Chapter 9

28 6 0
                                    

Gadis itu mencoba membuka matanya yang masih terasa mengantuk, sehingga begitu nerat untuk terbuka. Sesekali ia memerjap. Menatap sekelilingnya.

Kamarnya terlihat lebih kecil, lalu ada beberapa foto yang tergantung di dinding, buku-buku ada yang berserakan dilantai, satu jendela yang cukup besar menghadap ke tempat matahari terbit, dan terakhir ada potret di pigura di atas nakas.

Gadis itu tersadar bahwa ia telah kembali ke jaman aslinya, tahun 2018.
Emma mengubah posisinya menjadi duduk di atas kasur. Dan melihat jam weker yang ada di atas nakas sebelah kasurnya. Sudah pukul lima pagi! Ia menggeleng-gelengkan kepalanya merasa tidak percaya dengan jam itu. Emma melihatnya sekali lagi di handphone-nya. Betul, sekarang sudah pukul lima pagi.

Aneh. Berarti selama ini dia bermimpi kembali ke zaman itu? Tapi dulu ketika pertama kali Emma pergi ke zaman itu dan kembali lagi di masanya sekarang, waktunya tidak berubah. Seharusnya sekarang masih tanggal 30 April sekitar pukul sepuluh atau sebelas malam.

Emma menghela napasnya gusar. Ah, kenapa hal ini terjadi padaku? Pikirnya. "Ck, bodo amat. Tidur lagi aja!" Gumamnya menyudahi pemikir-annya yang sudah melantur kemana-mana.

Sudah sekitar tiga puluh menit Emma mencoba untuk kembaki tidur. Tapi matanya tak kunjung ingin terpejam. Akhirnya Emma memutuskan untuk bangun saja. Toh, sudah jam setengah enam dan pukul enam alarmnya akan berbunyi.

Karena bingung ingin melakukan apa, alhasil ia menyeret kursi kayunya ke depan meja belajarnya. Menyalakan lampu belajar, dan mengambil secarik kertas kosong dan sebuah pulpen.

Pulpen itu mulai menari-mari diatas kertas tersebut. Setelah beberapa lama, gerakan pulpen itu terhenti, dan Emma menjepit kertas itu diatas tali yang sudah dipasang di temboknya.

Kemudian Emma beranjak dari tempat duduk itu, lalu menuju kamar mandi dan bersiap untuk sekolah.

Ia berjalan ke sekolahnya. Seperti yang ia lakukan biasanya.

Yang berbeda hanya saja Emma terlihat sedikit kacau. Ada lingkaran hitam di bawah matanya.

Ia menaiki tangga hall depan sekolahnya. Dengan langkah gontai ia menelusuri koridor. Dan hal yang sama terjadi. Masih banyak orang yang mengejeknya.

"Lihat, gadis sampah datang!"

"Dia kok gak sadar diri banget sih? Kayak gitu saja dia berani mendekati Kevin!"

"Buangan!"

"Sok pintar!"

"Kecentilan banget sama Kevin!"

Emma memutar bola matanya mendengar cibiran orang-orang itu. Ia mendatangi lokernya dan mengambil buku bahasa inggris dan biologi untuk pelajaran setelah ini.

Sebelum Emma menutup lokernya, tiba-tiba pandangannya menjadi gelap. Emma tersentak, tiba-tiba ada tangan yang menutupi matanya.

Eh? Tangan siapa ini?

Ketika Emma melepas tangan itu dan berbalik. "BAAA!" teriak Kevin. Emma terlonjak karenanya. "Ah, kaget tau!" Emma memukul lengan Kevin.

Lelaki itu terkekeh, bahunya bergoncang. "Setelah ini kau pelajaran bahasa inggris kan? Lalu biologi?" Tanya Kevin.

"Hm? Bagamana kau tau? Oh pasti bukunya," balas Emma.

"Engga kok, ak menyesuaikan jadwalmu."

"Hah?"

