Genggam Tanganku : 1. Hanya Teman

34K 2K 96
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Mencari teman itu mudah, mencari sahabat yang susah, apalagi sahabat yang mau membersamai kita untuk menggapai ridha-Nya agar kelak dapat berkumpul di jannah-Nya. Ya, setidaknya begitu menurutku.

Aku kembali mengecek ponselku, orang yang kutunggu tak kunjung datang. Sudah hampir setengah jam aku menunggu sambil meminum segelas jus alpukat di tempat makan di dalam mal.

Aku duduk di meja kedua setelah pintu masuk. Tak lama, empat orang perempuan masuk, melewatiku begitu saja. Mereka temanku. Teman sekelas. Tapi anehnya, mereka seakan-akan tidak kenal denganku saat berada di luar area sekolah. Aku juga beberapa kali mencoba menyapa mereka lebih dulu, tapi yang kudapat hanya lirikan mata tanpa ekspresi di wajah. Miris? Tidak juga.

Padahal saat kelas X, hubungan kami begitu dekat. Ya, kami berlima, aku dan empat orang temanku itu. Kami pernah membuat sebuah geng. Dari keempat temanku di geng itu, aku paling dekat dengan Nazla. Orangnya sangat ekspresif, walau terkadang dia suka tidak jelas. Aku selalu duduk dengannya. Berbagi makanan dengannya. Yah, seperti itulah. Aku menganggap mereka sahabat, saat itu.

Kami bisa dekat karena kami sama-sama menyukai K-pop. Kami mulai membicarakan tentang  boyband dan girlband dari Korea Selatan itu saat istirahat atau saat tidak ada guru di kelas. Lalu Yumna membuat grup di media sosial dengan lima orang aggota, yaitu aku, Diah, Dinda, Nazla, dan juga Yumna. Kami membahas hal apa pun. Mulai dari Korea, teman sekelas, anak kelas sebelah, kakak kelas, dan hal-hal lain. Semuanya terasa menyenangkan.

Kami juga setiap minggu selalu berkumpul, terkadang di rumah Nazla, atau di rumah Yumna, walaupun aku selalu dimarahi Mama saat hendak pergi main, aku tetap berangkat. Mama pasti bilang, "Kamu itu jangan main terus, Ra. Bantu Mama beres-beres rumah, dong. Punya anak gadis kok gak bisa diandalin," dan beberapa kalimat lain. Padahal aku main juga seminggu sekali, sisanya sekolah, pikirku.

Hal yang sudah pasti dan harus kami lakukan saat berkumpul adalah bergosip. Tiada hari tanpa bergosip. Pokoknya tiada hari tanpa membicarakan orang lain. Yumna yang memiliki banyak kenalan di sekolah, baik satu angkatan atau pun kakak kelas selalu punya banyak hal untuk diperbincangkan. Saat topik yang sedang dibahas seru, tak jarang kami mengumpat atau mencela orang yang sedang kami bicarakan. Itu semua hal biasa.

"Assalamu'alaikum. Ih, Adira, maaf ya aku telat," ucap Balqis yang sekarang berdiri di depan meja.

"Wa'alaikumussalam. Iya, aku maafin, tapi kamu yang harus bayarin minuman aku."

Balqis menyeka keringat di dahi. "Iya, nanti aku yang bayarin." Balqis lalu duduk di sampingku. Dialah orang yang aku tunggu dari tadi.

"Dir, kamu udah beliin tiketnya belum?" tanya Balqis setelah dia memesan minuman untuk dirinya sendiri.

"Belumlah! Nanti aku udah beli tiket kamunya malah gak jadi dateng. Kan kamu itu sering banget ngebatalin rencana tiba-tiba," jawabku. Hampir saja emosi.

Balqis menunduk. "Iyadeh."

"Yaudah, habis dari sini langsung beli tiketnya, ya. Nanti gak kebagian tempat di belakang lagi," ucap Balqis. Aku hanya mengangguk.

Kulirik rombongan Yumna, mereka sedang tertawa terbahak-bahak. Entahlah sedang apa. Kenapa juga aku harus peduli?

Setelah Balqis selesai, dia mengajakku ikut ke kasir. Aku menolak. Menyuruh dia sendiri saja, lagipula aku tidak perlu membayar apa pun karena Balqis yang akan membayari minumanku. Sebenarnya ini hanyalah alasanku agar tidak berpapasan dengan rombongan Yumna lagi.

"Eh, tadi ada rombongan Yumna juga, ya?" Balqis menepuk bahuku. Kami sedang berjalan menuju tempat penjualan tiket bioskop.

"Hm."

"Tadi aku sempat nyapa mereka, tapi gak dibales. Gak tau sih kenapa, mungkin mereka gak dengar kali, ya," ucap Balqis lagi.

Aku mengedikkan bahu, tak tahu.

Jam tayang film yang akan kami tonton masih sekitar satu jam lagi, habis dzuhur. Kami memutuskan untuk mengelilingi mal sebentar, lalu shalat dzuhur. Kami masuk ke sebuah toko berisi tas, sepatu, gelang, kalung, gantungan kunci, anting, dan hal-hal lain yang berbau fashion.

Balqis ingin aku membeli barang yang sama dengannya. Katanya biar couple. Aku menurut saja. Lagipula tidak ada salahnya, kan?

Aku berjalan di belakang Balqis sambil melihat-lihat isi toko. Pandanganku lalu terpaku ke arah pintu masuk. Rombongan Yumna terlihat memasuki toko sambil masih tertawa sesekali.

Ya ampun! Kenapa mereka juga harus masuk ke toko ini? Tapi untungnya mereka tidak menuju ke bagian gelang yang sedang kami lihat-lihat. Mereka memilih menuju ke bagian tas dan sepatu. Aku kembali melanjutkan aktivitasku yang sempat tertunda karena kedatangan mereka, yaitu melihat-lihat.

"Qis, udah nemu belum gelang yang sama dua biji?" Aku mulai kesal. Daritadi Balqis hanya berputar-putar, tapi belum mendapatkan hasil.

"Ish, sabar. Belum ada yang bagus."

Aku menghela nafas, kembali melihat-lihat.

Lelah, kakiku pegal. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk, sambil melihat Balqis yang masih berputar-putar di area gelang. Masih belum menemukan yang bagus menurutnya. Tak lama, Balqis berjalan ke arahku, wajahnya terlihat sangat antusias. "Dir, ini bagus, gak? Gak bagus, ya? Iya, ih! Inimah gak bagus. Bahannya juga jelek, kayaknya bakal cepat rusak. Mau yang ini gak, Dir? Eh, tapi kan ini jelek ya. Mahal juga. Berarti gausah, ya." Aku yang ditanya hanya mengangguk. Ingin rasanya mengomeli Balqis, untuk apa dia bertanya kalau akhirnya dia juga yang menjawabnya sendiri?

Pandanganku lalu beralih ke area sepatu dan tas. Yumna dan kawan-kawan sudah tak ada lagi disana. Mataku segera melihat ke seluruh arah yang dapat kujangkau. Ya ampun! Yumna dan kawan-kawan berjalan ke area gelang.

Aku segera berdiri, berlari kecil agar tidak menarik perhatian, walaupun beberapa orang tetap melihat ke arahku. Sampai di tempat Balqis, aku segera menarik tangan Balqis. Balqis tersentak, lalu segera melepaskan tangannya dari genggamanku. "Apasih, Dir? Kok tiba-tiba narik-narik. Sabar, bentar lagi ketemu gelang yang bagusnya."

"Rombongan Yumna jalan ke arah sini. Cari tempat lain aja, yuk! Pasti ada gelang yang lebih bagus." Aku sudah mulai cemas.

"Yaudah, biarin. Emangnya kenapa kalau rombongan Yumna ke arah sini. Mungkin aja mereka mau ikut cari gelang couple juga." Balqis masih belum mau kuajak pergi. Aku menghela nafas. Benar-benar kesal. Aku menggelembungkan pipiku. Segera berbalik arah menuju pintu masuk sebelum Yumna dan kawan-kawan sampai di area gelang dan melihatku. Huft, hampir saja. Aku segera mencari tempat duduk, tadi banyak orang yang melihatku lari-lari keluar.

Aku memilih memainkan ponselku, membuka notifikasi yang masuk. Sampai akhirnya Balqis keluar dari toko. Mataku langsung menatap wajah Balqis yang terlihat sangat senang.

"Mana gelangnya? Sini lihat!" ucapku saat Balqis sudah berdiri di depanku. Balqis lalu memberikan paperbag kepadaku. Saat membukanya bola mataku langsung membesar, mulutku terbuka. Aku lalu menatap Balqis meminta penjelasan, apa maksudnya ini?

Balqis hanya cengar-cengir.

Aku tak bisa berkata-kata, Balqis bilang ingin membeli gelang biar bisa couple. Tapi yang ada di dalam paperbag bukanlah dua buah gelang yang sama, melainkan dua buah gantungan kunci. Mana bentuknya Hello Kitty lagi. Astaghfirullah! Rasanya aku benar-benar ingin mengomeli Balqis. Untung saja aku sayang kamu, Qis.

***
1 Dhu'l-Qi'dah 1439H
Penulis : Sabrina Arum Cahya ( Naariu )

MahabbahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang