Genggam Tanganku : 3. Berakhir

10.3K 1.1K 52
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Dugaanku benar. Entah kenapa, aku mulai merasa hubungan pertemanan kami semakin renggang, kecuali antara aku dan Nazla. Apa mungkin karena aku tidak bisa ikut kumpul selama sebulan kedepan? Hey! Tapi itu hanya sebulan dan aku juga sudah memberitahu mereka perihal diriku yang tidak diizinkan keluar rumah. Entahlah, aku tidak mau terlalu memusingkannya, yang penting aku masih dekat dengan Nazla.

Aku masih dekat dengan Nazla bisa jadi karena kami teman sebangku. Bisa saja Nazla pindah duduk dengan Yumna, tapi dia tetap memilih duduk denganku. Tugas sekolah juga semakin menumpuk, mungkin karena ini sudah mendekati akhir semester. Ya, itu juga artinya aku akan segera naik ke kelas XI. Dengan hubungan kami yang semakin merenggang, aku berharap tidak sekelas lagi dengan mereka. Mungkin aku terlihat pengecut, lari dari masalah. Tapi sesungguhnya aku juga tidak mengetahui dimana letak masalah di dalam hubungan kami.

Aku memang berteman dengan semua orang di kelas, tapi tidak sedekat pertemananku dengan gengku ini. Seperti yang sudah kubilang, mereka sudah kuanggap sahabat. Tempatku mencurahkan masalahku. Mencurahkan isi hatiku. Mencurahkan kegelisahan yang sedang aku alami, dan hal lainnya.

Aku bukanlah tipe orang yang bisa dekat dengan siapa pun. Apalagi semenjak aku kelas 4 SD, aku sangat menjaga jarak dengan teman laki-lakiku. Yah, sebenarnya Mama yang melarangku untuk tidak bermain dengan teman laki-lakiku di rumah. Alasannya hanya satu, yaitu agar aku tidak ketularan nakalnya karena ada salah satu teman laki-lakiku di rumah yang pernah ketahuan sedang memaling uang. Jadi semenjak itu, aku juga mulai merasa kurang nyaman apabila terlalu dekat dengan lawan jenis.

Dan tak terasa, akhir bulan sudah menyapa. Hubungan pertemanan kami tidak memiliki kemajuan semili pun. Bahkan semakin buruk. Aku bahkan berencana untuk keluar dari grup di media sosial. Aku sudah tak tahan.

Dan akhirnya, yang kulakukan adalah meminta maaf. Tepat sehari sebelum kami Ujian Kenaikan Kelas, setelah berpikir matang-matang, berdebat dengan hati dan logikaku. Aku memutuskan untuk meminta maaf. Dengan segenap penyesalan akan hubungan kami yang semakin memburuk, aku meminta maaf lewat pesan di grup kami.

Aku juga bertanya kepada mereka, apakah aku punya salah? Kenapa kalian seperti menjauhiku? Apakah karena aku mulai dekat dengan Balqis? Tapi kan aku dekat dengannya karena kalian mulai menjauhiku, jadi aku mohon beritahu aku dimana letak kesalahannya. Tapi tidak ada satu orang pun yang menjawab pertanyaanku itu, dan mereka juga bilang sudah memaafkanku. Kupikir tidak apa pertanyaanku tidak terjawab, setidaknya mereka sudah memaafkanku, terlepas itu ikhlas atau tidak.

Entahlah, aku tidak menemukan titik terang dengan masalah ini. Jadi setelah meminta maaf, aku izin mengundurkan diri dari dalam grup. Aku segera keluar dari grup setelah memastikan semua anggota membaca pesanku. Dan kalian tau apa yang terjadi? Kami tidak pernah berbicara lagi jika memang tidak sangat dibutuhkan. Mungkin aku egois atau apalah, tapi ini sudah bulat keputusanku. Dan dari situ juga, aku mulai memutuskan untuk hijrah, walau belum serius setidaknya aku mulai mencoba untuk meninggalkan dunia Korea secara perlahan dan mulai mengikhlaskan yang terjadi dengan kisah pertemananku ini.

Setelah aku keluar dari geng. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meninggalkan dunia Korea. Aku memang tidak terlalu fanatik. Aku hanya menyukai lagu-lagunya dan beberapa drama koreanya. Aku tidak pernah tertarik untuk membaca cerita fanfiction mengenai artis-artisnya, tidak pernah tertarik akan hal itu.

Tapi lagu-lagu dan film-film itu sungguh melekat di kepalaku. Seperti tidak mau hilang. Dan keinginanku untuk melupakan boyband dan girlband itu juga berdekatan dengan debut yang akan dilaksanakan oleh salah satu girlband favoritku. Jadi aku selalu menunda-nunda hijrahku. Selalu bilang, "Nanti hijrahnya, tunggu girlband ini debut, tunggu boyband ini debut." Selalu begitu sampai enam bulan lamanya. Seperti penyakit, sembuh lalu kambuh lagi, sembuh lalu kambuh lagi, begitu terus. Sampai suatu hari aku kembali mendapatkan hidayah dari Allah untuk yang kesekian kalinya. Aku memutuskan benar-benar hijrah.

***

"Dir! Kok ngelamun, sih?" Balqis menepuk pundakku, untung saja aku bukan orang yang mudah terkejut, jadi tidak kaget. 

