بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Hatiku berdesir saat kaki ini mulai berpijak pada hamparan tanah. Angin berhembus menerpa wajah seakan mereka tengah menyambut kedatanganku. Percaya tidak percaya aku berhasil menapakan kakiku di tempat ini.
Di depanku berdiri kokoh bangunan berlantai dua dengan cat berwarna putih. Banyaknya pepohonan di sekitar bangunan membuat kesan asri dan ramah lingkungan.
Seseorang menggenggam tanganku dengan erat, "Ibu yakin ini keputusan terbaik untukmu," ucapnya karena menangkap ketegangan yang tergambar dari wajahku.
Perlahan aku mulai mengangguk. Ya, ini keputusan yang terbaik untukku. Aku tidak ingin terus terjerumus kedalam lubang yang akan menghancurkan hidupku. Aku akan mencoba melangkah sedikit demi sedikit untuk meninggalkan kehidupan yang selama ini membelengguku.
Mataku terasa memanas, ada sesuatu yang ingin menerobos dari pelupuk mataku. Aku berusaha dengan keras untuk menghadangnya, aku takut ibu ikut besedih jika aku harus menangis di depannya. Tapi pertahananku gagal tanpa rasa malu yang sedari tadi aku tahan akhirnya air mata berhasil menetes tanpa permisi.
Aku menghambur memeluk ibu dengan kata maaf yang terus terucap dari bibirku. Maaf karena aku selalu menyusahkannya, maaf karena aku tidak menuruti perkataannya, maaf karena aku pernah membohonginya, maaf karena aku membuatnya kecewa, dan maaf karena aku selalu buta atas kasih sayangnya.
Aku meraih tangan kanan ibuku menciumnya dengan penuh rasa ta'dzim. Aku merasakan tangan kiri ibuku mengusap puncak kepalaku dengan lembut.
"Baik-baik di sini yah Naf, kamu harus nurut sama guru kamu di sini karena sekarang mereka adalah orang tuamu juga. Fokus mencari ilmu, maka kamu seperti orang yang sedang berjihad. Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang."
Aku mengangguk kelu tanpa bisa berkata apa-apa lagi dengan air mata yang terus saja mengalir. Mataku terpejam saat ibu mencium seluruh sudut wajahku.
"Jaga kesehatan ya sayang."
"Iya Bu."
Aku kembali mencium tangan Ibu sebelum Ibu benar-benar akan meninggalkanku di sini.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Terasa berat dan sesak saat menyaksikan ibu telah pergi dengan menaiki ojeg online yang sedari tadi menunggu. Ini memang bukan kali pertama aku berjauhan dengan ibu, tapi tetap saja ini tidak mudah untuk aku lewati. Apalagi mengingat Ayahku yang sedang sakit di rumah yang menyebabkan beliau tidak bisa mengantarkanku. Dengan usia yang tidak muda lagi Ayah jadi sering sakit-sakitan dan karena itu juga aku pernah mengalami dunia kerja yang membuatku sakit jika mengingatnya.
Aku tersentak kaget saat tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku. Baru saja aku akan menegurnya karena telah membuatku terkejut, dia malah membuatku terperangah dengan menampilkan senyum yang manis dan lesung pipitnya. Wajahnya terlihat bercahaya dengan hidung mancung semakin menambah kecantikannya.
"Assalamu'alaikum, Teteh santri baru ya?" tanyanya dengan suara yang terdengar merdu di telingaku.
"Wa'alaikumussalam, I...iya," jawabku terbata-bata karena sungguh ini membuatku sangat gugup. Aku sama sekali tidak mengenal satu orang pun di sini.
"Yuk teh, saya anter ke rayonnya. Tadi ketua pengurus bilang akan ada santri baru dari Bogor. Teteh dari Bogor kan?"
Aku sedikit bingung dengan perkataannya. Dia akan mengantarkanku kemana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahabbah
SpiritualKebahagiaan yang tak dapat dinilai oleh materi adalah ketika kau dapat melabuhkan cintamu hanya kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan mencukupi segala kebutuhanmu. ______________ Berisi lebih dari satu cerita yang ditulis oleh beberapa penulis...