Galang mengerem motornya secara mendadak, dia merasakan helm Nathan berbenturan dengan punggungnya, tapi yang menjadi fokusnya sekarang adalah tiga orang dengan motor yang menyetop Galang di gang dekat rumahnya.
Galang menyuruh Nathan diam di motor sampai urusannya selesai. Cukup diam.
"Lo anaknya si Wijaya, 'kan? Mana sekarang si Wijaya sialan itu?" tanya salah satu dari mereka yang berpenampilan seperti preman dengam bayaran tinggi. Selain wajahnya yang garang, otot-ototnya mencerminkan hal itu.
Galang mengiyai dalam hati, iya, mana si Wijaya sialan itu?
"Bapak lo tuh, ninggalin utang bejibun ke majikan gua! Sekarang, lo kudu bayar utangnya!!" teriak temannya, yang penampilannya tak jauh beda, dengan anting di hidungnya.
Galang ingin menepuk pipi preman yang mengatakan hal itu. Galang bahkan sudah ditinggal ayahnya selama tiga tahun belakangan, dan sekarang, dia harus membayar utang ayahnya? Peraturan macam apa itu?
"Gua bahkan nggak tau si Wijaya itu di mana. Lo pada minta sendirilah ke dia!"
Terakhir kali, Galang kira, ayahnya itu akan mendekam di hotel prodeo sepanjang hidupnya, tapi apa secepat tiga tahun waktu ayahnya merenungi semua perbuatan busuknya? Kalau boleh Galang bilang, dia belum terlalu rindu dengan ayahnya kok, tak perlu cepat-cepat dibebaskan.
Ketiganya saling bertukar pandangan.
"Alah! Jangan banyak bacot deh. Gua nggak peduli lo tau keberadaan Wijaya atau nggak, yang jelas, lo kudu bayar utangnya!"
Galang menghela napas. Cowok itu hampir kehabisan kesabaran.
"Gua nggak akan bayar utangnya," ujar Galang santai, membuat ketiga preman itu kembali bertukar pandangan.
Galang tak peduli. Dia benar-benar tak mau membayar utang Wijaya. Cowok itu berbalik, hendak kembali ke motornya, tapi tak lama, ada yang memegangi kedua lengannya, dan menonjok perutnya.
Galang berusaha menyingkirkan rasa pusing yang mendadak kembali lagi setelah pergi sehabis Galang minum obat dari Naya.
Galang bersyukur karena Nathan mengikuti instruksinya untuk diam. Galang tak ingin adiknya itu menjadi target juga.
Galang merasakan nyeri di seluruh tubuhnya, melawan pun Galang tak bisa. Kedua lengannya dikunci erat-erat, membuat Galang sepenuhnya dihabisi oleh salah satu yang dapat bagian menghabisi.
Pikiran Galang melayang pada hari itu. Hari dimana kebahagiaannya direngut seluruhnya. Hari dimana dia tahu hidupnya tak akan sama lagi.
Hari itu, Galang sedang bermain dengan Nathan di teras, tak lama, ada banyak mobil polisi yang mengitari rumah mereka. Nathan yang awalnya antusias karena akhirnya bertemu dengan polisi, berakhir menangis kejer, karena harus menerima kenyataan bahwa ayahnya, yang merupakan panutan mereka, harus ditangkap polisi karena diduga menggelapkan uang perusahaan.
Sejak itu, rumah disita, dan mereka harus puas tinggal di rumah kontrakan yang dibayar dari hasil jerih payah Kefas, si anak sulung, juga hasil balapan Galang. Yang mana membuat Galang bersyukur karena motor ini merupakan hadiah dari ibunya, yang tak harus disita karena dibeli menggunakan hasil keringat ibunya sendiri. Hal yang membuat Galang bersyukur lagi adalah, ukuran badannya cukup tinggi untuk bisa ikut balapan di usia empat belas tahun.
Galang berpikir, ini tak seberapa buruk. Tapi, pikiran positif itu tak bertahan lama ketika ibu mereka akhirnya memutuskan untuk meninggalkan mereka dengan sebuah postcard bertuliskan, Ibu sayang kalian.
Sejak itu, kehidupan Galang tak pernah sama lagi. Kehidupannya hanya berputar di balapan untuk mendapatkan uang, belajar untuk mempertahankan beasiswa, dan tertawa, sekitar setahun sekali, agar tak lupa caranya.
Seolah, Galang hanya berjalan dan bernapas, bukan hidup.
Galang merasakan badannya menghantam aspal setelah kedua preman itu melepaskan lengannya. Ya, selemah itu Galang.
Galang samar-samar mendengar suara motor mereka menjauh dan suara tangisan Nathan mendekat.
author note:
hampir lupa kalo hari ini jumat
happy weekend!!