Bab XXII

2.5K 90 12
                                    

Ketika Aku membangun kepercayaanku

Ku halau ribuan gelisah di setiap lelapku

Ketika ku himpun semua keyakinanku...

Ku runtuhkan semua raguku di setiap malamku

Dalam setiap dengungan doaku..

Ku ingin memelukmu

Bukan sebuah paksaan nafsu yang terus mendobrak hatiku

Itulah ungkapan dariku...

Ku ingin menatapmu

Bukan tatapan datar dan ragu dariku

Itulah perasaan terdalam hatiku

Ku hanya ingin memiliki utuh dirimu...

Tak terbagi dengan yang lain

itu pintaku...

Kini aku mengerti 

Inilah cinta...

Kurasakan hadirnya...bagai Setetes Embun

Ketika ku pejamkan mata..

Kurasakan Ia basahi kalbuku...

Kurasakan dinginnya menyentuh jiwaku...

Ketika ku buka mata melihatnya...

Setetes harapnya menguap ....

Apakah ini takdirku?

Apakah ini jalan cintaku?

AKu terus bertanya...

AKu selalu meminta

Bukan cerita seperti ini mauku...

Aku tahu aku salah memulai..

Aku tahu aku salah menjalani..

Aku tahu aku salah bila mengakhiri...

Driyan membalik lagi kertas di agenda itu.

Aku lelah mas, aku lelah dengan semua pikiran ini. Aku terus mencoba bertahan dan menutup mata, telingaku dengan semuanya, tetapi ketika aku mengingat  dirikulah menjadi neraka orang lain, Aku tak tahu harus berbuat apa?. Aku tak pernah tahu jika jalan hidupku harus  merengkuh paksa kebahagiaan orang lain. Aku tak tahu itu. 

Aku juga  tahu aku menjadi pengecut dalam kisah kita. Aku tahu aku hanya bisa melarikan diri menghadapi semua. Aku tidak tahu  mas, aku harus bersikap seperti apa?  Haruskah kurengkuh surgaku dan menikmati kebahagiaan di atas deritanya? Semua ilmu yang telah kudapat tak bisa memberiku jawaban atas tanyaku... Aku harus bagaimana? 


Driyan melihat air mata Ayuna dalam tulisan itu, karena mengaburkan kalimat terakhirnya. Driyan menghela nafas panjang. 

Driyan membaca lembar berikutnya lagi.

Aku meminta berpisah...Tahukah? Batinku merana mengucapnya...Seolah jiwaku mengembara..Tiada tahu arah kemana...

Syaratmu....
Membuatku beku...
Tapi jika itu bahagiamu
Aku rela...
Meski aku tahu...inilah nerakaku...

Aku terlalu munafik..
Lidahku  berujar mengiyakan, batinku berperang...
Lidahku tegas menuruti egoku, tapi hatiku melawan...
Membayangkan darah dagingku diasuh kekasihmu nanti...
Mungkin wanita itu lagi...
Rasanya kuingin terlelap selamanya...
Biar ku tak pernah melihatnya...
Aku tak sekuat itu ternyata..

Setetes EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang