Audy dan keempat temannya menghabiskan lima hari penuh di Bandung dengan mengunjungi aneka wahana liburan. Melvin juga sesekali ikut jika sedang tidak ada jadwal kuliah. Sebenarnya ia diajak agar ada yang bisa dijadikan supir dan tukang foto, tapi tidak masalah bagi adik Audy itu, asalkan ia mendapat makan di restoran-restoran hits dan tiket masuk wahana gratis dari hasil patungan Audy dan teman-temannya. Para 'backpacker' itu menyusuri setiap tempat wisata yang mereka ketahui baik dari rekomendasi nenek-kakek Audy, Melvin, juga dari list yang Gita buat berdasarkan explore Bandung di instagramnya. Mulai dari wisata alam seperti Tangkuban Perahu, Kawah Putih, Situ Patenggang, Taman Begonia, Dago Dream Park, juga wahana wisata modern seperti Trans Studio, Ciwidey Valley, Farm House, dan beberapa tempat lain yang menurut Gita instagramable dan sesuai dengan selera mereka. Mereka sengaja tidak banyak memilih tempat wisata yang tracknya sulit untuk dilalui, mengingat Audy tidak boleh terlalu kelelahan.
Mereka juga sempat ikut kakek Audy ke wilayah perkebunan teh yang kakek Audy kelola. Tidak, kakek Audy tidak sekaya itu dengan memiliki perkebunan teh di Lembang, beliau hanya menjadi pengelola pekerja atau mandor di salah satu wilayah. Kakek Audy adalah salah satu pegawai setia atau bisa juga disebut kaki tangan dari mandor sebelumnya semenjak masih muda, sehingga jabatan itu diserahkan kepada beliau ketika sang mandor melengserkan diri. Karena itu, kakek Audy tidak memiliki banyak barang mewah selain mobil yang saat ini lebih sering Melvin yang pakai, sedangkan beliau hanya menggunakan motor bebek yang tahan jalan terjal jika bepergian kemana-mana.
"Lo ada masalah ya, Bang, sama Kakak gue?" tanya Melvin. Deka memang kebagian satu kamar dengan Melvin, karena akan terlalu sempit jika harus sekamar bertiga dengan Seno dan Chandra.
"Kenapa lo nanya gitu?" Deka sempat menghentikan kegiatannya yang sedang mengemasi barang-barangnya untuk dibawa pulang besok.
"Gue ngerasa aneh aja sih, kalau ngelihat lo berdua. Kayak, jarang banget ngomong satu sama lain dari semenjak baru dateng kesini."
Deka tidak menjawab dan kembali memasukan barang-barangnya ke dalam tas, membuat Melvin yakin yang ia tuduhkan benar.
"Gue yakin temen-temen lo yang lain juga nyadar. Lo kayak gak berani buat nyela setiap kali Kakak gue ngomong, atau Kak Didy malah kayak segan buat nanggapin lo. Terakhir kali gue ngelihat lo berdua kayak gini tuh waktu kalian SMA, waktu pertama kali ada cewek lo yang ngelabrak kakak gue, yang dikiranya Kakak gue ngerebut elo."
Deka kebingungan menjawab pertanyaan Melvin. Apakah ia harus menyanggah atau justru menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Tapi Deka sangat butuh teman bicara saat ini, ia sudah cukup lelah menyimpan keburukannya sendiri.
"Lo tahu kan, kemaren Kakak lo opname?" Deka memulai, ia memutuskan untuk bercerita kepada Melvin." Sebelum dia drop, dia ngehubungin gue, tapi gue malah ngomong sesuatu yang jahat ke Kakak lo."
Deka menceritakan semua detail mulai dari mereka yang sudah jarang saling kontak karena kesibukan masing-masing, Audy pingsan di perjalanan di dalam mobil orang lain, hingga Deka baru diberi tahu oleh Maminya bahwa Audy sempat dirawat di rumah sakit dan bahkan sudah pulang saat itu.
Melvin yang mendengarkan sebenarnya agak sulit untuk memberi tanggapan, tapi ia dan bahkan Deka sendiri tahu bahwa perkataannya saat itu sangat kasar.
"Kalau masalah Kakak gue bisa sampai pulang sendiri dan kolaps di dalam grab, gue rasa itu akibat Kakak gue sindiri sih, dan kenyataan temen-temen deketnya gak ada yang bisa bantu juga bukan salah siapa-siapa. Tapi kalau lo beneran ngomong kayak gitu pas dia nelpon, gue rasa disitu kesalahan terbesar lo, Bang. Kalau boleh nanggepin jujur, lo semacam ngebuang Kakak gue setelah dapet mainan baru. Gue juga kalau jadi Kak Didy pasti sakit hati banget lah dengan kondisi dia yang lagi lemah-lemahnya saat itu," komentar Melvin, "Mending lo cepet-cepet kelarin deh, Bang! Dari pada lo berdua diem-dieman terus kayak sekarang. Gue yakin sih, Kakak gue bakalan lupa sama perkataan lo itu suatu saat nanti, tapi lebih cepat lebih baik kan? Dan bagaimanapun Kakak gue menyikapi, lo tetep harus bersikap sebagai mana mestinya dengan minta maaf sama dia secara langsung. Dari pada cuma meratapi penyesalan lo doang kayak gini."
