Galang mengaduh pelan saat merasakan telinganya yang dijewer oleh seseorang, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Naya.
"Apa sih, anjir." Galang menarik tangan Naya menjauhi telinganya.
"Tidur mulu sih. Itu ada tugas kelompok," ujar Naya.
Galang mengembuskan napas kesal. Semalaman dia tak bisa memejamkan mata karena memikirkan bagaimana cara cepat mendapat uang.
"Ya udah apa?" tanya Galang. Dia harus fokus. Sudah cukup tidur-tidurannya. Beasiswa yang susah-susah ia dapatkan harus tetap ia pertahankan.
"Tugas kelompok sejarah. Bikin presentasi gitu dari subbab-subbab yang ada," jelas Naya. "Udah jelas dong, ya, pasti gua sekelompok sama lo. Deadline minggu depan, bahannya sekitar dua puluh sampe tiga puluh halaman. Mau kerja di mana?"
Galang masih mencerna semua kalimat Naya yang diucapkan terlalu cepat itu.
"Terserah deh," ujar Galang akhirnya, membuat Naya jengkel karena jawaban cowok itu sama sekali tidak memberikan ide atau solusi.
"Pulang sekolah di kafe deket sekolah itu aja, ya."
"Terserah."
"Bentar, lo tunggu di sini dulu, gua mau jemput orang."
Naya mengangguk, dia hendak bertanya siapa yang akan dijemput Galang, tapi cowok itu sudah melesat pergi dari hadapannya.
Galang tidak mungkin memulangkan Nathan, salah satu caranya adalah mengajak Nathan ikut ke acara kerja kelompok dadakannya ini.
Galang dengan cepat berlari ke arah ruang guru untuk bertemu dengan wali kelas Nathan.
Cowok itu berusaha mengatur napasnya. Meski pikirannya kacau, ia tak boleh tampak seperti wali yang tidak bertanggung jawab.
Nat, doain abangmu ini bisa ngeles, ya. Seenggaknya sampai uangnya ada.
"Sori, ya, gua bawa adik. Mau mulangin nggak mungkin sempat."
Naya sudah hampir saja habis kesabaran menunggu Galang yang katanya sebentar itu.
"Oke. Nggak apa-apa," jawab Naya setelah menarik napas panjang. Dalam hatinya, dia baru tahu kalau Galang memiliki adik sekecil itu. Perbedaan usia mereka pasti cukup jauh.
"Ngapain malah ngelamun? Keburu sore."
Naya mencibir. Siapa juga yang tadi membuang waktu?
"Ya udah, gua lima belas halaman awal, lo lima belas halaman akhir, garisin yang penting, terus kita bikin PPT-nya," jelas Naya.
Galang mengangguk-angguk. Dia menoleh pada Nathan yang memandangi keduanya dengan tatapan datar.
"Kamu... kalo mau pesen sesuatu pesen aja, Nat."
Nathan menggeleng. "Nggak laper kok."
Galang sebenarnya tidak memiliki banyak uang jajan untuk bisa mentraktir Nathan makanan di sini, tapi Galang tahu ini jam makan siang anak itu.
"Namanya siapa?" tanya Naya, cewek itu akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
Nathan mengerjap. "Nathaniel."
Naya tersenyum. "Nathan... suka cokelat?"
"Lumayan."
Dalam hati, Naya tertawa, menyadari kalau keiritan dalam mengeluarkan kalimat itu rupanya merupakan ciri khas yang ada di dalam keluarga Galang.
Naya menarik sebatang cokelat dari tasnya, menyerahkannya pada Nathan, karena Naya tahu cowok itu lapar, meski dia mengatakan hal yang sebaliknya.
"Makasih, Kak."
Naya tersenyum, membiarkan Nathan sibuk dengan dunianya sendiri. Membiarkan Galang sibuk dengan dunianya sendiri. Membiarkan pikirannya bernostalgia soal kenangan masa lalunya. Betapa Nathan sangat mirip dengan Galang yang dulu. Yang berbeda hanya, kenapa Nathan tak bisa sesemangat Galang sewaktu masih seusianya?
Apa sih, yang sebenarnya terjadi sama kamu dan keluarga kamu, beberapa tahun belakangan ini, Lang?
KAMU SEDANG MEMBACA
lost boy
Historia Corta"We all have that one person who really f us over." ©2018