9. Beyond my expectation

4.3K 296 1
                                    

“Kamu nggak apa-apa, Ri?” tanya Nouval setelah aku memberikan helmnya di parkir motor sekolah kami.

Aku membalas Nouval dengan tatapan tajam lalu menggerutu.

“Kamu kenapa sih Val bonceng aku pakai acara ngebut!”

Nouval tertawa renyah, tanpa beban.

“Habisnya kamu kelihatan ketakutan sekali.”

“Aku nggak takut!”

“Kalau nggak takut kenapa peluk aku erat sekali?”

Aku menyipitkan mata. “Oh, jadi itu alasan kamu ngebut, biar aku pelukin kamu?! Aku aduin kamu ke Resti, ya!”

Mendengar nama Resti dalam ancamanku, Nouval langsung menyerah kalah.

Laki-laki yang hobinya main game online itu memasang tampang anak anjing yang polos. “Eh, jangan-jangan! Aku cuma bercanda!”

“Hahaha….” Kini aku yang tertawa.
“Anyway, thanks, Val. Kamu sudah bantuin aku.”

“Santai, Ri. Semua ini nggak ada apa-apanya saat kamu bantuin aku dapetin Resti.”

Aku hanya memutar bola mata kemudian berjalan ke ruang kelasku.

Selama jam olahraga, aku yang terus berkeringat dingin memutuskan untuk beristirahat di ruang UKS tetapi semua itu tidak membantuku.

Kepalaku malah semakin pusing bahkan hampir saja aku pingsan dan terjungkal ke lantai, kalau bukan Resti—kekasih Nouval—menarikku dan memapahku ke ruang kelas.

“Ri, sebaiknya kamu pulang deh,” saran Resti ketika aku kembali ke kelas. “Kamu sakit.”

“Iya, benar, kamu sebaiknya pulang, Ri.” Nouval ikut mendukung Resti agar aku pulang.

“Ini gara-gara kamu, Val.”

“Gara-gara aku?” tanya Nouval bingung.

“Iya, gara-gara kamu bonceng Daria pakai motor, dia jadi masuk angin. Kata Daria, tadi pagi kamu juga ngebut walaupun tahu Daria nggak pakai jaket.”

“Eh?” Nouval kelihatan sangat terkejut. “Sorry, Ri, gara-gara aku ngebut kamu jadi masuk angin.”

Resti mengembuskan napas kasar. “Kamu harus anterin Daria pulang!”

“Eh, kenapa aku?!”

Mendengar perdebatan sepasang kekasih yang ajaib itu, aku hanya mengernyitkan alis.

Sampai sekarang aku tidak habis pikir bagaimana Resti yang tegas dan mandiri itu bisa jatuh hati pada Nouval yang lemot dan naif. Dua kepribadian yang benar-benar bertolak belakang.

“Nggak usah, Res. Aku di sekolah aja. Lagian aku sudah agak baikan.”

“Baikan apanya? Muka kamu pucat gitu,” ucap Resti cemas. “Tadi saja kamu mau pingsan.”

“Eh, Ria pingsan?” Nouval kembali menatapku cemas. “Mending kamu pulang deh Ri dan aku yang akan ngantar kamu.”

Resti meminjamkan jaketnya kepadaku lalu sesuai janjinya Nouval yang mengantarku walaupun Bu Asri—guru BK—menyarankan untuk memakai taksi online. Nouval berpendapat jalanan di jam makan siang seperti ini sangat macet sehingga tidak efektif menggunakan mobil.

Akhirnya, perdebatan itu dimenangkan Nouval, bukan karena argumen-argumennya tetapi sifat keras kepala Nouval yang tidak terkalahkan.

“Makasih ya, Val. Maaf merepotkan kamu,” kataku saat Nouval sudah mengantarkanku sampai ke rumah Nenek.

“Nggak usah sungkan kali, Ri...” Nouval tersenyum kecil, “kamu minum obat dulu baru istirahat ya, Ri.”

Saat aku akan mengatakan sesuatu, rasa sakit di kepala menyerangku.

Hampir saja aku roboh, jika tidak tangan Nouval menangkapku sehingga aku pun jatuh ke pelukannya.

“Kamu nggak apa-apa, Ri?” tanyanya cemas.

Sebelum aku sempat membalas ucapan Nouval, sebuah tangan menarikku ke belakang dengan kasar.

“Ini yang kamu bilang dewasa itu?!” tukasnya dengan nada menyiratkan kemarahan.

Kak Ethan lalu menarikku memasuki rumah hingga aku berjalan tertatih-tatih dan meninggalkan Nouval yang menatapku bingung.

“Baru kemarin kamu bilang kalau perasaan kamu nggak pernah berubah. Tapi, belum sehari kamu sudah jatuh ke pelukan pria lain!” serunya menuduh.

Teriakannya yang keras semakin membuat kepalaku berdenyut. Aku tidak tahan dengan sikap kasarnya.

Terlebih hari ini aku tidak enak badan setelah tidak bisa tidur dan efek masuk angin. Aku ingin pergi ke kamarku untuk beristirahat tapi Kak Ethan menghentikan rencanaku.

Tangan Kak Ethan mencengkram bahuku.

“Kak... Sakit,” gumamku dengan suara merintih.

“Kamu sudah ngapain saja sama cowok itu?!”

Aku menutup mata menahan rasa sakit di kepalaku yang perlahan-lahan berangsur membaik walaupun tidak sepenuhnya menghilang sementara Kak Ethan terus menerus bertanya dengan intonasi tinggi. Aku mengabaikannya dan tidak ingin mendengar berbagai tuduhannya yang tidak masuk akal.

Sudah cukup Kak Ethan dipermainkan perasaan dan hatiku. Lamunanku lalu terhenti. Kak Ethan mendorong tubuhku ke sofa lalu memaku posisiku dengan setengah menindih.

Tangannya memegang daguku, memaksaku untuk menatapnya. Aku masih tidak mengerti dengan sikapnya yang mendadak berubah sampai bibirnya mengecup bibirku lalu lidahnya perlahan ikut menginvasi dan mengundangku untuk membuka mulut.

Aku yang terlena dan tidak bisa berpikir apa yang sebenarnya terjadi, hanya bisa menuruti perintahnya.

Pantas saja Kak Ethan selalu menganggapku anak kecil, ciuman kemarin malam memang tidak ada apa-apanya dibandingkan ciuman ini.

Aku tidak bisa mendefinisikan ciuman ini. Aku tidak bisa berpikir secara normal dan hanya insting yang menuntun.

Kepalaku semakin berkabut tetapi Kak Ethan memagut bibirku dengan rakus, menggoda dan mencecapnya. Dan entah gerakan apa lagi karena aku tidak bisa mendeskripsikan tindakannya yang membuatku mendesah aneh.

Lidahnya yang memasuki mulutku, seolah menjalinnya dengan lidahku, mengajaknya berdansa dengan cara sensual.

Napasku terengah-engah, kehilangan kendali berpikir bagaimana cara bernapas dengan benar.

“Kak...” erangku di tengah ciuman panjangnya dan gerilya tangan nakalnya menggoda dadaku. “...sakit.”

Setelahnya itu hanya kegelapan yang terlihat dan aku tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi.

[END] Not Old Enough... to be your LOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang