Chapter 1

134 16 14
                                    

London, 17 April 2018
Abigail's senior high school.

"Lihat dia, dia terlihat memalukan!" Bisik gadis berambut pirang pada temannya yang berambut brunette itu. "Haha, iya, bagaimana bisa orang miskin seperti dia bisa masuk ke sekolah elit disini?"

"Cih, gadis kotor!"

"Hey, kau lebih baik jangan dekat-dekat dengan dia. Nanti kau ketularan jadi seperti dia." Kata seorang gadis pada teman disebelahnya yang bernama Nana itu.

Sang gadis yang sedang dibicarakan itu hanya berjalan seakan tidak peduli dengan ocehan, bisikan siswa-siswi yang ada di sekitarnya.

Mungkin diluar ia terlihat tidak peduli. Tapi sebenarnya ia mendengarkan. Ia ingat semua hal buruk yang pernah dikatakan orang lain tentangnya. Padahal mereka tak tahu apa-apa.

Gadis itu ingin membalasnya. Kadang ia ingin sekali mendatangi orang yang mengejeknya satu persatu dan memukulnya dengan sekuat tenaga yang dia bisa. Tapi itu semua hanyalah angan-angan. Mustahil untuk terjadi. Kenyataannya ia hanyalah gadis lemah, lusuh, dan kotor. Ia hanyalah seperti sampah masyarakat.

Gadis itu memasuki kelasnya dan duduk dibangku baris ketiga, kolom kedua. Dia hanya duduk sendirian, tidak berkumpul dengan siapapun. Karena, ya siapa yang ingin berteman dengannya? Ia sering berpikir bahwa jika ada anak yang ingin berbicara dengannya hanya untuk bertanya pelajaran, atau mencontek pekerjaannya supaya nilainya bagus. Dia memang peringkat 1 dalam kelasnya. Dan karena itulah dia bisa dapat beasiswa di sekolah elit ini.

"Emma," panggil seseorang. Gadis itu menoleh. Emma menaikkan kacamatanya sambil berkata, "Apa? Kau ingin pinjam PR lagi?"
Murid yang baru saja memanggilnya tadi tersentak. Karena Emma tidak seperti biasana. Gaya bicaranya berani dan dingin. Sungguh menusuk. Biasanya Emma cenderung ketakutan jika diajak bicara. Tapi tidak untuk kali ini.

Kali ini entah apa yang mendorongnya. Kali ini saja, ia tidak mau meminjamkan PR nya. Karena sebetulnya ia sudah ditegur beberapa kali oleh guru agar tidak memberikan jawaban PR pada teman-teman.

"Iya," jawab murid itu.
"Tidak, aku juga tidak mengerjakan PR," kata Emma berbohong.
"Ah, jangan bohong! Sini kemarikan tasmu!" Ucap murid itu dengan lantang. Murid itu --Roy-- dengan paksa mengambil tas Emma. Tapi Emma terus mempertahankan tasnya, tapi tidak bisa. Roy kuat, Emma tak mampu menahannya.

Lalu semua isi tas itu dikeluarkan oleh Roy. Tas itu diguncang-guncang hingga semua buku jatuh ke lantai, berserakan kemana-mana.

Pandangan seluruh kelas tertuju pada Roy dan Emma. Roy mencari-cari buku PR, dan ketemu. Ia mengangkat buku itu sambil tersenyum penuh kemenangan pada Emma. Lalu ia pergi kembali ke bangkunya.

Emma sedang mengendalikan emosinya. Dadanya naik turun dengan cepat. Lalu berjongkok pelan-pelan memungut bukunya satu-satu dan memasukkannya kembali pada tasnya.

Tiba-tiba ada satu siswa datang, membantu Emma memungut bukunya. Tanpa melihat orang itu Emma berkata, "Tidak perlu kau bantu. Aku bisa sendiri." Tapi siswa itu tetap bersikeras membantu Emma. Lalu siswa itu bangkit berdiri, "Terima kasih kembali," katanya. Lalu pergi begitu saja.

Padahal Emma belum tau siapa siswa itu tapi ia sudah berlalu. Bahkan Emma juga belum mengucapkan terima kasih, tapi orang itu sudah mengatakan terima kasih kembali.

Pikiran Emma buyar ketika ada guru yang masuk ke kelasnya. Yak, dan pelajaran sejarah yang membosankan pun dimulai.
---
Sepulang sekolah, Emma jalan kaki ke rumahnya. Memang tidak jauh, karena itu ia lebih pilih jalan kaki dari pada naik bus. Supaya hemat dan sehat, pikirnya.

Dari jalan raya besar, Emma berbelok ke gang kecil yang ada dikanan jalan. Memasuki St. Borealis, disitulah ia tinggal.
Emma memasuki rumahnya. Pagar depannya dicat warna krem.

Emma membuka pagar rumahnya. Cat kren itu sudah mulai mengelupas, dan beberapa bagian sudah berkarat karena memang sudah tua. Terdengar pula suara derit dari pintu itu. Emma menghela napasnya.

Ia masuk kerumahnya, mendapati ibunya sedang duduk dikursi kayu dan merajut di dekat jendela supaya dapat pencahayaan yang bagus.

"Aku pulang!" Kata Emma dengan agak ceria. "Hai, Sayang!" Balas ibunya sembari memeluk Emma erat.
"Apa kau sudah makan siang, Emma?" Tanya ibunya. Emma menggeleng. Lalu mereka berjalan ke meja makan. Ibu Emma --namanya Lily-- membuka tutup saji, disitu ada potongan steak yang lumayan besar bagi Emma.

"Ah, Mama," desah Emma langsung memeluk Ibunya. "Mama tidak harus merelakan uang banyak supaya aku bisa makan steak," ucap Emma masih dalam dekapan ibunya. "Tidak apa-apa, Sayangku. Kan yang penting kamu sehat!"

Emma melepaskan pelukkannya, tersenyum memandangi Lily, lalu mencium pipinya. "Segeralah makan," kata Lily. Emma mengangguk dan mengambil sepiring nasi, lalu duduk kembali dan ia makan dengan lahap.

Lily duduk di kursi yang ada di depan Emma. Melihat anaknya yang makan dengan lahap itu. Ia makan seakan-akan hampir tidak pernah makan daging. Walau memang begitu kenyataannya.
Lalu mereka berdua bercerita, penuh dengan canda tawa.

Lalu setelah selesai makan Emma memutuskan untuk ke kamarnya. Emma langsung membaringkan dirinya dikasur yang empuk yang dia miliki.

Ketika Emma memejamkan matanya, perkataan temannya berdengung dikepalanya. Seperti tape recorder yang rusak. Berulang-ulang berputar, menggema di dalam kepalanya.
"Dasar anak miskin! Kampungan!"
"Ih, anak gadis kok kotor sekali!"
"Wah, sekolah kita tercemar dong. Udah gak elit lagi, nih!"
"Ah, tidak mungkin dia sanggup bersekolah disini!
"Sok pinter banget sih jadi orang!"
"Udah jelek,dekil, ceroboh, hidup lagi!"
Dan masih banyak lagi ejekan yang dilontar padanya.

Tak terasa, setitik air mata, menetes pada pipinya. Ia merasa bahwa memang sepertinya ia tidak pantas bersekolah ditempat elit itu. Ia juga tahu bahwa memang fisiknya juga pas-pasan. Keuangan juga pas-pasan. Rumah pun sudah tua, kumuh. Ia merasa kesepian. Ia merasa dirinya tak berharga. Ia merasa bahwa ia tak layak untuk hidup. Ia sering berpikir bahwa mati lebih baik.

Ia menatap bingkai foto yang ada disamping kasurnya. Sambil menatap foto itu ia berkata, "Papa, jika Papa masih hidup, pasti kami tidak akan kesulitan mencari uang. Hidup ini akan mudah seperti dongeng yang dulu diceritakan ibu padaku saat masih kecil. Pasti semuanya akan indah. Aku rindu Papa."
Seketika itu juga, air matanya mengalir lebih deras dari sebelumnya.

____________________

Haii!! Shien kembali lagi dengan cerita yang baru. Oh iya mengenai cerita yang ini, cerita ini mengandung unsur fantasi  walau genrenya petualangan, tapi lumayan banyak juga fantasinya.
Nah untuk nanti ada nama tempat, jalan, sekolah, dsb yang aku pakai, itu aku ngarang sendiri, jadi belom tentu ada di real life. Jangan dicari di gugel, gak bakal ada soalnya :v
Oh iya hampir lupa, kalau kalian suka cerita ini, masukin ke library/daftar bacaan kalian. Jangan lupa votes (tinggal klik bintang pojok kiri bawah) dan comment. Segala kritik saran bakal aku terima kok hehe..
Jadi sekian dari saya,
THANK YOU! 💕
-shien.

Not a Fairy TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang