"Jangan ribut, ini rumah sakit." Ace mengingatkan kakak-adik itu.
Vin mendelik tajam, keluar dari ruang rawat dan berkata, "Huh, dasar!" sebelum dia menutup pintu dengan sedikit keras.
"Pubertas? Ah garing banget~" cecarnya dalam hati.
🍁
Vin terduduk di bangku kantin rumah sakit. Memikirkan perkataan Nic yang benar-benar aneh dan tak masuk akal. Puber? Emang aku remaja labil yang baru ngerasain cinta? rutuknya pelan.
Vin tersentak, menegakkan punggungnya. Tapi aku emang masih bocah sih, sebelas tahun. Tapi aku kan bukan remaja labil yang lagi jatuh cinta, lagian buat apa suka sama Ace yang lebih dingin dari es? Tapi emang sih, katanya kalo lagi jatuh cinta suka deg-degan gitu. Tapi semua orang deg-degan kan...soalnya kalo ga deg-degan berarti mati. Pikirannya saling berbantahan, berdebat tentang penyebab jantungnya berdegup kencang.
"Ah~pokoknya jangan deket-deket sama Ace. Lagian ngapain gitu kan suka sama Ace? Ale lebih keren kok. Yang saking kerennya sampe gabisa nolak cewe dan akhirnya malah masuk rumah sakit, nyebelin banget. Hm..sarkas."
Itu Vin, bicara pada diri sendiri seolah dia memiliki beberapa jiwa dalam satu raga. Kadang memuji diri sendiri, atau bahkan memarahi diri sendiri. Beberapa perawat yang melihatnya hanya menggelengkan kepala. Mungkin berpikir bahwa Vin itu agak gila, atau yang lebih baik adalah menganggap Vin dapat melihat sesuatu yang tak terlihat.
"Tidur, Vin." Suara rendah Ace menyela pikirannya yang masih berlari entah kemana.
Vin meliriknya sekilas "Udah"
"Ish, bocah" Ace bergeser, mendekat ke arahnya.
Vin melotot, wajahnya panik, "Jangan deket-deket, mesum!"
"Mesum apaan coba.." sanggah Ace tak terima. Sungguh, di antara semua sebutan untuk laki-laki, Vin memilih kata 'mesum' untuknya?
"Leher sampe lutut itu cuma boleh dipegang diri sendiri, ibu, sama dokter. Dan dokter juga kalo bener-bener harus, jadi itu termasuk terpaksa."
Ace menaikkan sebelah alisnya, namun mempertahankan wajahnya agar tetap datar tak berekspresi. "Yang tadi?"
"Iya! Jangan deket-deket! Nanti aku bilangin ke Vic!" Vin beringsut mundur sambil mengacungkan tangannya.
"Biasanya juga bilangin ke daddy, tumben ngadunya mau ke Nathan."
"Biarin! Bentar lagi Vic bakal pulang!" Balasnya berapi-api, bahkan dia sendiri tak sadar jika suaranya bergema.
"Jangan teriak, bodoh!" Ace membekap mulutnya, menatapnya tajam tapi tetap tak merubah ekspresinya.
Vin meronta, berusaha melepaskan dekapan Ace di bahunya, "Masih gelap, balik ke ruangan Aleasem."
Vin merutuk dalam hati, harusnya pergi ke toilet, bukan ke kantin."Jangan alesan ke toilet, di ruangannya ada toilet"
Oh oke, ketauan. Sial banget bareng si panda kampret, gada lucu-lucunya kayak panda apalagi gemesin kayak panda. rutuk Vin dalam hati
Sekarang giliran tangannya yang tak bisa lepas dari Ace. Dia menggenggam tangan Vin erat, seolah menggenggam anak kecil di kerumunan pasar. Dan sialnya, jantung Vin berdegup lagi. Degupan yang baru pernah ia rasakan selama hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Call Me Vin
Teen Fiction"Kenapa sih bingung gitu? Panggil ya panggil aja, gausah ragu. You can call me Vin, like my family" "Of course i will. But I'll call you Az, and you can call me Panda as you wish" Yap, jarang bahkan tak ada yang memanggilnya Vin, kecuali keluarganya...