"Gatau, nih. Tadi aku tiba-tiba keinget sama Yumna dan kawan-kawan." Aku kembali menopang daguku dengan satu tangan di atas meja. Kami sedang ada di kantin, sebenarnya ini sudah jam pulang, tapi Balqis minta ditemanin makan karena lapar. 

"Kenapa lagi sama Yumna dan kawan-kawan?" Balqis kembali menyedot minumannya, menyisakan sisa setengah gelas. 

"Aku jadi inget, kok aku sama mereka bisa sampe kayak gini, ya? Padahal kan dulu kita dekat banget. Tiap minggu ketemu, tiap istirahat bareng. Tapi aku masih gak ngerti kenapa kita bisa sampe kayak gini."

"Ya jangan diinget dong." 

Aku memukul tangannya. "Aku juga gak mau ngingetnya kali, tapi ini tuh sering banget keinget sendiri, bengong sedikit inget, lagi sendiri inget, lagi nyuci piring aja keinget, untung piringnya gak pecah. Hebat gak, tuh?" 

"Biasa aja. Gak ada hebat-hebatnya." 

Uh, jadi pengin nyemplungin Balqis ke selokan depan rumah. Bukannya bikin kebingungan aku sirna malah bikin kesal. Aku menyedot minuman di gelasku, kemudian menatap Balqis lagi. "Qis, kira-kira kenapa ya hubungan aku sama Yumna dan kawan-kawan bisa sampe jauh banget kayak gini? Bahkan saat aku masih ada di dalam grup aja mereka berempat udah bikin geng lagi, dan secara terang-terangan ngomongin hal itu di depan aku. Apa mereka gak tau aku sakit hati ngedengarnya? Padahalkan aku sudah anggap mereka sahabat," aku bertanya lagi untuk kesekian kalinya. Memang benar, dalam sebulan saat hubungan kami renggang, entah sengaja atau tidak, Yumna pernah membahas perihal geng baru mereka berempat. 

"Kok kamu nanya aku? Kan aku gak pernah masuk dalam geng itu dulu."

"Ih! Balqis!" Balqis hanya nyengir memunculkan gigi gingsulnya yang membuatnya terlihat manis. 

Balqis kemudian menyentuh tanganku yang tidak aku gunakan untuk menopang dagu. "Udah ketetapan Allah, Dir. Mungkin menurut Allah mereka bukan teman yang baik buat kamu. Mungkin, mungkin nih ya, kamu anggap mereka sahabat, tapi bisa aja mereka cuma anggap kamu sebatas teman seper-fangirl-an. Itu cuma kemungkinan menurut aku, ya, jangan masukin hati. Kamu ambil hikmahnya aja, toh sekarang setelah kamu menjauh dari mereka kamu jadi rajin shalat dhuha, kan? Jadi rajin puasa sunah senin-kamis, kan? Kamu juga kan yang suka nelponin aku di sepertiga malam supaya aku bisa bangun tahajjud. Ya, kan?"

Aku mengangguk, tersenyum membenarkan.

"Coba nih aku tanya. Dulu pas kamu masih satu geng sama mereka, apa pernah terbesit di hati kamu untuk shalat dhuha pas istirahat?" Aku menggeleng. Sedih mengingatnya. 

Balqis kembali melanjutkan,"Lagian gak kamu doang yang dapet hikmahnya. Aku juga dapet." Aku mengernyit, seolah bertanya, kamu dapat hikmah apa? 

"Dengan hijrahnya kamu, aku jadi punya teman hijrah juga. Aku jadi punya penyemangat disaat iman aku mulai turun. Kamu juga jadi penyemangat aku disaat aku mulai gak tahan sama godaan dunia dan mulai berpikir untuk menyerah dari hijrahku. Jadi kamu gak usah terlalu mikirin masa lalu kamu, biarin itu tetap di belakang. Ditengok sesekali boleh, ikhlasin, jadiin pelajaran. Jangan karena masa lalu itu hijrah kamu jadi jalan di tempat. Gak ada kemajuan. Bukannya kita udah janji bakal jalan beriringan sampai jannah-Nya? Saling mengingatkan satu sama lain jika mulai lemah dalam ibadah? Saling menegur jika mulai berbelok? Jadi aku mohon sama kamu untuk fokus aja sama masa depan, fokus sama akhirat. Oke? Dan jangan pernah lupa, ada aku disini yang akan selalu sayang sama kamu, yang akan selalu ada di sisi kamu, yang akan selalu menemani kamu bahkan di saat dunia meninggalkan dan menjauhi kamu. Ingat itu." 

Aku langsung memeluk Balqis, terharu. Aku tak bisa berkata lagi untuk membalas perkataannya barusan. Aku tidak menyangka Balqis yang hampir setiap hari membuatku kesal ternyata begitu menyayangiku sebagai sahabatnya. 

Iya, Qis, aku akan berusaha menepati janjiku agar selalu berjalan beriringan denganmu sampai ke jannah-Nya. Pelukanku semakin erat. 

"Dir! Woi! Sesek, nih!" 

***

6 Dhu'l-Qi'dah 1439H
Penulis : Sabrina Arum Cahya ( Naariu )


MahabbahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang