Chapter 8

36 6 1
                                    


"Anu itu apa hah? Kamu mau ngelak lagi? Pergi ke lapangan sekarang!" Gilang yang mendengar teriakan itu langsung berjalan dengan lesu. Gilang tahu apa yang harus dia lakukan, sungguh dia malas jika harus berjemur dibawah terik matahari sambil hormat ke arah bendera.

"Lari! Jangan lemes begitu," Bu Nana berseru dengan suaranya yang melengking namun Gilang langsung lari terbirit-birit.

Gilang tidak pernah berpikir bahwa dia akan berjemur dibawah terik matahari. Akhir-akhir ini memang cuaca sangat panas, jadi Gilang harus tahan dengan matahari yang menyengat. Bulir-bulir keringat menetes dari dahi  turun melalui rahangnya lalu turun ke lehernya yang panjang. Dan yang tak pernah terpikir oleh Gilang ada kelas yang saat ini pelajaran olahraga, harus ditaruh dimana muka Gilang nantinya.

Mata Gilang menyusuri ke sekitarnya, banyak murid laki-laki yang sibuk bermain bola sedangkan yang perempuan sibuk dengan obrolannya. Sesaat mata Gilang menangkap dua orang yang dia kenal, Ireen dan Relia. Mungkin dia ingin pergi ke fotocopy karena Gilang melihat banyak sekali tumpukan kertas yang dibawanya.

Karena Ireen berjalan dengan menunduk dan Relia tengah sibuk menghitung uang tidak ada yang sadar bahwa sebuah bola melesat kearah mereka. Ralat kearah Ireen dan kegelapan menimpanya.

****

Perlahan Ireen membuka kelopak matanya, dia mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru. Dia mengernyitkan dahinya pada suasana yang asing.

"Gue dimana?" tanya Ireen sambil memegangi dahinya. Relia yang tadinya sibuk memainkan ponsel menengok kearah Ireen, Relia beranjak dan menghampiri Ireen ditambah membrondonginya dengan berbagai pertanyaan.

"Reen lo gak pa-pakan? Ada yang sakit? Kepala lo sakit gak? Biar gue panggilin...

"Rel gue gak pa-pa, lo gak usah panggil siapa pun kesini," Ireen kembali mengedarkan pandangannya. Seingat dia, dia tadi pergi ke fotocopy, dia pergi bersama Relia, dia melewati lapangan dan tiba-tiba dia pingsan. Setelah itu Ireen tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.

"Siapa yang bawa gue kesini?"tanya Ireen kembali menatap Relia. Relia yang mendengar Ireen bertanya seperti itu jadi bingung harus jawab apa. Pasalnya yang menolong Ireen tadi mengingatkan agar Relia tidak memberitahunya. Tapi Relia tahu betul bahwa yang menolong Ireen tadi mempunyai perasaan lebih kepada Ireen.

"Si Gilang. Lo mau tahu gak? Tadi tuh Gilang lagi dihukum karena dia telat, dia disuruh hormat bendera. Dia keringetan tapi pas dia ngeliat lu pengen jatuh pas pingsan, Gilang langsung gendong lo! Gila dia udah keringetan tambah gendong lo dia baik banget ya. Gue rasa dia tuh punya perasaan sama lo deh, karena setelah nganterin lo dia ngingetin gue buat jagain lo. Huh baik banget ya dia," jelas Relia panjang lebar sambil tersenyum menggoda.

"Oh yaudah," jawab Ireen sekenanya. Relia menganga sambil matanya melotot, kenapa jawabannya seperti itu diluar dugaan.

"Heh! Lo itu beruntung bisa disukai sama seseorang, ganteng lagi. Tapi jawaban lo malah kayak gitu, Reen lo bisa saat ini sia-siain dia yang begitu mencintai lo. Tapi suatu saat nanti kalau lo mencintai seseorang tapi dia hanya diam lo pasti merasakan sakitnya," jelas Relia panjang lebar. Ireen diam, dia bingung harus menjawab apa. Tapi kenapa jika Gilang menyukainya dia malah bersembunyi seperti pengecut.

"Tapi kenapa dia gak bilang?" tanya Ireen menautkan alisnya.

"Entahlah dia begitu takut untuk bilang suka ke elo," jawab Relia menggedikan bahunya. Ireen diam, dia sangat tidak suka pada lelaki yang pengecut untuk mengungkapkan perasaannya. Kesannya Ireen lah yang dibilang cuek lah, terlalu dingin lah kepada lelaki. Padahal jika mereka mengungkapkannya Ireen bisa saja lebih care, daripada Ireen harus merasa serba salah.

Senja Yang MenantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang