"ARGH!!"Suara teriakan Difa terdengar memenuhi ruangan kerjanya. Seorang wanita yang sudah sedari tadi duduk di atas meja, merasa bingung dan terkejut saat melihat seorang pria yang tak lain ialah Difa, yang ada di hadapannya berteriak sangat kencang. Namun, pria itu sedang duduk di kursinya sambil memejamkan matanya seperti sedang tertidur. Raut wajahnya tampak terlihat seperti ketakutan. Seolah-olah sedang mengalami hal yang amat menakutkan.
Ratusan bulir peluh telah membasahi wajah tampannya itu. Kemeja yang sedang ia pakai pun tampak basah kuyup karena keringat. Si wanita yang sedari tadi terdiam menatap Difa yang masih berteriak ketakutan, perlahan mengulurkan tangannya hingga menyentuh wajah tampan Difa."Honey, bangun!" sahut si wanita itu mencoba membangunkannya dengan menepuk-nepuk pipinya lembut.
"Honey, bangun sayang! Buka matamu!"
"AARGH!!"
Melihat Difa yang terus menerus berteriak dalam tidurnya membuat wanita tersebut semakin bingung dan juga merasa cemas. Ia memang tidak tahu mimpi seperti apa yang sedang mendera kekasihnya itu. Tapi ia tidak mungkin membiarkan Difa terus berteriak ketakutan dalam keadaan masih tertidur. Ia harus secepatnya menemukan cara yang tepat agar Difa segera terbangun. Lalu ia segera memutar otaknya, mencari-cari hal yang harus ia lakukan. Dan tak butuh waktu lama, wanita itu akhirnya mendapatkan sebuah cara yang menurutnya mampu menyelamatkan Difa. Tanpa berpikir panjang, ia pun segera melakukan hal itu.
*****
"Kau baik-baik saja, Dev?" tanya seorang pria sambil menyentuh pundak Deva.
Deva menghela nafas. "Ya, aku baik-baik saja, Riel," jawabnya sambil menatap layar komputer di hadapannya.
Pria itu mengernyitkan dahinya "Tapi, wajahmu tidak sedang baik-baik saja. Apa ada masalah yang cukup membuatmu stress?"
Deva menghentikan kegiatannya sejenak lalu menoleh ke arah pria yang tengah berdiri di sampingnya. Mata abu-abu miliknya menatap tajam menusuk tepat ke arah mata pria tersebut.
"Ada masalah atau tidak di hidupku, itu bukan urusanmu! Jangan pernah kau mencoba membangunkan emosiku jika kau tidak mau wajahmu babak belur. Mengerti?!"Pria itu terkekeh begitu mendengar perkataan Deva barusan. Namun ketika ia melihat sorot mata Deva yang sangat tajam dan raut wajahnya yang terlihat menahan emosi membuat pria tersebut langsung terdiam. Ia tidak menyangka jika candaannya tadi membuat Deva marah. Padahal biasanya gadis itu selalu menimpali perkataannya dengan sedikit gurauan. Tapi kali ini, ia merasa jika suasana hati Deva memang sedang kacau. Entah masalah apa yang sedang dipikirkannya hingga sikapnya sedikit berubah.
"Ekhem! Maafkan aku, ya. Aku tidak bermaksud membuatmu marah," ujar pria itu menyesal.
"Aku hanya khawatir denganmu yang akhir-akhir ini tampak berbeda."Deva hanya terdiam mendengar perkataan pria tersebut. Tanpa berkata apa-apa, ia mengalihkan pandangannya ke layar komputer dan kembali mengerjakan kegiatannya.
"Mmm ... ngomong-ngomong kau sedang mengerjakan apa, Dev?" tanya pria itu sambil menatap komputer yang berada di hadapan Deva.
"Aku sedang menyusun skripsiku. Kau tahu kan rasanya menjadi seorang mahasiswi semester akhir?" jawab Deva.
Pria itu tersenyum. "Ya, aku tahu itu, Dev. Tapi, aku kagum padamu. Kau bisa menyelesaikan kuliahmu hanya dalam waktu 2,5 tahun sambil kau bekerja disini juga. Itu hal yang jarang sekali bisa dilakukan oleh orang biasa."
Deva menoleh ke arah pria tersebut sambil tersenyum.
"Terima kasih. Tapi, aku tidak mau terlalu diistimewakan disini hanya karena aku bisa melakukan dua hal yang jarang bisa dilakukan oleh orang lain."Pria itu terkekeh sembari menepuk-nepuk kepala Deva dengan lembut.
"Iya, tapi kau jangan terlalu memforsir dirimu juga Dev, kau harus bisa menjaga kesehatanmu agar kau tetap bisa melakukan hal yang kau suka. Terutama kau jangan terlalu stress, okay?""Baiklah, Tuan Zariel Arfandy!"
Senyuman pun kembali terukir di wajah Zariel. Akhirnya dia berhasil membuat adik Prareza Difadra itu mengulas senyumnya lagi. Ia merasa lega karena Deva tidak lagi marah padanya.
"Tapi ... apa aku boleh meminta bantuan lagi padamu, Riel?" tanya Deva perlahan.
"Bantuan apa, Dev?" ujar Zariel sedikit merasa bingung dan penasaran.
Deva menghela nafas panjang "Aku ingin kau membantuku untuk mengawasi seseorang."
Zariel mengernyit. "Mengawasi seseorang? Siapa?"
"Kau pasti sudah tahu siapa 'seseorang' yang kumaksudkan ini, Riel," ujar Deva sambil menatap serius ke arah Zariel.
Raut wajahnya pun berubah seketika saat ia mendengar kata 'seseorang' yang diucapkan Deva. Ia langsung mengerti maksudnya dan tanpa berkata apa-apa lagi, Zariel menyetujui permintaan Deva.
"Kira-kira kapan aku mulai mengawasinya, Dev?"
"Nanti aku akan pastikan semuanya terlebih dulu agar 'dia' tidak mengetahui rencana kita Riel, karena 'dia' bisa menipu kita dengan wajah malaikatnya itu."
Zariel mengangguk mengiyakan perkataan Deva.
"Baiklah, kabari aku jika kau sudah siap untuk menjalankan rencananya."Setelah Zariel pergi, Deva kembali melanjutkan kegiatannya. Namun pikirannya berkecamuk, memikirkan 'rencana' yang telah ia susun rapi sembari jari-jarinya sibuk mengetik keyboard komputernya. Walaupun ia sudah mempersiapkan semua hal tersebut, tapi ia merasa khawatir jika hal yang tidak diinginkannya terjadi.
Apalagi jika kakaknya sampai mengetahui hal ini. Ia sangat berharap, semoga Difa tidak tahu atau ikut terlibat dengan 'rencana'nya tersebut.
Ya, semoga saja ....*****
Hope you like it 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja Vu Di Masa Fajar
FantasíaPrareza Difadra tidak pernah menyangka jika teror dalam mimpinya itu akan terjadi di kehidupan nyata. Tak hanya itu, hubungannya dengan sang adik, Prariza Devani, memburuk karena tidak menyetujui pertunangannya dengan Ravena Giasty, wanita yang tela...