Genggam Tanganku : 4. Sedikit Perubahan

8.1K 939 25
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Keadaan kelas hening. Hampir semua fokus pada materi yang sedang dijelaskan Bu Suti di depan kelas, termasuk aku. Tapi tidak dengan Balqis, anak itu malah asik mewarnai gambar yang tadi pagi aku buat. Sesekali aku menyenggol tangannya. Ingin memberitahu bahwa kalau sampai dia ketahuan Bu Suti tidak memperhatikan pelajaran, bisa-bisa dia tidak boleh mengikuti ulangan bab ini. Begitulah Bu Suti, mungkin terlihat kejam, tapi aku yakin itu juga demi kebaikan kami, murid-muridnya.

Semenjak hijrah pandanganku terhadap guru-guru juga mulai berubah. Tadinya aku paling benci dengan guru yang selalu memberi tugas tapi tidak pernah memberi nilai di buku tulis kami, aku benci guru yang tidak pernah menjelaskan dan hanya menyuruh anak muridnya presentasi di depan kelas, aku benci guru yang selalu menyuruh kami mencatat padahal kami sudah memiliki buku paketnya. Kalau dihitung-hitung, masih banyak jenis-jenis guru yang aku benci dulu, sebelum aku hijrah. Tapi sekarang aku mulai mencoba berpikir positif, bahwa bagaimana pun cara guru mengajar, niatnya tetap baik, yaitu membagi ilmu yang dimilikinya, dan membimbing kami menjadi pribadi yang mandiri, disiplin, bekerja keras, dan berani. Ya, aku mencoba agar selalu berpikir seperti itu terhadap guru-guru yang mengajarku. Aku mencoba untuk menghargai setiap guru, baik yang mengajarku atau pun tidak, toh guru adalah pahlawan, pahlawan tanpa tanda jasa.

Pelajaran Bu Suti akhirnya berakhir, aku sudah menahan lapar sedari tadi karena belum sempat sarapan. Setelah Bu Suti keluar kelas, aku segera menarik tangan Balqis yang sudah selesai mewarnai, menuju ke kantin.

Aku memesan nasi goreng dan es teh sedangkan Balqis memesan bakso dan es jeruk. Kami lalu mencari tempat duduk.

"Eh, Qis. Masa ya, beberapa hari yang lalu aku ngedengar lagunya Blackpink yang Stay, masa aku masih inget. Padahal terakhir kali aku denger lagu itu kan lebih dari enam bulan yang lalu. Terus lagunya terngiang-ngiang terus di kepalaku. Terus parahnya lagi, kan aku udah coba ngaji buat ngilangin tuh lagu dari kepala aku. Tau gak, sih? Pas mau jalan ke kamar mandi buat mandi sore, tanpa sadar aku nyanyiin lagi itu lagu. Gimana coba?" ucapku panjang lebar bercerita ke Balqis.

"Gak gimana-gimana."

Brak!

"Ups!" Aku menutup mulutku. Semua orang langsung melihat ke arah meja kami. Aku segera minta maaf karena telah membuat keributan. Habisnya kesal sama Balqis.

"Kamu ngapain sih, Dir? Sampai gebrak-gebrak meja segala. Bikin malu aja, deh."

"Ya kamu itu, aku cerita masa tanggepannya gitu doang. Gimana coba kalau aku jadi K-popers lagi?" tanyaku.

Balqis yang sedang memainkan ponselnya segera menatapku intens. "Gak usah berlebihan deh, Dir. Kamu cuma dengar hari itu aja, kan? Kamu gak tau apa? Adek aku si Najma itu udah jadi K-popers. Kamu bayangin coba! Setiap hari aku harus dengarin lagu-lagu Korea itu. Sekuat tenaga aku nahan godaan untuk gak ikut nyanyi saat adek aku nyanyi. Dan kamu tau, gak?! Ibu aku juga sekarang jadi suka drama Korea!" Balqis berucap berapi-api. Urat-urat di pelipisnya sampai menonjol, matanya juga seperti hampir keluar.

"Biasa aja dong ceritanya, itu mata sampe mau keluar." Aku tertawa. Tak lama makananku dan Balqis datang. Kami segera memakannya dengan lahap. Laparku yang sempat hilang karena mendengar perkataan Balqis tadi sudah kembali, perutku segera minta diisi.

Tapi benar juga, aku jadi merasa hijrahnya Balqis dari Korea itu jauh lebih sulit daripada diriku. Sebenarnya dulu dialah yang mengenalkan Korea kepada adiknya, kalau masalah ibunya aku yakin karena ibu Balqis menonton drama Korea di televisi.

MahabbahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang