3. Your Sexy body

5.2K 302 1
                                    

Gedoran pada pintu kayu kamar tidurku yang nyaring tepat pukul lima pagi selalu membangunkanku sebagaimana alarm ponsel membangunkan orang lain dan itulah sebabnya aku tidak pernah repot-repot menyetel alarm ponsel untuk bangun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gedoran pada pintu kayu kamar tidurku yang nyaring tepat pukul lima pagi selalu membangunkanku sebagaimana alarm ponsel membangunkan orang lain dan itulah sebabnya aku tidak pernah repot-repot menyetel alarm ponsel untuk bangun.

“Aku sudah bangun, Nek!” teriakku lalu dengan malas bangkit, membuka pintu kamar dan berpura-pura tersenyum dengan cerah walaupun semalaman aku tidak bisa tidur sama sekali.

“Mata kamu merah sekali, kamu begadang kemarin malam?” tanya Nenek menyelidik bak detektif yang penuh rasa ingin tahu.

“Nggak, Nek. Kemarin mata Ria kelilipan debu terus iritasi.”—lebih tepatnya mataku iritasi akibat terlalu syok setelah mengetahui bagaimana cara pria dan wanita dewasa berhubungan intim.

“Oh….” Nenek hanya mengangguk kemudian berjalan ke kamar Kak Ethan untuk membangunkannya.

Salah satu kebiasaan di keluarga ini—atau lebih tepatnya mutlak aturan di rumah Nenek—adalah seluruh penghuni rumah harus bangun tepat pukul lima pagi, dan jika tidak Nenek akan menggedor kamarmu hingga kamu terbangun lalu selama setengah jam mendengar omelan Nenek yang sangat panjang sampai kamu—yang trauma—bertekad sepenuh hati akan bangun pagi setiap hari bahkan sebelum ayam berkokok. 

“Siang ini Nenek akan ke rumah Om Surya dan menginap di sana,” ucap Nenek di sela-sela sarapan.

“Gendis hari ini pupak puser ya, Nek?” tanyaku, melahap roti bakar yang sudah kuolesi mentega rasa bawang putih.

Nenek mengangguk lalu pandangan kami teralihkan oleh kehadiran Kak Ethan yang sedang membuka lemari les.

Seluruh perhatianku lalu terpusat pada tubuh atletis Kak Ethan bagian atas yang tidak tertutupi sehelai benang pun.

Aku meneguk air liurku susah payah. Betapa bodohnya aku karena baru menyadari bagaimana atletis dan seksinya tubuh Kak Ethan yang basah dengan peluh keringat setelah lari pagi di sekitar kompleks perumahan.

Jika aku tahu betapa seksi tubuhnya aku tidak akan pernah menolak ajakannya jogging pagi—walaupun hanya dalam anganku saja. Otot dadanya yang kencang yang dikombinasikan perutnya yang six pack tanpa kelebihan lemak sedikit pun, benar-benar perpaduan yang sangat sempurna.

Sialnya, pandanganku lalu beralih ke bawah hingga dengan tidak senonoh mataku terfokus pada satu titik,  pada tempat di mana organ intimnya berada.

Pikiran liarku mulai berkelana. Aku membayangkan ukuran organ tersebut dan mulai membandingkan dengan aktor yang ada dalam film kemarin malam. Dilihat dari tinggi Kak Ethan dan proporsi tubuhnya, kurasa milik Kak Ethan pasti lebih besar dibandingkan milik aktor Jepang yang bermain dalam film berdurasi empat puluh menit itu.

Eh… lebih besar? Apa yang sedang kupikirkan?!

“Ethan, sebaiknya kamu memakai kaosmu atau nanti kamu masuk angin!” seru Nenek yang membuyarkan seluruh lamunanku.

Seperti tersadar dengan pikiran yang tidak senonoh tentang Kak Ethan, wajahku mendadak menjadi panas dan untuk menutupi rasa maluku, aku meneguk orange juice dengan cepat.

“Gendis hari ini pupak puser ya Nek?” tanya Kak Ethan setelah memakai kembali kaos abu-abunya dan bergabung sarapan bersama kami.

“Iya, makanya barusan Nenek bilang ke Daria.”

“Mau kuantar?” tanya Kak  Ethan menawarkan jasa sopir pribadi untuk Nenek.

“Om Surya yang akan menjemput Nenek. Sebaiknya kamu lengkapi dulu bawaanmu, cek sekali lagi biar nanti tidak ada yang ketinggalan.”

“Nek, Ria ikut, ya?” tanyaku setengah merengek.

Aku tidak ingin berduaan bersama Kak Ethan di rumah ini. Tidak setelah aku menonton dan mulai menciptakan delusi yang penuh dengan fantasi liar.

“Nenek menginap dua hari di sana, Ria. Besok kamu masuk sekolah, kan?”

Aku mengangguk pasrah lalu mengulum senyum masam. Putus sudah harapanku untuk ke luar dari situasi genting.

“Mau nonton ke TP? Aku lihat ada anime baru buatan sutradara 5 cm per secon kesukaan kamu.”

“Eh? Beneran?” tanyaku antusias lalu tersadar aku melakukan kesalahan fatal. Aku melupakan kalau saat ini masih masa perang dingin dengan Kak Ethan. “Nggak deh, Kak. Hari ini aku mau ke rumah Kak Ulfa.”

[END] Not Old Enough... to be your LOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang