"Kamu mimpi mungkin." Ucap Ale dengan senyum manisnya, mengacak-acak rambut Vin.
Eh?
🍁
Eh? Mimpi?
Vin terdiam. Bukan karena efek sentuhan tangan Ale di kepalanya. Bukan karena senyum Ale yang mengalihkan dunianya. Bukan karena tawa pelan Ale yang terdengar merdu di telinganya. Tapi karena ucapan Ale yang menghantam kesadarannya.
Jika itu mimpi, maka dia menyukai Ale juga hanya di mimpi, bukan?
"Mimpi.." lirih Vin sambil menundukkan kepalanya.
Nic sudah pergi sedari tadi. Menyusul Ale yang jelas akan pergi ke kamarnya.
"Sialan! Masa mimpi sih?" Vin menggeram marah, menghempaskan tubuhnya ke kursi dan mengambil apel di meja.
Dia duduk dalam diam, menggigit apel di tangannya dengan emosi yang meluap-luap.
"Shit!" pekiknya marah saat melemparkan buah tak berdaya itu ke tempat sampah.
Vin bergegas naik ke kamarnya, mengambil kneepad (bantalan karet yang dipakai di lutut saat olahraga) di lemari. Dia memakainya tergesa-gesa. Mengambil kaus kaki dan sepatu lalu meluncur ke bawah.
Itu Vin, perempuan yang sedang berlari di lapang belakang rumahnya. Dia memakai hotpant hitam favoritnya, hoodie crop top yang juga berwarna hitam, dan sepatu juga kaos kaki hitam.
"VIN! Harus berapa kali daddy bilang?" Sentak laki-laki yang berdiri di ambang pintu.
Vin sontak menghentikan langkahnya, dia terdiam. Tentu, dia sudah menduga ayahnya akan marah ketika dia memakai pakaian minim seperti ini.
"Jangan pernah olah raga setelah makan! Tunggu 2 jam kalo mau olah raga!" Sambung laki-laki itu.
Vin mendongakkan wajahnya, menatap lurus ke depan, membalas tatapan laki-laki berumur 30an yang masih berdiri di ambang pintu tanpa ada niat menghampirinya.
"Pakaianmu juga, tentu saja. Kau hanya boleh memakainya di rumah. Atau saat tidak ada orang, selain daddy mommy Nic dan adik kembarmu." Ayahnya terkikik pelan, meninggalkan Vin yang menatapnya kesal. Sebenarnya walau hoodie yang dipakainya model crop, badannya tetap tertutup. Tentu, karena dia tidak melompat tinggi.
Namun Vin tersenyum kecil, balas terkikik, lalu berteriak "Hari ini pengecualian, Daddy!!"
Ya, benar, dia harus menenangkan dirinya sendiri. Jika itu adalah mimpi, maka dia akan menganggap perasaannya juga hanya mimpi.
🍁
Vin kembali melompat, memasukkan bola ke ring di depannya. Memungutnya, kembali menembak, lalu memungutnya lagi. Bermenit-menit, seperti itu.
Dia kembali mengerang frustasi. Jika olah raga tak bisa mendinginkan pikirannya, apa yang harus dia lakukan?
"Vincy.. denger.. itu semua cuma mimpi. Termasuk perasaan lo. Itu cuma mimpi, oke? Jangan dibawa ribet, jangan dibuat pusing, jangan dipikirin." Ucap Vin mensugesti dirinya sendiri.
"Haaa!! Tetep gabisaa!!" Teriaknya lagi.
Dia masuk ke dalam rumah, pergi ke tempat olah raga yang biasa dikunjungi ayahnya. Berdiri di sudut ruangan, menatap samsak yang tergantung. Itu pojok Vin, tempat yang sering ia datangi jika benar-benar tidak bisa mengalihkan pikirannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Call Me Vin
Teen Fiction"Kenapa sih bingung gitu? Panggil ya panggil aja, gausah ragu. You can call me Vin, like my family" "Of course i will. But I'll call you Az, and you can call me Panda as you wish" Yap, jarang bahkan tak ada yang memanggilnya Vin, kecuali keluarganya...