بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Hari minggu, hari yang biasanya aku gunakan untuk bermain bersama teman se-gengku. Aku sudah bersiap-siap, memakai celana joger berwarna pink, baju dengan motif kelinci terbalik berwarna coklat dan putih, serta kerudung instan berwarna pink.
Setelah siap, aku mulai memanaskan motor, berpamitan, lalu berangkat. Aku masih 16 tahun, seharusnya belum diperbolehkan mengendarai kendaraan bermotor, tapi siapa peduli? Toh, orangtuaku tak melarangnya. Malah menyuruhku membawa motor ke sekolah.
Hari ini aku akan ke rumah Nazla. Rumahnya cukup jauh, tapi aku sudah memastikan bahwa aku tidak akan bertemu polisi di perjalanan. Aku mengemudikan motorku dengan kecepatan standar. Jalanan lengang. Akhirnya kutambah kecepatannya hingga 80km/jam. Sudah pasti ngebut, tapi sensasi yang dihasilkan sangat menyenangkan! (Mohon jangan ditiru!)
Tiba di rumah Nazla, ternyata aku telat. Akulah yang datang paling akhir. Aku segera bergabung, ternyata mereka sudah punya topik pembicaraan yang seru. Kakak kelas. Aku sebenarnya kurang berminat dengan topik itu. Jadi aku hanya mendengarkan sambil memainkan ponsel, jika diperlukan aku ikut ber-hm sesekali.
Topik lalu beralih, membahas teman sekelas kami. Aku mulai semangat. Apalagi yang dibahas adalah orang yang memang kurang aku sukai. Teman sekelasku, namanya Fadlan. Aku kesal sekali dengan orang itu. Menurutku dia itu adalah pembawa virus di kelas. Gara-gara kemalasannya yang jarang sekali mengumpul tugas, membuat anak laki-laki lain di kelas mengikutinya. Terkadang membuat guru yang mengajar marah sampai mengancam tidak mau mengajar lagi di kelas kami.
Lalu beralih lagi ke teman perempuanku. Kami berlima bahkan kurang menyukainya. Alasan kami berlima kurang menyukainya adalah satu, karena dia itu pelit. Dia suka meminta makanan yang kami punya, tapi disaat dia punya makanan. Ya ampun! Bahkan saat kami datang dia langsung menyembunyikan makanan itu. Padahal belum tentu kami ingin meminta makanannya. Atau di saat ulangan harian, dia suka bertanya hal-hal yang menjurus ke jawaban, tapi dia memodivikasi pertanyaannya sedemikian mungkin agar teman-temanku tidak curiga dan mau menjawabnya. Tapi jika temanku yang lain ingin bertanya, dia selalu pura-pura tidak mendengar, walaupun kita sudah menyentuh bahunya, dia hanya menengok sebentar lalu bilang, "Nanti, masih sibuk." Dan tak lama kemudian dia mengumpulkan kertas jawabannya tanpa memedulikan teman lain yang hendak bertanya kepadanya tadi. Aku paling kesal saat seperti itu. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak menyadarinya. Jadi jika dia bertanya kepadaku, bahkan saat pertanyaannya belum selesai, aku langsung menjawab, "Gak tau." Biar, biar tahu rasa!
Kami berlima pun sepakat jika teman perempuan kami di kelas yang pelit itu bertanya kepada kami saat ulangan, maka kami tidak boleh menanggapinya. Baik dia bertanya tentang soal maupun tentang hal lain, selagi itu masih di waktu ulangan, maka tidak ada yang boleh menjawab pertanyaannya.
Tak terasa, sayup suara adzan terdengar. Kami lalu mulai mengambil wudhu, dan melaksanakan shalat dzuhur masing-masing. Setelah selesai, Dinda mengajak mencari makan. Akhirnya kami semua berjalan ke arah cafe di dekat rumah Nazla, tapi sayang cafe-nya tutup. Akhirnya kami hanya membeli bakso dan es teh. Dibungkus, lalu makan bersama di rumah Nazla. Orangtua Nazla sedang pergi, jadi kami tidak perlu malu-malu. Yah, tidak perlu menjaga image, bisa dibilang seperti itu.
Pukul dua siang, aku pulang. Mama mengirimiku pesan dan sepertinya Mama sudah marah besar karena aku main terus, padahal menurutku tidak. Saat di jalan, aku sudah memikirkan kira-kira Mama akan mengomeliku dengan kalimat seperti apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahabbah
SpiritualKebahagiaan yang tak dapat dinilai oleh materi adalah ketika kau dapat melabuhkan cintamu hanya kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan mencukupi segala kebutuhanmu. ______________ Berisi lebih dari satu cerita yang ditulis oleh beberapa penulis...