Satu hal yang Deka suka ketika berteman dengan laki-laki yang usianya lebih muda darinya itu, adalah sikap Melvin yang lebih dewasa dari pada kelihatannya. Melvin memang kadang bertingkah seperti bocah manja, tetapi dibalik itu ia juga memiliki hati yang luas dan selalu menyikapi suatu hal dengan kepala dingin. Melvin selalu berani mengambil langkah-langkah besar yang bisa dikatakan nekat, dan ia tahu bagaimana cara mempertanggungjawabkannya. Deka merasa lebih tenang dan lega telah bercerita mengenai maslahnya kepada Melvin, ia juga kini memiliki kepercayaan diri lebih untuk menghadapi Audy.
"Dy, bisa temenin gue sebentar?" pinta Deka ketika Audy baru saja hendak bangkit dari kursi yang ia duduki di depan rumah.
Sebelumnya, Audy sedang mengobrol santai ditemani teh hangat bersama Seno dan neneknya, tetapi karena hari sudah semakin larut nenek Audy memutuskan untuk masuk terlebih dahulu dan Seno mengantarnya dengan menuntun bahu nenek Audy, padahal beliau masih sangat sanggup berjalan sendiri.
Audy kembali duduk, disusul Deka yang kini duduk di kursi yang menghadap ke arah lain. Mereka tidak berhadapan tetapi menghadap meja yang sama.
"Gue tahu gue telat banget, tapi, gue... minta maaf," ucap Deka dengan penuh kehati-hatian.
Audy kini menoleh ke sebelah kirinya, menatap langsung kepada Deka.
"Ucapan gue waktu itu, bener-bener--kasar. Gue bener-bener gak terkontrol, mungkin karena gue terlalu panik buat milih stay atau pergi ke tempat lo, sedangkan lo ternyata emang jauh lebih butuh. Padahal gue yang selalu bilang agar lo selalu ngandelin gue kalau butuh apapun, tapi gue malah berlaku sebaliknya. Gue bener-bener nyesel Dy. Gue bahkan bingung gimana caranya buat minta maaf sama lo."
Hening melingkupi sekitar mereka dalam beberapa saat dan hanya suara jangkrik bersahutan yang terdengar.
"Seandainya, waktu itu gue gak kolaps, apa lo juga masih semenyesal ini?" kini giliran Audy menanggapi Deka dengan melontarkan pertanyaan. Audy memang mengatakan ia baik-baik saja ketika baru melihat Deka setelah kepulangannya dari rumah sakit, tetapi tetap saja ia memiliki rasa sakit hati tersendiri.
Deka sontak menggeleng, "gue bener-bener ngerasa gak tenang setelah itu Dy, temen-temen bahkan mergokin gue ngelamun beberapa kali. Gue juga gelisah waktu gak ngelihat lo sama sekali di konser. Gue gak ngehubungin lo waktu itu karena gue pikir lo butuh sedikit waktu buat menenangkan diri, begitu juga gue, sampai akhirnya nyokap yang ngasih tahu kalau lo masuk rumah sakit."
Audy bisa melihat dari kedua lensa Deka bahwa semua yang dikatakan pria itu jujur.
"Bukan sepenuhnya salah lo ko" ucap Audy, sedikit menenangkan ketegangan Deka.
"Jadi, lo maafin gue, kan?" tanya Deka tak sabar.
Audy kemudian menghela napasnya kasar, melepaskan semua ganjalan dalam hatinya. Ia pun kembali menatap Deka dan menyunggingkan senyumnya yang sudah lama tidak Deka dapatkan.
"Sama-sama saling memaafkan aja." Audy mengangguk sebelum mengucapkannya.
"Thanks!"
Deka tak kuasa menahan senyumnya, ia mengikuti Audy menghela napas penuh kelegaan. Selanjutnya ia menaruh tangannya di kepala Audy dan mengusap lebut rambut gadis itu, suatu yang biasa Deka lakukan kepada Audy untuk mengungkapkan rasa sayangnya. Keduanya lega, karena besok mereka kembali ke Jakarta dengan status sudah berdamai.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMEN?? (END)
Teen FictionAudy dan Deka sudah bersahabat sejak lama, bahkan kedua keluarganya sudah saling mengenal sejak mereka masih TK. Keduanya hampir tidak pernah terpisahkan, di mana ada Audy di situ pula Deka berada, kecuali saat Deka sedang bersama pacarnya. Melihat...