Ga ada yang tau, ya? Adek gue emang hebat. Haahh~ kenapa dia harus naksir temen gue sih? Kan jadi ribet. Naksirnya ke playboy lagian.
🍁
Setelah itu, semua berjalan seperti biasa. Bahkan libur akhir tahun pun sudah hampir berakhir. Malam ini, Vin terlihat sedang menyampul buku tulisnya di ruang keluarga. Ditemani Nic dan kawan-kawannya. Orang tua nya? Hmm..jangan tanya, entah apa yang mereka lakukan sedari tadi di kamar. Adik-adiknya baru saja tertidur setelah ikut memberi sampul cokelat untuk bukunya walau baru selesai sebagian.
Vin terus saja fokus ahh-lebih tepatnya adalah berusaha tetap fokus melanjutkan pekerjaannya memberi sampul buku. Tidak menghiraukan lelaki di sampingnya yang berusaha memecahkan konsentrasinya.
Keadaannya sudah lebih baik daripada saat terbaring di rumah sakit. Jahitannya masih berbekas, dan tangannya masih memakai gips. Namun selebihnya Ale baik-baik saja. Bahkan sangat baik hingga bisa terus mengganggunya.
Flashback on 🍃
Nic hanya mendesah pelan, menyadari pemikirannya yang benar-benar tak berguna. Jika Vin bukan adiknya, Nic mungkin bersenang hati untuk tidak memikirkannya. Dan jika bukan karena orang tua Ale menitipkan anak laki-laki itu padanya, dia sudah pulang dari tadi. Dia juga tidak mungkin meninggalkan adiknya."Bego...kenapa ga mati aja sekalian? Kenapa cuma patah tulang doang?"
Terdengar suara lirih Vin saat Nic membuka pintu. Nic hanya berdehem keras, namun pura-pura tidak tau.
Di dalam kamar mandi, Nic mencuci mukanya, membasuh kepalanya, membiarkan air mengalir di lehernya hingga membasahi baju yang ia kenakan. Ia mengalungkan handuk di lehernya, mengusap rambutnya agar cepat kering.
"Yahh~aku bersyukur karena kamu ga mati. Jangan mati yaa, kamu punya hutang hati ke cewe. Untung cuma luka-luka sama patah tulang doang."
Nic kembali menajamkan pendengarannya, bersiap mendengarkan kalimat Vin selanjutnya. Namun tidak ada. Vin hanya bicara seperti itu.
Nic kembali menghembuskan napasnya, jadi pemikirannya benar bahwa adiknya benar-benar suka pada Ale.
Pintu terbuka, menampakan Ace yang membawa kantong plastik dengan bau sedap yang menguar memenuhi ruangan.
"Makan" ucapnya singkat. Dia meletakkan plastik itu di nakas dekat ranjang, lalu mendaratkan bokongnya di sofa.
"Makasih." Vin tersenyum kecil, tanpa mengalihkan tatapannya dari tangan kanan Ale yang terbalut gips.
"3?" tanya Nic saat mengeluarkan makanannya.
"Ya. Mungkin dia bakal bangun bentar lagi."
"Lo ngga?"
"Udah"
Setelah itu tak ada suara selain detik jam, tetes infus, dan helaan napas. Nic makan sehening mungkin. Ace duduk bersandar sambil memejamkan mata, mungkin terlelap. Dan Vin masih setia menggenggam tangan kiri Ale yang terhubung dengan kantung infus.
Saat Nic kembali dari kamar mandi untuk mencuci tangan, dia melihat Ace yang benar-benar terlelap sambil bersidekap dada. Vin juga tertidur dengan tangan yang masih menggenggam Ale. Seperti takut bahwa sedetik pun ia melepasnya, maka denyut nadi Ale akan menghilang. Nic duduk di samping Ace, ikut bersandar dan memejamkan mata.
"Argh.." suara erangan itu terdengar tepat pada pukul 02.00 dini hari.
Dia berusaha mengedarkan pandangannya, memperhatikan dan bertanya-tanya dalam diam dimana kira-kira dia berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Call Me Vin
Novela Juvenil"Kenapa sih bingung gitu? Panggil ya panggil aja, gausah ragu. You can call me Vin, like my family" "Of course i will. But I'll call you Az, and you can call me Panda as you wish" Yap, jarang bahkan tak ada yang memanggilnya Vin, kecuali keluarganya...