"Gimana menurut lo?"
Pertanyaan Deka membuat Audy menghentikan gerakan tangannya yang baru akan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Apanya?"
"Nadine lah, kan lo udah liat." ucap Deka lagi.
Audy hanya berdecak, ia masih kesal Deka terus-terusan menceramahinya untuk tidak terlalu dekat dengan Choki hanya karena kemarin Choki membawanya jalan-jalan ke mall tanpa sepengetahuan Deka, padahal yang seharusnya marah kan Audy karena Deka pura-pura tidak melihatnya, yang hanya dijawab Deka dengan "gue kira orang mirip lo doang, makanya gak gue samperin," alasan.
"Cantik, kan?" tanyanya lagi karena tidak juga mendapat jawaban dari Audy.
"Kalau gak cantik mana mungkin lo pepet!" jawab Audy sewot.
"Dih, ngegas. Makanya, jawab apa kek!"
"Ya gue harus jawab apaan? Orang cuma liat dari kejauhan gitu, mana tau dia kayak gimana," Audy masih mempertahankan sikap ketusnya.
"Hm, iya juga ya, tapi gue belum berani ngenal-ngenalin sih, kan masih tahap pedekate. Mau slow aja sih gue sekarang, mau gue seriusin soalnya."
Audy mendelik dengan sebelah alisnya yang dinaikkan, seolah mempertanyakan maksud ucapan Deka barusan.
"Soalnya gue sama dia berasa udah klop aja dari pertama kali liat, kayak udah ada kemistri gitu, Nadine tuh kayak tipe gue banget. Dia anak HI kampus sini juga tapi satu angkatan di atas kita. Orangnya juga kelihatan dewasa dan asik diajak ngobrol. Anak tunggal juga, cocok kan sama gue? Dia cerita mantannya lanjut kuliah di Belanda, terus mereka putus tiga bulan yang lalu karena Nadine gak tahan LDRan," jelas Deka semangat seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru.
"Baru jalan sekali kayak udah hapal dia banget, lo kalau jalan ngapain aja sih? Survey data lahir?" respon Audy begitu Deka selesai dengan deskripsi Nadinenya.
"Namanya juga pengenalan, ya gue harus tau segala macem tentang dia lah. Lo sih gak pernah ngalamin." niat Deka meledek yang justru membuat kekesalan Audy bertambah. Lagi pula kenapa Deka sangat bawel hari ini?
"Ya menurut lo siapa yang bikin gue susah deket sama cowok?!" nadanya sedikit lebih tinggi membuat Deka sempat terkejut.
"Maksud gue kan baik, Dy. Biar lo gak salah pilih cowok. Udah ada contoh ini gue salah terus dapet ceweknya, gue gak mau lah lo ngikutin jejak gue sama si dua kacrut itu. Kalau kita cowok gampang, putus tinggal nyari lagi, putus lagi, ya nyari terus sampai dapet lagi. Sementara elo? Cewek kan biasanya gampang baper, putus entar sedih gak ketulungan, nangis-nangis kejer minta balikan, kalau bapernya akut sampai bisa ngelakuin hal yang nekat-nekat."
"Lo lagi nyeritain mantan-mantan lo ya?" sindir Audy
"Kebanyakan cewek kan kayak gitu."
"Ya jangan nyamain gue sama mereka dong! Lo sendiri yang bilang kalau gue itu beda dari kebanyakan cewek-cewek yang pernah deket sama lo."
"Iya iya, gue gak nyamain. Kan gue bilang contoh, Dy. Lo emang gak kayak mereka, tapi tetep aja gue harus menghindarkan kemungkinan lo buat ketemu sama cowok-cowok brengsek."
"Udah terlanjur!" Audy mencebik lalu menusuk makanan di piringnya dengan cara yang dramatis, lalu menunjuk-nunjukkan garpu itu ke arah Deka, "Lo, Seno, sama Chandra kan termasuk cowok brengsek juga."
"Yang penting kita gak pernah dan gak akan pernah ada niatan buat brengsek ke elo! Justru kita pengennya ngelindungin elo, kan, sama Gita juga."
"Gita udah punya cowok tuh," kalau-kalau Deka lupa.
"Gita sama lo itu beda. Gue tau banget lo kayak gimana kalau udah niat berkomitmen, pasti dibawa serius. Lagian kita juga ngawasin cowoknya Gita kayak gimana, dan sejauh ini aman-aman aja."
"Tau ah!"
Audy sebenarnya paham bahwa teman-temannya itu memang sangat menyayanginya, sama seperti Audy yang juga sayang dan selalu ingin memberikan yang terbaik kepada teman-temannya itu, apa lagi Deka. Tetapi terkadang ia merasa bahwa sikap Deka terlalu berlebihan, seolah Audy tidak cukup dewasa untuk menilai orang lain sesuai pilihannya sendiri. Kadang sifat protektif Deka itu membuat Audy besar kepala, merasa bahwa sebenarnya Deka tidak rela Audy dengan laki-laki lain, tapi rasa melambung itu nyatanya hanya angan-angan saja karena sampai sekarang pun Deka tidak pernah memberi sinyal bahwa ia menginginkan Audy lebih, bahkan selalu menegaskan bahwa mereka adalah teman, sahabat. Jangan lupakan juga Deka yang selalu terang-terangan meminta pendapat Audy jika sedang mendekati seseorang, membuat Audy selalu berusaha meredam apa yang sempat berkembang di dalam hatinya.
Audy bukannya 'ngebet' ingin punya pacar, atau iri kepada Gita, ia hanya bosan mendengar tuduhan-tuduhan Deka kepada siapapun laki-laki yang mencoba mendekati Audy, padahal Audy bisa menilai oleh dirinya sendiri mereka itu seperti apa, siapa tahu kan salah satu dari mereka itu cocok untuk Audy. Belum lagi nasibnya yang selalu jadi sasaran kemarahan mantan-mantan Deka, serta pandangan orang-orang yang selalu menganggapnya sebagai 'pengintil', padahal Deka sendiri yang selalu menyeretnya kemanapun.
"Lagian Dy, kita bertiga tuh udah boyfriend material banget. Mau lo ajak main, bisa. Lo ajak nonton, oke. Lo ajakin jalan kemana pun, tinggal cus. Lo minta kita ngapain aja, selalu diturutin kan, selama kita bisa. Asal lo jangan minta cium aja, karena gak ada temen yang ciuman, kalaupun ada itu namanya temen tapi ena-ena." Deka mengerling genit di akhir ucapannya, tetapi Audy masih bergeming dan melanjutkan makannya.
"Pokoknya percaya deh sama gue, gue bakal selalu ada buat lo. Nanti kalau emang udah ada cowok yang pantes dan gak bakal nyakitin lo, gue pasti lepasin lo." bagaimana caranya mereka tahu orang itu tidak akan menyakiti Audy kalau tidak pernah diberi kesempatan. Ah, sudahlah.
"Kalau gue gak mau, gimana?" tanya Audy setelah terdiam beberapa saat, membuat Deka berhenti menggerakkan tangannya yang memegang sendok melayang di udara, "kalau ternyata sampai kapanpun gak ada cowok yang cocok sama gue, gue bergantung terus-terusan sama lo sampai akhirnya gue gak bisa melihat orang lain lagi, gue berharap sama lo dan gak mau lo ngelepasin gue, gimana?"
Audy memperjelas dan mempertegas pertanyaannya dengan sorot mata yang langsung menusuk ke kedua bola mata Deka, menuntut. Deka yang membalas tatapan Audy tidak bisa bereaksi apa-apa selain merasakan bahwa lidahnya kelu, tak bisa mengucap sepatah kata sama sekali. Ia tidak menyangka pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulut Audy. Deka tidak siap, ia tidak punya jawaban apapun, kemungkinan Audy yang berharap lebih dari hubungan mereka sekarang tidak pernah ada dalam perkiraannya. Semua terasa blank, bahkan Deka tidak bisa lagi merasakan keramaian orang-orang yang berada di lingkungan kantin itu.
Keduanya kini saling menatap dan larut dengan pemikiran di kepala mereka masing-masing. Audy sempat merasa bahwa pertanyaan yang ia ajukan barusan adalah hal yang salah dan terlalu gegabah, tetapi biarlah, ia juga ingin melihat bagaimana reaksi laki-laki itu jika sedikit saja memancing bola panas di antara mereka.
Hanya keheningan yang menyertai mereka beberapa saat, sampai akhirnya suara tawa Audy membuyarkan kekosongan Deka yang kini ikut tertawa, merutuki kebodohannya karena berhasil diperdaya teman di hadapannya itu.
"Satu kosong ya!" ledek Audy sambil mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Deka.
"Sialan lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMEN?? (END)
Teen FictionAudy dan Deka sudah bersahabat sejak lama, bahkan kedua keluarganya sudah saling mengenal sejak mereka masih TK. Keduanya hampir tidak pernah terpisahkan, di mana ada Audy di situ pula Deka berada, kecuali saat Deka sedang bersama pacarnya. Melihat...