"Mau sampai kapan senyum-senyuman begitu? Si Aa-nya suruh masuk atuh, Dy!" suara parau dan sedikit bergetar khas nenek-nenek menginterupsi Audy dan Deka yang masih saling memandang dalam kebisuan.
"Emm, iya Eyang!" jawab Audy pada akhirnya. Dengan malu-malu dan agak ragu Audy mencoba mengajak ke dalam rumah, yang langsung diikuti oleh laki-laki itu.
"Ini teh, siapa? Kok Eyang kayak pernah lihat ya?" tanya nenek Audy setelah cucunya dan laki-laki yang samar-samar ia kenal berada di dekat pintu masuk belakang rumah.
"Deka, Eyang, dulu pernah kesini sekali waktu liburan ramai-ramai sama yang lain," Deka memperkenalkan kembali dirinya sambil mencium tangan perempuan paruh senja itu.
"Oh, iya gitu? Duh, Eyang lupa. Yang Eyang inget temen lakinya Didy yang pernah kesini cuma Nak Choki sama Nak Seno, yang ganteng bule itu." Jawaban jujur nenek Audy tersebut membuat senyum di bibir Deka memudar, tak lama Deka kembali memamerkan senyumnya walaupun terpaksa, membuat Audy gemas melihatnya.
"Dulu Deka sering ngobrolnya sama Yangkung, Eyang," Audy menjelaskan, senyum di bibir Deka terbit kembali setelah Audy memamerkan kedekatannya dulu dengan kakek Audy.
"Oh, yang itu? Iya, iya, Eyang inget sekarang." Pandangan Eyang kini beralih kepada Audy. "Neng, Bu Lurah kan mau bikin pengajian nanti malam, Eyang mau bantu-bantu aja kalau Neng di sini ada temen," kemudian kembali menatap Deka, "titip Didy ya, Nak Deka! Dari tadi Eyang mau pergi tapi kasihan Didy sendirian di rumah, kalau ada temennya Eyang jadi tenang. Nak Deka gak keberatan kan?"
"Iya siap Eyang!" jawab spontan Deka membuat alis kedua perempuan beda generasi itu mengerut.
"Tapi gak boleh macam-macam loh ya! Kalau enggak, nanti bisa digrebek siskamling."
Deka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, kentara kikuk dan malu.
Audy akhirnya mengajak Deka untuk duduk di kursi teras belakang rumah, mengikuti saran neneknya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama mereka berduaan di rumah klasik yang dikelilingi berbagai pohon dan tanaman tersebut. Padahal dulu di Jakarta mereka terbiasa berduaan tidak peduli itu di tempat tertutup maupun terbuka.
Keduanya terdiam canggung dengan pemikiran masing-masing, bingung bagaimana memulai percakapan. Hingga akhirnya Audy membuka suara, bermaksud berbasa-basi dengan laki-laki yang tiba-tiba menyusulnya ke Bandung itu.
"Lo, kok bisa ke sini?"
"Pakai mobil," jawab Deka spontan. Ia lalu meringis, tersadar bukan itu yang dimaksud Audy. "Gue baru tahu kalau lo udah lama gak di Jakarta."
"Mau ngapain?" tanya Audy lagi.
"Hah?"
"Ya, lo mau ngapain ke sini?" Audy memperjelas.
"Oh... ya buat ketemu lo."
"Buat?"
Deka tidak langsung menjawab. Sejujurnya ia juga tidak tahu pasti untuk apa ia mendatangi gadis itu.
"Gue denger tentang lo," ucap Deka pada akhirnya, setelah hanya suara hembusan napas yang mendominasi mereka selama beberapa menit.
"Gak usah bersimpati, Ka, gue udah lupain itu!" pinta Audy.
"Gue emang gak niat bersimpati kok, malah gue seneng," ujar Deka tanpa berpikir, setelahnya ia kembali menggigit bibir, ketahuan salah bicara lagi.
Audy langsung meoleh dan mengangkat sebelah alisnya, tidak menyangka Deka bakal sefrontal itu.
"Emm, maksud gue... lo kan, ya... berarti lo udah... emm ya, gitu lah!"
Audy mendengus setengah geli, "lo ngomong apa sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMEN?? (END)
Teen FictionAudy dan Deka sudah bersahabat sejak lama, bahkan kedua keluarganya sudah saling mengenal sejak mereka masih TK. Keduanya hampir tidak pernah terpisahkan, di mana ada Audy di situ pula Deka berada, kecuali saat Deka sedang bersama pacarnya. Melihat...