"Iya, aku menyesuaikan jadwalmu! Setelah ini kita akan lebih sering bertemu di kelas!" Jelas Kevin.

"Kok--"

"Sudah ya, sampai ketemu di kelas! Nanti kita duduk bersebelahan yaa!" Potong Kevin lantas meninggalkan Emma yang masih kebingungan sendiri.

"What's wrong with him?" Gumam Emma. Ia berdecak lalu mengunci lokernya dan berjalan ke kelasnya.

Kini Emma sudah berdiri di depan pintu kelasnya yang terbuka, ia masih agak kepikiran omongan Kevin sebelumnya.

"Masa sih anak itu benar-benar mengikuti jadwalku?" Gumam Emma, lantas ia masuk ke kelas.

Dan yang benar saja, Kevin sungguh-sungguh dengan perkataannya tadi. Ia bahkan menjagakan tempat duduk untuk Emma.

Kevin membuat Emma melongo di depan kelas.

Lelaki itu tersenyum hangat melihat Emma sudah datang. "Sini," ucap Kevin sambil menepuk meja kosong yg disebelahnya.

Teman-teman sekelas langsung berbisik satu dengan yang lain, membuat Emma memutar bola matanya.

Mau tidak mau Emma duduk di tempat kosong yang berada di sebelah Kevin itu, ia tidak punya pilihan lain Kursi lainnya juga sudah terisi semua.

Emma menaruh tasnya dan bukunya asal-asalan. Lalu ia duduk dengan bibir manyun. "Jangan dengarkan mereka," kata Kevin.

Emma hanya meliriknya lalu mengangguk.

Tak lama kemudian, guru masuk, dan kelaspun dimulai.

💕💕💕

KRING!!

KRING!!

Begitu bel istirahat berbunyi, Kevin menyambar tas bekal yang di bawah kursinya dan langsung menarik Emma keluar kelas.

Emma yang tiba-tiba ditarik itu meronta-ronta untuk dilepaskan. "Ish, kamu ngapain sih?" Tanya Emma memukul-mukul pergelangan tangan Kevin supaya dilepaskan.

"Ikut saja," katanya.

Emma memutar bola matanya untuk kesekian kalinya hari ini. Dan semua karena lelaki yang sedang menarik tangannya sekarang.

Emma menyesuaikan langkah kakinya dengan langkah kaki Kevin yang lebih lebar dari miliknya.

Tak lama kemudian mereka sampai di taman samping sekolah. Di lantai ini memang ada dua taman. Yang satunya ada di depan sekolah, dekat gerbang. Biasanya disitu juga sangat ramai kalau istirahat. Soalnya banyak anak-anak yang suka makan disana.

Taman samping, lebih jarang dihuni, hanya beberapa orang saja. Biasanya sih yang sudah punya pasangan yang kesini. Biasalah, mencari yang sepi.

Lalu mereka duduk di bangku yang teduh, karena atasnya ada pohon mangga yang besar. Tapi untung buahnya tidak banyak, jadi tidak takut kalau sampai kejatuhan.

Kevin menyandarkan punggungnya, lalu menghela napas kasar, "Hah, nyaman sekali disini," ucapnya entah pada siapa.

Emma berdencak kesal. "Kalau mau ke taman bilang dong! Kan gak perlu pake tarik-tarik gitu. Sakit, Vin," ujar Emma.

Kevin melepas genggamannya. "Sorry," katanya. Emma mengangguk. Suasana jadi sedikit canggung, jadi Emma langsung buka suara, "Mau ngapain disini? Aku laper, belom makan."

"Nih." Kevin menyodorkan tempat makan pada Emma. "Eh? Kan punya kamu?" Tanya Emma.

"Ini aku bawa satu lagi. Aku buat sendiri loh, khusus buat kamu," ujarnya dengan senyuman indahnya itu.

Tepat pada saat itu, Emma terenyuh.

Not a Fairy TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang