Kedua mata Jani melebar ketika melihat semangkuk mie ayam spesial dan sepiring siomay di depan Rana. Kurang dari semenit kemudian, sepiring risoles diletakkan oleh pelayan. Sahabatnya itu terlihat baik-baik saja dengan tiga porsi makanan di hadapannya.
Sementara itu, pesanan Jani belum datang. Dengan wajah polos Rana lalu menawarkan risoles.
"Mau?" Rana menyodorkan piring risoles pesanannya.
"Are you okay?" tanya Jani. "Sebanyak ini?" Ia menunjukkan piring-piring di atas meja. "Lo bisa makan ini sampai habis?"
"Why not?" Rana mengangkat bahu. "Gue lapar banget."
"Tapi ini nggak biasa."
"Memang."
"Ada apa?" desak Jani. Dia tahu betul, Rana tidak pernah makan sebanyak itu. Sahabatnya itu sangat menjaga pola makan, latihan yoga setiap hari dan pergi ke gym paling tidak tiga kali seminggu.
Nasi goreng pedas pesanan Jani kemudian datang. Namun ia tidak buru-buru mengambil sendok. Ia menunggu penjelasan Rana.
"Gue baru tahu kalo dia brengsek," kata Rana pelan. Ia menghembuskan napas, berusaha menahan gejolak kemarahan yang ia simpan sejak pagi ketika masuk kantor.
Rana tahu ia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Jani. Cepat atau lambat sahabatnya itu akan mendesaknya. Apalagi dengan memesan tiga porsi makanan yang bukan kebiasaan Rana. Jani pasti akan tahu ada sesuatu yang tidak beres. Rana tersenyum kecil membayangkan wajah kaget Jani jika dia tahu semalam Rana menghabiskan dua bungkus mie instan rebus, sebungkus keripik kentang dan sebatang cokelat yang disimpannya di kulkas.
"Dia?" Jani mengernyitkan dahi.
"Ryan," kata Rana seperti berbisik dengan mata mengawang. Suaranya nyaris tertelan sayup-sayup suara pengunjung Warung Mama Lala yang terdengar makin ramai. Ia menunduk sekejap dan mencoba untuk mencari sedikit keberanian. Tidak mudah baginya untuk mengakui sesuatu yang terdengar memalukan. Selama ini hidupnya begitu sempurna, karir yang bagus, gaya hidup sehat yang selalu ia agung-agungkan dan pacar seorang pemain sepakbola yang tampan.
"Kenapa Ryan?"
Rana mengangkat kepala dan menoleh ke sembarang arah. Ia tahu percuma saja mencari pengalihan. Ia sudah telanjur bicara. Namun haruskah curhat di warung makan begini? Suara-suara di sekitar makin berisik. Kepala Rana seperti mau pecah. Ia baru sadar ternyata tempat ini sudah penuh dan masih ada beberapa orang yang mengantre di luar.
"Ran?" Jani masih menunggu.
"Sori," kata Rana. Ia kembali melayangkan pandangan ke Jani. "Ryan selingkuh."
"What?" Kedua mata Jani melotot. "Serius lo? Kok bisa?"
"Gue nggak bisa cerita di sini." Rana tidak nyaman dengan keramaian di sekitar. Ia kembali menunduk sambil mengaduk kuah mie ayam dan berharap Jani tidak memaksanya untuk menceritakan kejadian kemarin secara detail.
"Ya sudah. Kita habisin ini dulu terus kita ke coffee shop deket sini gimana?"
Rana hanya mengangguk dan bersyukur Jani tidak mencecarnya. Tadi mereka pergi makan siang lebih awal karena tidak kembali ke kantor dulu setelah mengecek pekerjaan di proyek restoran yang sedang mereka garap.
Rana tidak bisa konsentrasi sepenuhnya ketika di proyek tadi. Setelah melakukan check list seadanya dan mengomel ke salah satu pekerja karena satu kesalahan kecil -pekerja itu tidak sengaja memecahkan sebuah bata merah- Rana buru-buru mengajak Jani makan siang.
Menjadi arsitek bukan pekerjaan yang mudah bagi Rana. Ia menyukai seni dan berbakat di bidang itu. Namun hal-hal yang menyangkut teknis di lapangan kadang membuat kepalanya berdenyut, terutama jika berkaitan dengan deadline.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Escape
General Fiction"The heart wants what it wants." Rencana pernikahan Rana dan Ryan terpaksa batal karena Ryan ketahuan selingkuh. Rana patah hati dan ingin bepergian sendiri ke Seoul demi cepat move on. Kemudian ada Stefan, host acara jalan-jalan yang merasa lelah m...