بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Aku bersungut-sungut, kesal. Kenapa juga aku harus sekelompok dengan Yumna? Ditambah Diah dan Dinda juga. Pasti saat latihan nanti, telingaku akan terkontaminasi dengan hal-hal berbau Korea. Mana aku tidak sekelompok dengan Balqis. Bikin tambah kesal.
"Jadi kita mau latihan dimana minggu ini?" tanya Reyhan, ketua kelompok kami yang dipilih langsung oleh guru.
"Di cafe aja." Dinda memberi usul.
"Cafe mana?" tanya Cindy, salah satu teman sekelasku yang untungnya bukan seorang K-popers, jadi aku masih ada teman satu aliran di kelompok ini.
"Ada cafe dekat rumah aku, cafe-nya lumayan besar buat kita latihan. Mau gak?" jawab Dinda.
Reyhan menyela, "Tapi Din, kita kan banyak yang gak tau rumah kamu dimana."
"Ya tinggal tanya aja alamatnya, terus cari di google maps. Susah amat jadi orang." Mulut pedasnya Diah mulai bersuara. Yumna ikut menimpali, "Lagian cafe itu juga punya keluarga Dinda, lho. Yakin gak mau disana aja?
Ya terus kenapa gitu kalau itu cafe punya keluarga Dinda? batinku.
"Udahlah, di sekolah aja latihannya. Kalau udah masuk waktu shalat juga enak, ada mushala." Aku akhirnya bersuara.
"Nah, ini aku setuju," ucap Cindy setuju dengan pendapatku. Anggota lain juga ikut mengangguk menyetujui. Akhirnya Reyhan memutuskan bahwa kami akan kerja kelompok di sekolah akhir pekan nanti. Aku melihat wajah Dinda, wajahnya terlihat kesal karena pendapatnya tak disetujui.
Setelah penentuan dimana kami akan kerja kelompok, selanjutnya Reyhan memberitahu barang-barang apa saja yang akan kami bawa untuk membuat properti. Bu Rubi mengharuskan kami membuat propertinya sendiri, tidak boleh membelinya. Dan properti itu akan kami gunakan untuk mementaskan sebuah drama. Ya, kami akan memainkan sebuah drama. Dan pas sekali yang menjadi pemeran antagonisnya itu Yumna, Dinda, dan Diah. Peranku? Aku berperan sebagai tokoh tritagonis. Tadinya aku ditunjuk menjadi pemeran protagonis, tetapi aku menolaknya karena jika aku menjadi pemeran protagonis, maka sudah dipastikan aku akan sering berdialog dengan Yumna, Dinda, dan Diah. Dan hal itu sangat aku hindari.
Bel pulang baru saja berbunyi. Reyhan yang masih menjelaskan beberapa hal berhenti berbicara, lalu mempersilakan kami untuk bersiap-siap pulang. Aku segera menuju bangkuku, Balqis sudah duduk rapi dengan tas di punggungnya. Wajahnya terlihat sangat senang, mungkin karena dia satu kelompok dengan orang-orang yang jago akting? Entahlah, aku segera membereskan buku-bukuku.
***
Hari minggu pun tiba. Aku sudah menyiapkan semua peralatan yang harus kubawa. Tinggal menunggu Papa yang sedang memanaskan mobil. Sampai di sekolah, baru Reyhan yang datang. Padahal ini sudah lewat 10 menit dari jadwal seharusnya kami tiba di sekolah. Reyhan memang cocok sekali jadi ketua, selain bertanggung jawab dia juga orang yang disiplin.
"Assalamu'alaikum, Rey. Maaf ya telat," ucapku memberi salam kepada Reyhan.
Reyhan yang sedang duduk di samping pos satpam mendongak, lalu menjawab salamku, bilang tidak apa-apa telat sedikit, yang lainnya juga belum datang.
Aku mengangguk. "Kalo gitu, saya ke mushala dulu ya, Rey." Tanpa menunggu jawaban Reyhan, aku sudah melangkah menuju mushala. Aku lupa melaksanakan shalat dhuha di rumah tadi. Aku juga bukan tipe orang yang suka berbicara dengan orang lain dengan kata-kata 'gue-lo', aku lebih suka berbicara dengan kata-kata 'aku-kamu', atau 'saya-kamu'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahabbah
SpiritualKebahagiaan yang tak dapat dinilai oleh materi adalah ketika kau dapat melabuhkan cintamu hanya kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan mencukupi segala kebutuhanmu. ______________ Berisi lebih dari satu cerita yang ditulis oleh beberapa penulis...