Bab III

2.3K 64 0
                                    

Mobil milik Ayuna kini melaju membelah kota ini. Ayuna tidak  tahu apa yang akan terjadi setengah jam dari detik ini. Ayuna hanya mengemudi menuju alamat yang ia hafal. Kali ini mungkin ketiga kalinya dia ke tempat itu. Rumah berpagar kayu yang menjulang tinggi sudah terlihat oleh Ayuna. Ayuna turun memencet bel. Segera keluar seorang lelaki paruh baya keluar. Ayuna sudah mengenalnya, lelaki itu juga sudah mengenal Ayuna dengan baik. 

" Langsung masuk aja mbak, sudah ditunggu Pak Darmawan"

"Iya pak".Ayuna tersenyum ramah pada sopir pribadi keluarga Driyan.

Setelah memarkirkan mobil sedan miliknya. Ayuna dan kedua orangtuanya masuk ke dalam rumah. Ayuna segera bersalaman dengan Pak Darmawan dan Istrinya. Ayuna terlihat sopan dan cantik. Tubuh kuning langsatnya serasi dengan dress selutut yang dikenakannya sekarang. Motif bunga-bunga kecil dengan dominasi warna biru muda semakin memperlihatkan Ayuna seperti anak usia 20 an. Pilihan baju ini dibelikan Ibunya dari kampung halamannya di Jawa Tengah. Ibunya meminta keponakannya untuk memilihkan dress yang tepat untuk Ayuna. Jika tidak di make over ibunya, Saat ini Ayuna hanya menggunakan pakaian celana panjang bahan dan blazer yang kerap ia kenakan ketika menjadi staf pengajar. 

" Ayuna, selamat ya buat wisudanya kemarin", Ibu Darmawan, ibunya Driyan memberikan ucapan untuk wisudanya kemarin.

"terimakasih budhe". Ayuna terbiasa menggunakan kata budhe untuk memanggil Ibu Darmawan. 

"Oh baru wisuda ya, makan-makan nih",celetuk Pak Darmawan mencairkan suasana yang agak kaku. Ayuna hanya tersenyum.

Pandangan Ayuna terhenti pada lelaki yang menggunakan baju polo warna putih di depannya. Kulit putihnya terlihat sepadan dengan warna bajunya. Wajahnya terlihat datar. Senyumpun tak tersungging di wajah manisnya. Dia menatap Ayuna lekat, bukan tatapan senang atau benci. Hanya menatap kosong. Ayuna menjaga sopan santun, Ia tetap menganggukkan kepalanya, meski Driyan tetap terdiam dengan posisi  yang sama.

"Driyan, ini pak Kresna, Bu Melati". Driyan mulai mencoba berbasa-basi. Segera dia bersalaman dengan orang tua Ayuna. 

"nak Driyan sekarang udah besar, padahal dulu waktu ke rumah budhe. Kamu masih kecil banget",kata Bu Melati.

Driyan hanya tersenyum. Bukan senyum tulus darinya hanya sekedar sopan santun.

"Driyan ini anak Ibu. Kenalkan ini Ayuna". Ayuna menjabat tangan Driyan. Tangannya terasa kuat di tangan Ayuna yang lembut. Driyan hanya menatap Ayuna datar. Ayuna segera melepaskan tangannya. Ayuna sadar terlihat di wajah Driyan dan nada bicaranya, bahwa Driyan tidak suka dengan ini semua. 

"Ayo kita makan dulu, tadi sudah dibuatkan masakan dengan resep rahasia dari rumah makan kami",kata Ibu Darmawan. Semua duduk di meja makan.  Driyan sedari tadi duduk dengan berkutat dengan makanannya, rasa enak dari makanan itu pun tak dapat Ia rasakan saat ini. Dia hanya terdiam di tempat duduknya tanpa berucap sepatah katapun. 

"Nak Driyan, gimana bisnisnya? lancarkan?",tanya Bu melati. 

Driyan terkaget ketika namanya disebut. 

"Bisnisnya lancar",jawabnya pendek.

Driyan menatap sekilas Ayuna. Ayuna sedang sibuk dengan makanannya. Dia terlihat tenang sekali dan sangat pendiam. Dia  hanya tersenyum untuk setiap pembicaraan yang menyangkut tentangnya. Ayuna tidak jauh beda dengan Driyan. 

Perbincangan kali ini hanya didominasi oleh kedua orang tua. Ayuna dan Driyan cenderung pendiam. Saling bertanya dalam hal pekerjaanpun tidak mereka lakukan.

"Nak Ayuna, begini Ibu mau menjodohkan kamu dengan anak Ibu, Driyan. Bagaimana nduk?", setelah makan perbincangan dilanjutkan di ruang tamu. Driyan membeku ketika orangtuanya mengatakan hal itu pada wanita yang baru pertama kali ia jumpai. Dia menatap orangtuanya tidak percaya. 

Setetes EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang