga memberi kepastian dan itu tidak masalah. Berada di tempat yang sama denganmu saja sudah cukup membuatku bahagia," ucapnya diakhiri senyum lebarnya.

Aku menatap Aldo jengah. Setiap hari ia berkata secara frontal tentang pertanyaan yang sama. Namun jauh dalam lubuk hatiku, diam-diam aku mulai merasakan hal yang sama sepertinya. Entah sayang atau cinta, aku masih belum mengerti.

"Okay, okay. Besok kita akan pergi kesana," putusku.

Aldo bertingkah sangat konyol sedetik setelah aku mengatakan persetujuanku. Ia berlari mengitari balkon. Kemudian tanpa aba-aba, ia memelukku dari samping. Tubuhnya membungkuk karena ia lebih tinggi dariku. Aku tersenyum, aku menyukai perlakuan hangatnya padaku.

"Terimakasih, Alea sayang. Muah, muah, muah."

Aku terkekeh geli dengan kelakuannya. Ia memajukan bibirnya seolah tengah menciumku.

"Jangan begitu. Kalau nanti telapak tanganku mendarat di bibirmu, tahu rasa kamu."

Dengan cepat, Aldo melepaskan pelukannya dan mencebikkan bibir tipisnya. "Padahal aku benar-benar ingin menciummu," gerutunya terdengar jelas.

Refleks, aku berdiri dan mencubit perut ratanya gemas. "Dasar mesum."

"Aduh, sakit, Al," ucap Aldo sambil mengusap perutnya.

"Maaf, maaf. Lagipula kamu yang membuatku mencubitmu," jelasku sambil tertawa.

"Iya, aku maafkan. Dengan satu syarat."

"Ish, memaafkan saja bersyarat," gerutuku.

"Tidak mau dimaafkan? Ya sudah."

"Hmm, syarat apa?"

Aldo mengikis jaraknya denganku membuatku melangkah mundur. Tatapan elangnya menusuk. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Sialnya, aku telah terhimpit dinding dan jarak Aldo sangat dekat. Ia mengunciku dengan kedua tangannya.

"Aldo," ucapku pelan. Ia mendekatkan wajahnya, aku memejamkan mataku. Ia terdiam cukup lama, aku hanya merasakan deru napasnya menerpa wajahku.

"Jawab pertanyaanku waktu itu di rumah sakit sekarang juga, Aleasha Senja," bisiknya.

Sontak aku membuka mataku dan di saat bersamaan, ia menjauhkan wajahnya dari wajahku.

"Pe-pertanyaan yang mana?" tanyaku gugup.

"Baiklah kalau kamu lupa. Aku akan mengulanginya sekali lagi."

Aku mengalihkan pandanganku, hanya beberapa detik. Aldo menyentuh pipi kananku membuatku menatapnya lagi.

"Mau nggak kamu mengubah aku dan kamu menjadi kita?" tanyanya pelan.

Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku teringat Gana. Rasa sesak kembali memenuhi rongga dadaku. Mataku menghangat, entah mengapa perasaanku padanya tak pernah berubah. Aku tak membencinya, aku merindukannya.

Raut wajah Aldo berubah cemas. "Alea, kenapa kamu menangis? Apakah aku terlalu memaksamu? Maafkan aku," ucapnya lembut kemudian dengan gerakan cepat, ia menarikku ke dalam pelukannya.

Aku menggeleng. Aku bertanya-tanya pada hatiku sendiri. Apakah aku harus menerima kehadiran Aldo dalam hidupku?

"Al, sebenarnya aku hanya tak ingin kamu terbelenggu oleh laki-laki itu. Apakah waktu selama ini kurang untuk membuktikan kalau aku menyayangi kamu? Apakah waktu sebelas bulan ini kurang untuk menghilangkan dia dari pikiranmu?"

Aku bungkam. Aku baru sadar, selama ini Aldo selalu ada untukku. Ia menjagaku secara diam-diam. Aku baru sadar, Aldo setulus ini kepadaku. Namun jahatnya, aku belum membalas ketulusannya. Aku menarik nafas lalu menghembuskannya.

Aldo melepaskan pelukannya, "Baiklah kalau kamu tidak mau menjawab. Aku akan pergi. Aku akan tetap menunggu jawaban kamu."

Ia melangkahkan kakinya. Aku berpikir keras, hal apakah yang dapat membalas kebaikannya padaku selama ini. Tiga detik aku memikirkannya dan pada akhirnya, aku menemukan jawabannya. Aku memejamkan mataku kemudian memantapkan niat.

"Aldo."

Aku tak mendengar suara derap langkahnya. Rupanya ia berhenti.

Aku menghapus air mataku dan menghirup udara dalam-dalam, "Aku mau."

☜☆☞

Fatamorgana | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang