10. what for?

598 98 13
                                    

-Son Naeun
Pukul 9 malam, aku baru pulang ke rumah setelah tadi bertemu Jimin.

Ah, mengingat tadi, aku sangat lega karena ternyata aku masih memiliki teman. 4 tahun aku berharap agar bisa bertemu Jimin akhirnya terkabulkan. Syukurlah, tuhan masih menyayangiku.

Aku melepas sepatu, menaruhnya di rak lalu membuka pintu. Berharap semua orang telah tertidur dan semua ruangan menjadi gelap.

Krek! Ternyata, ekspetasiku tidaklah benar. Papa dan Mama plus Seulgi tengah duduk manis di ruang tamu.

Atmosfer ruangan perlahan menjadi dingin dan senyap. Tidak ada yang membuka suara hingga akhirnya aku melewati mereka,

"Sampai kapan kau akan terus pulang malam seperti ini?" Suara khas papa yang berat mendominasi ruangan.

"Bukan urusan kalian," Jawabku dingin, kakiku berusaha melesat cepat untuk ke kamar. Aku lelah, aku ingin tidur.

"Kang Naeun! Kita sedang berbicara!" Tegas papa, intonasinya mulai meninggi.

"Untuk apa aku berbicara pada kalian? Aku lelah, ini hanya membuang-buang waktuku," Sekali lagi aku menjawab dingin dan juga cepat-berusaha menyudahi pembicaraan ini.

"Brengsek! Kau ini sedang berbicara dengan orangtua!" Kini Seulgi yang angkat suara, membela orangtuanya.

Aku berdecak malas sambil menyilangkan kedua tanganku di depan dada, "Cih, orangtua? Apa mereka pernah menganggapku sebagai anak? Apa mereka pernah mengakuiku sebagai anak didepan orang banyak?

Bahkan yang selalu mengambilkan raporku adalah bi Minah, bukan mereka. Jadi apa aku pantas memanggil mereka sebagai orangtua?" Aku menjawab datar, seketika ruangan ini hening.

"Setahuku, anak mereka hanyalah Kang Seulgi yang selalu mereka banggakan. Jadi untuk apa aku menganggap mereka sebagai orangtuaku? Mereka saja tidak menggapku sebagai anak" Aku menambahkan.

Sakit. Itulah yang kurasakan sekarang saat mengatakan kalimat tadi.

"Satu lagi, jangan pernah memanggilku dengan nama Kang Naeun, karena untuk apa aku diberi marga yang sama dengan kalian jika kalian tidak pernah menganggapku sekalipun?" Aku berkata sinis, setelah itu aku kembali melangkahkan kakiku.

"Kang Naeun! Jangan kurang ajar kau!" Kali ini papa teriak.

Aku tak menghiraukannya.

"Kang Naeun!" Mama memanggilku.

"Hei, jalang! Apa kau tidak sadar, hah? Kau sendiri yang membuat mama dan papa tidak menganggapmu sebagai anak! Kau tahu kenapa?

Itu karena mereka malu mengakui-mu sebagai anak! Itu karenamu juga yang tidak memiliki satu hal pun untuk dibanggakan mama dan papa!

Jadi untuk apa mereka mengakui anak nakal seperti mu? Yang bisanya hanya pergi berkeliaran saat malam hari, menghabiskan waktu berkelana dengan pria-pria di club, lalu pulang saat pagi harinya. Jadi, apa yang bisa mereka banggakan darimu, hah?

Apakah mereka akan membanggakan dirimu yang akan hamil sebelum menikah?" Seulgi berteriak keras, wajahnya memerah marah, emosinya meledak-ledak.

Langkahku terhenti, otakku mencerna baik-baik apa yang dikatakan Seulgi.

Aku menghirup sesak yang terus menghimpit di dada. Tidak, tidak boleh aku menangis disini. Tapi entahlah, pertahananku perlahan mulai terkikis habis. Tamengku mulai retak hingga terkadang hatiku tertohok olah ribuan godam.

"Sudah cukup Seulgi. Naeun tolong kau berbalik sebentar, dan kita akan membicarakan ini baik-baik. Tidak perlu satu jam, aku hanya ingin bertanya mengapa Seulgi menangis saat pulang tadi? Juga mengapa kau selalu pulang malam, nak?" Mama tiriku berusaha mencairkan suasana, lembut memerintahkanku.

"Tidak perlu bersikap sok manis didepanku jika itu hanya akting. Ini bukanlah pementasan drama, ini kehidupan. Aku yakin, kau akan sependapat dengan Seulgi" Aku membalas dingin.

"KANG NAEUN! BERHENTI KURANG AJAR!" Papa kembali meneriakiku, tak berhenti disitu, ia menampar pipiku.

"Kau di didik untuk menjadi anak baik! Mengapa kau sekarang menjadi pembangkang, hah? Apa ucapan Seulgi itu benar?" Papa berbicara dengan sarat emosi yang berapi-api, tidak peduli dengan pipi merahku yang baru saja ditamparnya.

"Cepat jawab pertanyaanku!" Papa menguncang bahuku.

Aku bungkam.

"Diam berarti iya, cih!" Seulgi berkata sinis.

Papa kembali menamparku, "AKU TIDAK PERNAH MENGAJARIMU MENJADI SEPERTI INI, JALANG!".

Semua terkesiap mendengar papa meneriakiku sebagai jalang, termasuk aku-juga Seulgi yang mengatakan itu awalnya.

Tes! Astaga, sial. Mengapa airmataku dengan gampangnya mengalir begitu saja?

Ini memang menyakitkan. Siapa pula yang tidak sakit hati mendengar orangtua kalian sendiri yang mengatakan anaknya seperti itu?

Tapi, astaga, ini membuat harga diriku turun dihadapan mereka.

"Memang, kau tidak pernah mengajariku menjadi seperti itu. Tapi dengan semua perlakuan dan sikap kalian yang terus menghina dan tidak peduli denganku membuat hidupku menjadi bebas. Itu salah kalian juga 'kan? Maka jangan salahkan jika aku menjadi seperti ini!" Aku membalas dengan suara bergetar, juga dengan airmata yang terus turun ini.

Papa terdiam-juga Seulgi yang ingin membalas ucapanku.

"Memangnya jika aku menjelaskan alasan mengapa aku selalu pulang malam, kalian mau mendengarnya? Tidak 'kan? Pasti kalian akan menganggap itu semua sebagai lelucon di malam hari. Jadi, untuk apa aku menjelaskannya?" Aku terus berbicara.

"Lagipula, jika aku memiliki sebuah prestasi apakah kalian akan membanggakanku dan berhenti membenciku? Tidak 'kan? Justru kalian akan mengatakan bahwa aku curang dan aku menggunakan cara licik untuk memenangkan prestasi itu.

Kalian sekalipun tidak akan pernah mau mengganggap prestasiku sekecil apapun itu, karena kalian memang akan terus membenciku. Jadi, untuk apa aku membuat sebuah prestasi jika itu sama sekali tidak diapresiasi oleh kalian? Untuk apa aku menghabiskan tenagaku untuk mencapai sebuah prestasi yang akhirnya tidak akan dianggap apa-apa oleh kalian?" Intonasi suara mulai goyah, sementara airmataku terus mengalir.

Aku tidak peduli lagi dengan tanggapan mereka. Jujur, hatiku terlalu sakit untuk menerima semua kenyataan yang baru saja aku ucapkan tadi.

Maka setelah aku katakan itu, aku berlari menuju kamar. Meninggalkan papa, mama dan Seulgi yang diam seribu bahasa.

Hai! Ditunggu kritik dan sarannya, juga kerelaan hatinya untuk mem-vote cerita ini, makasih!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai! Ditunggu kritik dan sarannya, juga kerelaan hatinya untuk mem-vote cerita ini, makasih!

A/n : konflik kedua muncul nih, gengs. Maap kalo terlalu mendrama ya hehe, hayoung tidak jago untuk membuat feel dalam konflik:(

Btw, haii hayoung kembali setelah tidak update berminggu-minggu:))

Gimanaa, kangen gaa?hehe.

Oiya, hayoung sekalian ijin buat slow update yaa, soalnya hayoung uda kelas 9 nii:(( bentar lagi un, jd bakalan jarang update. Trs juga klo update ga nentu kapan, jadi mohon sabar untuk menunggu selalu yaa!🙌

Terimakasih, salam kangen dari hayoung❤

what is love?✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang