*****
"Riel, aku izin setengah hari, ya!" ujar Deva ketika pria bermata sayu itu datang menghampirinya untuk mengembalikan berkas yang ia pinjam.
Alis pria itu bertaut, merasa bingung dengan perkataan gadis berambut ikal itu.
"Izin? Memangnya kau mau kemana?""Aku mau ke NVC, bertemu Samantha untuk membahas soal jumlah penambahan kamera pengintai buatan kita," jawabnya sambil membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kerjanya.
"Mau bertemu Samantha atau mau mengintai Pak Direktur?" tanya Zariel dengan sengaja menyebut nama 'Pak Direktur'. Deva langsung menatap tajam pria yang sedang memandang dirinya sambil tersenyum simpul.
Zariel terkekeh. "Aku tahu kau merasa sangat khawatir dengan Pak Direktur. Tapi, kau jangan terlalu sering bolak balik ke NVC, hanya dengan alasan seperti itu."
"Ini masalahnya beda, Riel!" tukas Deva tanpa melepas tatapannya pada Zariel yang kini terlihat dingin dan menusuk. Merasa perkataannya terlalu berlebihan, pria itu seketika membisu dan langsung mengalihkan pandangannya dari mata berwarna abu-abu yang mengarah tajam padanya.
"Kalau dia masih berhubungan dengan wanita itu, maka aku tidak bisa berdiam diri dan melihat kedekatan kakakku dengan si jalang itu! Mana bisa aku seperti itu!"Zariel terhenyak setelah mendengar perkataan Deva yang terkesan penuh emosi. Dari sudut matanya, ia bisa melihat aura kesedihan, kekhawatiran, dan amarah yang terpancar dengan sangat jelas. Awalnya ia mengira masalah yang Deva hadapi hanya masalah miscomunication biasa dengan Sang Direktur yang merupakan kakak kandung Deva. Namun kali ini, ia mengerti mengapa Deva bersikap demikian walaupun ia sudah mengetahui semuanya dari mulut wanita berambut ikal itu sendiri.
Tampaknya ia memang harus bersedia untuk terlibat dengan rencana yang telah disusun oleh Deva."Maafkan aku, Dev. Aku tidak seharusnya berkata seperti itu tadi," sesal Zariel, berusaha untuk menenangkan Deva yang tengah menahan emosinya yang hampir meluap.
"Aku menyesal, Dev. Amat sangat menyesal. Tapi sungguh, aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Aku mengatakannya dengan spontan dan mengira kau bakal menjawabnya dengan gurauan seperti biasanya. Tap—""Cukup!" potong Deva dengan cepat. Kini auranya terlihat tenang. Kilat amarah yang terpancar dari mata kehijauan miliknya pun mulai meredup.
"Kalau kau terus bicara panjang lebar seperti itu, maka aku tidak akan membantumu mengurus semua tugas sendirian."Seolah-olah mendapat skak mat, pria bermata sayu itu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa menganga dan bergeming seperti patung, membiarkan gadis berambut ikal itu pergi.
*****
-PRARIZA DEVANI (DEVA)-
'Pak Direktur pergi makan siang dengan Ravena'
Pikiranku sungguh kalut setelah membaca pesan singkat dari Samantha. Dan kekalutan itu justru kulampiaskan pada Zariel tanpa bisa terkontrol.
Argh! Aku jadi tidak bisa berpikir jernih jika sudah menyangkut Difa. Bagaimana tidak? Tentu saja aku tidak mau membiarkan kakakku yang bodoh itu terus-terusan ditempel oleh dia, wanita jalang bermuka dua. Maka dari itu, aku harus secepatnya mendatanginya ke sana sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi.Kurogoh kunci motor yang kusimpan di dalam saku celanaku. Dan tanpa membuang waktu lagi, kulajukan motor F4RC kesayanganku, melesat dengan cepat seperti kereta Shinkanzen, melewati setiap kendaraan yang sedang melaju di jalanan kota New York.
Bahkan ketika lampu lalu lintas sedang berwarna merah pun, kuterobos dengan mudah seperti pesawat jet dengan kecepatan hampir 200 km/jam.
Aku tidak peduli dengan sahutan klakson yang menghardik tindakanku. Yang terpenting untuk saat ini hanyalah satu, menjauhkan wanita sialan itu dari kehidupan kakakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja Vu Di Masa Fajar
FantasyPrareza Difadra tidak pernah menyangka jika teror dalam mimpinya itu akan terjadi di kehidupan nyata. Tak hanya itu, hubungannya dengan sang adik, Prariza Devani, memburuk karena tidak menyetujui pertunangannya dengan Ravena Giasty, wanita yang tela...