Bab XXVI

2.4K 86 8
                                    

Aku melihat dari apartemenku seluruh jalanan tertutup salju. Bulan Januari, kota ini selalu mengalami siklus itu. Dan, aku datang di saat yang tak tepat. Hingga aku memutukan keputusan itu. 

Setelah selesai aku berdiskusi dengan rekan penelitianku, Aku segera kembali ke apartemen. Rekan Penelitianku yang tak lain adalah teman sewaktu aku kuliah menempuh gelar Doctor di sini , telah merekomendasikan apartemen ini untukku dan dua dosen lain yang ikut dalam tim penelitian ini. 

Setelah kurang lebih empat tahun, aku meninggalkan kota ini. Semua sudah terlihat berbeda. Ketika aku pertama kali mendapatkan beasiswa gelar Doctor di tempat ini, itu suatu kebanggaan masa muda. Tapi, sekarang, aku tak menemukan perasaan seperti itu lagi. Kebanggaan aku bisa mendapatkan proyek ini, hampir tak terasakan olehku. Aku hanya menjalankan tanggung jawab yang telah negara percayakan padaku. Hasil penelitian di sini akan dijadikan referensi dan rujukan oleh ahli pendidikan di negaraku nanti. 

Aku menatap sup hangat di depanku. Kembali menyesuaikan makanan seperti ini lagi selama beberapa bulan, dan aku baru dua hari di kota ini. 

Aku melihat jam menunjukkan pukul 19.00, di sana sudah jam 12 malam. Sejak aku tiba di sini, Aku belum menghubungi keluargaku di sana.  Bukannya aku tak menghubungi mereka, tapi setibanya di sini, aku langsung segera mepresentasikan program kerja penelitian beberapa bulan ke depan ke kedua rekan peneliti dari Universitas Wina, sehingga aku bisa segera menyelesaikan proyek ini secepatnya, dan tak berlama-lama di tempat ini.

Aku mengamati foto itu yang kini terpasang di meja kerjaku. Foto yang mengingatkanku pada malam itu. Aku masih ingat jelas apa yang terjadi pada malam itu. Malam ketika aku keluar dari rumah sakit. Aku dan mas Driyan akhirnya berbicara. Berbicara tentang kita. Tentang hubungan yang semakin tak jelas kepastiannya setelah Arya lahir. 

 ""Jika waktu mampu berulang, aku tak menginginkan ini semua mas. Aku tak akan pernah mengingikan cinta untukku. Aku tak akan pernah menginginkan tuk mencintai dan dicintai mas. Jika ternyata sesakit ini rasanya".

 Aku terus menahan tangisku agar tak terdengar bayiku. Aku menatapnya lagi. Menatap mata itu, Aku ingin melihat bagaimana perasaannya. Terliaht jelas, perasaan yang sama-sama pedih seperti yang aku rasakan. 

" Aku akan melepaskanmu mas. Aku merelakanmu engkau kembali dengannya. Tapi, ijinkan aku untuk tetap merawat Arya mas. Ijinkan aku untuk mengasuhnya mas. Ijinkan aku melakukan itu".

Kalimat itu keluar karena aku putus asa dengan sikapnya yang masih terus menerus berhubungan dengan wanita itu, bahkan ketika aku melahirkan. Perasaanku sakit mengingat masa lalunya dengannya dan Ia masih bertemu dengan wanita itu. Aku semakin terisak mengingat hari aku meregang nyawa, dia memilih bertemu dengannya. Aku merasakan tubuhnya semakin memelukku menenangkanku. Tapi, yang membuatku lebih menangis karena aku sangat mencintai laki-laki ini. Laki-laki yang telah sempurna menguji hidupku. Laki-laki yang telah membuatku merasakan lembah kepedihan hidup. Tapi, Aku dengan bodohnya masih mencintainya. 

Aku bisa merasakan airmatanya juga menetes membasahi pipinya.  Aku tak ingin melihatnya menangis. Aku tak ingin melihat air mata itu.

"Maafkan aku Ayuna, Maafkan Aku".

Kalimat itu diucap berulang-ulang seolah menjadi rapal olehnya.  Ia mencium keningku dengan lembut dan semua ketulusan darinya kurasakan pada kecupan itu. Aku merasakan itu. Ia menatapku dan kurasakan tangan lembutnya menghapus air mataku. Aku bisa dengan jelas merasakan sentuhan tangan itu di wajahku. Sentuhan yang aku rindu. Bahkan aku sendiri lupa kapan kita seintim ini.

" Ayuna",Dia memanggil namaku lembut. Aku suka cara dia memanggil namaku.

" Ayuna", Kini dia memanggilku terasa berbisik di telingaku. Aku sangat suka dengan setiap caranya menyebutkan kata itu.

Setetes EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang