Menghilang

19.1K 1.1K 47
                                    

Aku dan Aldo merayakan hari berbahagia sekaligus menepati janjiku hari lalu dengan menikmati malam bersama di Menara Eiffel. Semuanya berjalan dengan indah sebelum akhirnya seseorang yang hampir ku lupakan meneleponku.

"Ha-halo, Alea."

"Bunda, ada apa?"

"Pulanglah, Nak. Ga-Gana membutuhkanmu," suara bunda terdengar bergetar seperti menahan tangis.

"Bunda, ada apa sebenarnya?"

"Ga-Gana seka-"

"Seka? Seka apa bunda?"

Bunda terisak, aku semakin tak karuan. Aku mendesak bunda agar beliau jujur kepadaku.

"Bun-bunda, Gana kenapa?" tanyaku pelan.

"Pulanglah, kamu akan mengetahui segalanya."

Usai bunda menyelesaikan kalimatnya, beliau memutuskan teleponnya. Aku kehilangan arah. Sedari tadi, Aldo menatapku bingung.

"Aldo, kita pulang ke Indonesia sekarang juga," ucapku sambil memegang lengannya.

"Kenapa, Al? Ada apa?"

"Aku juga tak tahu, tetapi, bunda- maksudku Mama Gana memintaku pulang hari ini juga. Tolong, Aldo. Kamu pasti bisa mengurus segalanya termasuk tiket pesawat mendadak, bukan?"

Aldo dan aku bergegas mengurus tiket dan segera lepas landas. Beberapa jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Indonesia. Aku tak pulang terlebih dahulu, namun langsung menuju rumah Gana.

Aku mengetuk pintu dengan tak sabar. Mungkin tak sopan bertamu saat pemilik rumah mungkin sedang terlelap, tetapi aku tak mempedulikannya karena keinginanku untuk cepat bertemu dengannya.

"Alea, sabar."

Aku menatap Aldo sebentar, kemudian melanjutkan aksiku mengetuk pintu. Tak lama, pintu terbuka menampakkan bunda yang berantakan. Sepertinya, beliau usai menangis.

Aku memeluk bunda untuk menyalurkan rasa rinduku. Bunda menceritakan hal yang berlangsung selama hampir satu tahun ini. Dipertengahan cerita, aku melarikan diri menuju kamar Gana di lantai kedua. Aku membuka pintu kamarnya cepat, kemudian menghentikan langkahku di samping ranjangnya.

Aku menutup mulutku menahan isakanku. Tubuhnya kurus, rahangnya nampak jelas. Matanya terpejam dan ia tergeletak lemas di ranjangnya. Aku mendekatinya dan duduk di samping tubuhnya. Tanganku bergerak menyentuh wajahnya yang dingin.

Ia mengerjapkan matanya dan perlahan membukanya. Sepasang mata sayu itu menatapku, sedetik kemudian, bibir pucatnya melengkungkan senyum lemah.

"Sa-yang, kamu kemba-li?" tanyanya lemah.

Aku menitikkan air mataku, entah mengapa aku tak tega melihatnya seperti saat ini.

"H-hey, jangan mena-ngis," Gana mengangkat tangannya lemah dan menghapus air mataku.

Aku menggenggam tangannya dan meletakkannya di pipiku. Aku mencium punggung tangannya singkat.

"Li-hat, kamu terlihat ca-cantik. Kamu apa kabar? A-aku rindu."

"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja," balasku dengan senyuman.

Aku mendengar derap langkah mendekat, aku menoleh. Ayah, bunda, dan Aldo telah berada di dekatku.

"Pa, Ma, boleh Gana meminta sesuatu?"

"Boleh, Gana. Apapun untuk kamu, sayang," ucap Ayah bergetar.

"Pa, kemari-lah. Gana akan membisikkan sesuatu."

Dengan cepat, aku menjauhkan diri dari Gana dan memberikan ruang kepada ayah untuk mendekati Gana. Gana membisikkan sesuatu yang membuat air mata ayah mengalir.

"Iya, sayang. Papa berjanji untuk kamu."

Gana tersenyum tipis, kemudian berbicara lagi. "Ma, selalu tersenyum. Jaga papa untuk Gana. Jangan melupakan Gana, jangan pula bersedih. Mama wanita paling hebat di dunia ini."

Perasaanku tak enak. Sungguh. Ada apa sebenarnya ini?

Bunda tak menjawab, beliau hanya mengangguk dan terisak. Kemudian mendekati Gana dan mencium dahi Gana sebentar.

Gana menatap Aldo. Tatapannya semakin sayu, "Aldo, maaf, gue belum bisa menjadi teman yang baik. Maaf, gue banyak melakukan kesalahan. Tolong, jagakan dia. Jangan buat dia merasakan sakit seperti saat bersama gue. Berjanjilah."

"I-iya, Gana, gue sudah maafin lo. Untuk persahabatan kita, gue berjanji."

Dan untuk kesekian kalinya, Gana menatapku dengan tatapan yang sulit ku artikan.

"Alea, maafkan perbuatanku selama ini. Ada banyak hal yang harus aku sampaikan, tetapi waktuku sudah habis. Aku tidak dapat berkata banyak. Berbahagialah kamu dengan lelaki yang lebih baik daripada aku. Jangan bersedih, aku hanya berpindah tempat. Aku tidak menghilang, bintang tidak akan pernah meninggalkan bumi," ucapnya serak.

"Jangan pergi," bisikku pelan.

"Tersenyumlah selalu, aku menunggumu di keabadian."

Beberapa detik setelah itu, Gana seperti sulit bernapas. Ia terlihat sangat kesakitan. Aku panik. Aku merapalkan doa supaya Tuhan tak mengambilnya dariku saat ini.

Ayah mendekati Gana dan membimbingnya membaca dua kalimat suci. Suasana menjadi tegang. Aku menangis terisak sembari memeluk Bunda dan tak henti-hentinya menatap Gana. Dengan napas tercekat dan beberapa kali pengulangan, Gana berhasil mengucapkannya. Aku tak melihat bibirnya bergerak lagi. Ayah mengelus puncak kepalanya lembut.

"Beristirahatlah yang tenang, Nak. Saat ini, kamu tak akan merasakan sakit lagi. Doa Papa dan Mama selalu menyertaimu."

Tenggorokanku seperti tersumpal bola yang besar, aku tak sanggup mengatakan apapun lagi. Ia telah pergi, jauh, bahkan sangat. Ia pergi membawa separuh hatiku yang dahulu kutitipkan padanya.

"Aku mencintaimu, bintangku. Beristirahatlah dengan tenang, kamu tidak sendirian, hatiku ada bersamamu."

☜☆☞

Fatamorgana | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang